Quantcast
Channel: kaoskakibau.com - by ron
Viewing all 341 articles
Browse latest View live

Aku Hanya Ingin Menari

$
0
0
Inget nggak gimana rasanya ketemu sama orang yang lo taksir? Ketika pertama kali kalian berdua ngobrol dan akhirnya merasa nyambung. Ketika awalnya lo biasa aja, nggak ada perasaan apa-apa karena itu bukan cinta pada pandangan pertama kayak yang biasa ada di serial-serial drama televisi Korea. Lalu kalian ngobrol karena punya satu topik yang suka dibahas. Entah buku, entah film, entah musik, entah Kpop. Dari obrolan yang cuma beberapa menit itu kok rasanya nyaman ya? Kok rasanya enak nih kalau misalnya kita ketemu lagi dan ngobrol lagi. Akhirnya kalian mulai tukar-tukaran nomor ponsel dan mulai ngobrol di chat. Masih nggak ada rasa apa-apa. Murni karena kalian cuma ingin memperluas pertemanan aja. Nggak ada salahnya dong punya teman baru. Tapi pelan-pelan dari obrolan-obrolan soal buku, film, musik, dan Kpop itu berubah jadi obrolan-obrolan yang serius. Tiba-tiba di suatu hari dia chat dan nanya hal penting ke lo. Rupanya ada masalah keluarga. Lo mulai mendengarkan curhatan-curhatan dia. Lo mulai khawatir. Lo mulai menjadikan diri lo selalu available untuk dia kalau memang dia lagi butuh cerita. Lalu rasa biasa-biasa aja dalam diri lo itu berubah jadi perhatian. Lo jadi sering nanya dia lagi ngapain, kapan bisa ketemu, mau nonton ini nggak, gue ada tiket konser nih mau pergi bareng nggak. Dan lo sampai di satu titik kalau lo ternyata suka sama dia. Dia nggak tahu. Lo sendiri sebenarnya juga masih ragu sama perasaan lo. Tapi lo tetap memberikan perhatian itu. Dia tetap menerima perhatian itu. Kemudian lo masuk ke fase cinta diam-diam karena lo nggak mau hubungan kalian jadi renggang setelah lo ngungkapin perasaan lo ke dia. Inget nggak gimana rasa berbunga-bunga setiap kali dia balas chat lo?

Happy, kan? Meski diam-diam lo curi-curi pandang ketika dia nggak memerhatikan, tapi lo happy, kan?

Tapi perasaan happy itu nggak cuma akan terjadi hanya karena dan ketika lo ketemu sama orang yang lo taksir. Ketemu sama orang yang nyambung pada obrolan pertama juga buat gue memberikan efek happy yang sama. Gue punya temen namanya Ais, gue lupa sebenarnya awalnya kita bisa kenal kayak gimana tapi kayaknya sih gara-gara dia admin salah satu fanbase EXO dulu dan pada masa-masa itu gue lagi gila-gilanya nge-tweet soal EXO. Kita kenal di Twitter dan kemudian ketemu beberapa kali karena fanbase yang bersangkutan ada event dan gue dateng. Tapi momen ketemu kita yang paling gue ingat adalah di satu hari di akhir bulan Maret 2013 ketika ada event cover dance di Gandaria City. Setelah itu kita akhirnya jadi sering ketemuan dan jalan bareng. Sampai sekarang, dia jadi temen jalan-jalan gue kalau di Bandung.



Gue punya kebiasaan memperkenalkan orang-orang yang ada di circle gue dengan orang-orang yang ada di circle gue yang lain. Apalagi kalau misalnya dua circle ini punya kesamaan interest atau sesuatu yang bersinggungan. Gue punya temen-temen fans EXO yang selalu kumpul sejak 2012 (sampai sekarang!) jadi di satu hari di sekitar tahun 2013 atau 2014, gue pun akhirnya ngajak Ais buat masuk ke circle ini. Klop! Banget! Dan Ais pun sepertinya juga punya sense yang sama. Di satu hari di tahun 2014, dia memperkenalkan gue sama salah satu temannya yang kalau nggak salah followers gue di Twitter. Gue lupa sih ini harus gue konfirmasi ulang takutnya gue kepedean padahal sebenarnya dia nggak pernah follow gue. Teman Ais ini namanya Vivi, tapi dia lebih sering dipanggil Melon sama teman-temannya. Gue dan Melon ketemu di suatu malam di Grand Indonesia, waktu itu pas lagi heboh-hebohnya event Asian Dream Cup yang ada cast Running Man dan rebutan tiket banget kan. Pas kita ketemu di sana, nggak tahu kenapa gue sama Vivi langsung nyambung. Guess what is our topic back then? Cover dance! LMAO.

Di pertemuan pertama itu, kita ngobrol banyak banget soal grup-grup cover dance mulai dari yang bagus sampai yang jelek. Mulai dari gosip-gosip yang beredar sampai gosip-gosip internal. And at that moment I knew that me and Melon will be friend for a long time. And guess what, we are still friend now. Gue juga mengajak Melon untuk masuk ke circle yang sama degan geng EXO yang sudah ada sejak 2012 itu dan kita semua nyambung. Satu per satu teman-temannya Melon dan Ais pun masuk ke circle itu juga dan pada akhirnya lingkaran setan Kpop ini jadi gede banget. As simple as that (yet sounds complicated), those people always make me happy. Bahkan cuma mikirin mereka untuk menulis beberapa paragraf ini pun sudah membuat gue tersenyum sendiri.

Photo by Pixabay/Pexels.com
Ketemu sama orang yang pas buat jadi teman memang nggak gampang. Terlebih di usia-usia 20-an. Sejak usia 18 gue udah nggak tinggal di rumah dan sudah mulai ngekos di Depok. Gue harus meninggalkan kemungkinan-kemungkinan untuk menjalin pertemanan yang lebih akrab dengan orang-orang yang gue kenal di SMP dan SMA. Memulai beradaptasi dengan bahasa “lo” dan “gue” di Depok dengan teman-teman kuliah. Terasing dalam sebuah dunia yang benar-benar baru. Di antara kemacetan dan gedung-gedung tinggi. Hilang. Homesick. Gila. Gue nggak tahu siapa yang bisa gue jadikan teman dan siapa yang mau jadi teman gue. Ketika lo nggak memikirkan ini memang rasanya semua itu akan go with the flow aja sih. Tapi kalau mau dipikirin kan pasti ada alasan kenapa orang mau jadi teman lo dan kenapa lo memutuskan untuk berteman dengan orang lain. Gue sendiri tidak besar dalam keluarga yang komunikasinya bagus. Gue dibesarkan sebagai millennials oleh orangtua yang nggak membiasakan kami untuk bilang “semangat buat ujiannya!” atau “gimana tadi di sekolah?” atau “I love you, selamat tidur. Mimpi indah ya!” atau “maaf ya tadi Papa terlalu keras” atau apapun lah kata-kata manis yang hanya bisa lo bayangkan. Jadi gue nggak akan punya nyali buat nanya ke orang “Kenapa lo mau temenan sama gue?” (as weird as that sound -- I mean, who really did ask that question? LOL) Semuanya ya go with the flow aja. Mereka yang masih dekat dengan gue sekarang dan sudi jadi teman gue ini terpilih berdasarkan seleksi alam. Terima kasih Tuhan karena menciptakan mereka. Dan lagi, memikirkan orang-orang itu dan menerka-nerka alasan mereka mau temenan sama gue (yang pastinya bakal absurd banget deh) sudah bisa membuat gue tersenyum.

Mencari teman itu dalam beberapa kasus bisa jadi proses panjang yang durasinya nggak bisa ditebak. Di kasus tertentu juga bisa jadi pendek. Intinya sih memang komunikasi. Kalau nggak ada komunikasi di antara kedua belah pihak ya jangan harap hubungannya bisa berlanjut. Meng-quote kata mantan teman sekamar gue “Memangnya gue bisa baca pikiran orang!” Komunikasi ini juga harus dua arah, didorong atas keinginan untuk berteman dan harus mutual. Kalau cuma satu aja yang berusaha sih ya ngapain. Nggak cuma orang pacaran aja yang butuh timbal balik. Temenan juga lah! Kalau sekarang lo lagi merasa kayak mentally exhausted karena kok kayaknya dalam pertemanan cuma lo yang repot, pergi jauh-jauh, tinggalin mereka. Mending hidup sama bantal guling.

Having a conversation with a friend is also one kind of happiness. Nggak selalu harus obrolan yang serius. Yang receh-receh justru lebih terasa.

Ada satu lagi hal yang bisa banget bikin gue happy dan ternyata, ini nggak cuma gue yang merasakannya. Adrien juga.

WKWKKWKWKW. Mungkin lo juga?


Oke, jadi mungkin beberapa dari kalian nggak ngikutin gue di Instagram karena feed gue nggak sebagus orang-orang keren di luaran sana. Jadi gini ceritanya: akhir Desember 2018 kemarin kan gue nonton IU di Thailand. Nah, selama di sana gue nginep di satu hostel di daerah Sukhumvit yang gue temukan di booking.com. Hostel ini murah dan nyaman banget untuk ditinggali selama beberapa hari. Soalnya tempat tidurnya private meski kamarnya dorm gitu. Ada tirai dan bentuknya kayak lemari tempat tidur Doraemon gitu. Gak capsule, tapi kotak. Nyaman deh pokoknya. Ini adalah perjalanan pertama gue ke Thailand dan bisa dikatakan perjalanan malas-malasan sih soalnya agenda gue cuma nonton IU aja. City tour-nya sebenarnya tentatif. Tapi karena gue belakangan suka motret suasana malam, jadi gue kayak menghabiskan waktu di luar lebih banyak setelah matahari terbenam. Di hari pertama gue mendarat di Bangkok, setelah beres-beres dan siap buat jalan, gue turun dari lantai tiga kamar gue ke ruang tamu hostel. Yang gue suka dari tinggal di hostel adalah karena lo akan punya kesempatan untuk ketemu banyak banget orang asing dari berbagai negara. Beberapa dari mereka mungkin ramah, beberapa dari yang lain mungkin enggak. Beruntung kalau misalnya lo dapat yang ramah dan enak diajak ngobrol. Nah yang gue nggak suka dari diri gue adalah nggak bisa memulai obrolan. Jadi harus nunggu diajak ngobrol dulu, baru gue bisa nyerocos.

Sesampainya gue di ruang tamu hostel, cuma ada satu orang di sana. Kebetulan cahaya di ruang tamu itu nggak terlalu terang. Lampunya hangat dan agak temaram. Orang ini kebetulan juga duduk di sisi yang agak gelap jadi gue nggak bisa melihat jelas wajahnya tapi sempat yang saling senyum sebelum gue duduk. Ruang tamu hostel itu nggak ada sofanya. Di lantai dibuat undakan tinggi gitu dari kayu dan di tengah-tengah ada meja kecil yang cukup untuk beberapa meja. Nah si orang ini duduk ala lesehan nyender dinding dan menggenggam mug putih berisi kopi. Wanginya kecium soalnya. Gue sedang membolak-balik halaman brosur yang ada di rak di ruang tamu itu ketika akhirnya orang ini nyapa gue.

“Are you local? Are you from Thailand?”

Karena nggak ada orang lain di situ selain kami berdua, gue nggak ngerasa kepedean untuk menjawab pertanyaan itu. Gue bilang bukan, gue bukan orang Thailand, gue orang Indonesia. Posisi gue masih di pinggir undakan waktu dia nanya itu. Sempat gue kira dia cuma basa-basi doang, tapi ternyata setelah gue menjawab pertanyaan itu dia lanjut lagi dengan obrolan lain. Dia bilang dia pernah ke Indonesia dan tinggal beberapa pekan di Bali. Terus tiba-tiba aja dia nyerocos bagaimana dia sangat menyukai Bali dan orang-orang Indonesia yang menurutnya sangat ramah.

“Waktu gue di Bali, gue ikut nebeng sama perahu orang ini karena dia katanya mau pergi mancing ke tengah laut. Kebetulan gue juga pengen banget merasakan pengalaman mancing di tengah laut. Jadi gue tanya sama dia apakah gue bisa ikut atau nggak. Dia bilang boleh. Terus gue tanya gue harus bayar berapa. Dia bilang nggak usah bayar, nggak apa-apa. Gue kaget dong. Maksudnya gue kan turis ya dan itu kita baru ketemu. Tapi kok dia nggak mau nerima bayaran? Terus gue tanya kenapa dia nggak mau dibayar, dan jawabannya bener-bener bikin gue terharu sih. Katanya karena dia udah nganggep gue kayak temen aja. Masa sama temen minta bayaran.”

Wow. Mohon maaf mz nyerocos juga ya ternyata. Tapi ini beban banget sih mz kalo misalnya abis ini kita jalan bareng di Bangkok terus saya jahat dan perhitungan sama mz. Saya jadi merusak citra orang Indonesia yang seperti itu.

Eh tapi gimana gue harus merespons cerita ini ya?

WAKAKAKAKAKAKKA.

“Really? Whoa! He’s such a nice guy!”

Dan Ron mulai sok bisa Bahasa Inggris dan sok akrab sama orang. Tapi gue bersyukur ternyata gue punya kemampuan sok akrab ini. Karena ternyata abis itu kita jadi ngobrol agak lama. Yang tadinya gue mau keluar sekitar setengah tiga jadi malah keluar setengah empat sorean gitu. Satu jam kali kita ngobrol di ruang tamu yang kosong itu dan tuker-tukeran cerita. Tapi sebelumnya kita akhirnya kenalan dulu. Kali ini gue yang duluan memperkenalkan diri.

“I’m Ron,” gue menyodorkan tangan.

“Adrien,” katanya menjabat tangan gue. Mohon maaf sebelumnya gue bukan bermaksud apa-apa tapi gue agak enggak jelas ketika dia menyebutkan namanya sendiri dan agak enggak bisa membaca gerakan bibirnya. Selain gelap di situ dia juga berewokan. Jadi selama beberapa menit gue kira namanya Edwin. Bego nggak gue? Setelah gue tanya dia dari mana, gue baru mikir.

“Where are you come from?”

“France,”

MASA ADA ORANG PERANCIS NAMANYA EDWIN?!

“Tapi gue tinggal di Myanmar, di Yangon,” lanjut dia. Mohon maaf sekali lagi tapi cara dia ngomong Yangon ini kan beda sama kita ya. Kalau kita nyebutnya ‘YANG – ON’ dia nyebutnya “YENG – GOON”. Jadi pada saat perkenalan itu gue berpikir keras. Orang Perancis namanya Edwin dan tinggal di Myanmar di kota bernama Yenggun. Geografi dan Sosiologi gue pasti jelek banget deh dulu di sekolah. Lalu untuk mengurangi kecanggungan karena gue bodoh, gue tanya aja apakah ini kunjungan pertamanya ke Bangkok. Pertanyaan standar kalau ketemu sama orang asing di hostel.

“This is actually my first time,” kata gue.

“Really? What’s your plan?”

Well... I don’t have any plan actually. Jadi gue tuh dateng buat nonton konser Kpop hari Minggu nanti. Gue memang punya ketertarikan sama musik pop Korea ini. Lo? Pertama kali juga?”

“Sebenarnya nggak,” kata dia. “Ini udah yang beberapa kali lah. Gue udah tinggal di Yangon hampir setahun dan hari ini datang ke sini buat ngurus Visa di Embassy Myanmar di sini,” lanjutnya. Dia kemudian cerita detail masalah Visa ini dan kenapa dia nggak ngurus Visanya di Myanmar aja bukan di Thailand. Tapi gue lupa detailnya. Yang jelas, dulu dia ngurus Visa kerja di Myanmar atas rekomendasi kantor lama. Tapi karena sekarang dia punya perusahaan sendiri jadi harus ngurus Visa kerja lagi setelah yang lama mati. Sayangnya ketika dia ke Embassy, dia nggak dapet Visa yang dia mau. “Gue tuh kan apply buat Visa yang tahunan gitu. Tapi mereka bilang mereka nggak bisa ngeluarin Visa itu buat gue di sini dan gue harus ngurus lagi ke Myanmar. Jadinya mereka cuma bisa ngasih Visa yang tiga bulan aja. Gila nggak sih? Gue tuh tadi mau marah-marah sama orang Embassy-nya tapi ya gak bisa juga kan gue marah-marah sama mereka. Jadi ya untung gue ketemu lo nih sekarang jadi gue bisa cerita,” dia ketawa. Sementara gue masih mikirin ini serius nama lo Edwin?

“Yah, sedih banget. Terus gimana, tapi lo dapet kan Visanya?” tanya gue.

“Ya dapet. Baru bisa diambil Senin. Tadinya sih mereka nawarin jalur ekspres gitu yang bisa diambil besok (Sabtu, gue sampai di Thailand hari Jumat). Tapi mahal banget buset! Gue kayak harus bayar ekstra berapa ratus dolar gitu. Males banget. Mending gue tunggu Senin aja. Lagian gue di sini juga masih sampai Senin. Jadi masih ada waktu,” jawabnya.

Yang FYI, akhirnya dia lupa kalau Senin itu dia harus ambil Visa. Sudah terlanjut ngajak gue pulang bareng ke Bandara di hostel jam sekian. Eh dia malu sendiri karena dia pelupa. Mana malam sebelum kita ke Bandara dia ada kencan sama cewek dari Tinder dan bangun kesiangan di tempat cewek itu. Terus dia balik ke hostel dan check out telat. Kena marah si Ai (resepsionis hostel). WKWKWKWKKWKW.

“Jadi lo balik ke Indonesia hari apa? Kalau lo nggak punya plan, mungkin kita bisa makan siang bareng besok atau lusa?” kata Adrien.

Gue jujur aja terkejut dengan keramahan orang-orang Perancis ini. Dia nggak niat buat nipu gue kan? Apa dia berusaha buat baik-baikin gue terus nanti dia nyolong duit gue gitu. Eh hahahahha. Maaf. Anaknya memang sangat insecure dan curigaan.

“Gue balik Senin malam. Wah boleh sih, since lo udah sering ke sini jadi mungkin lo bisa merekomendasikan tempat makan ke gue,” kata gue. Lalu gue ngasih Jeno—nama handphone gue—ke dia. “Minta nomor lo. Lo ada WhatsApp kan?”

“Ada,” katanya. Dia nulis nomornya di situ dan gue minta dia untuk tulis nama lengkap. Beneran nggak sih ini orang namanya Edwin atau gue yang bego dan budeg di saat yang sama. Dan ya bener gue bego dan budeg. Pas gue liat kontaknya dia save namanya ‘Adrien L.’

EDWIN DARI HONG KONG.

HAHAHAHAHAHAHAHAH.

Gue miskol dia ke WhatsApp, “Itu nomor gue. Mau simpen nama lengkap atau nama pendek aja? Soalnya nama gue panjang banget. Hahahahah,” dia ketawa juga. Akhirnya dia save nama gue ‘Ron’ di hapenya.

Awalnya gue pikir interaksi gue di ruang tamu sama Adrien itu yaudah hanya sebatas interaksi basa-basi antara dua tamu hostel aja. Gue kira ajakan makan siang dia itu juga cuma basa-basi aja. Tapi ternyata enggak. Sabtu malam dia beneran WhatsApp dan ngajakin gue makan siang di hari Minggu. Gue bilang gue bisa tapi paling ya abis makan gue cabut ke venue konser dan dia nggak apa-apa. Jadi kita cari tempat makan di dekat hostel. Dan sepanjang jalan itu dia cerita tentang banyak hal. Tentang pekerjaan dia, keluarga dia, tentang mantan pacar dia, tentang Myanmar, tentang kebodohan-kebodohan dia (“Hape gue ketinggalan di kafe tempat gue makan semalam dan gue harus ambil sekarang. Aduh, lo kalo gue ceritain pasti capek deh dengernya. Gue aja capek dengan hidup gue yang kayak gini. I’ve spent most of my time picking up something that I forgot,” katanya). Tapi obrolan yang paling klop sama gue sekarang adalah ketika kita berangkat ke Bandara bareng. Ini yang gue maksud dengan “Ada satu lagi hal yang bisa banget bikin gue happy dan ternyata, ini nggak cuma gue yang merasakannya. Adrien juga.” di paragraf sebelumnya.

“So I met this girl on Tinder and she lives in this huge building, 5 floors building, full of her paintings!” katanya. Gue baru ketemu nih orang dua hari yang lalu dan sebelumnya gue nggak pernah ngeliat dia kayaknya sebahagia ini. Jadi gue godain aja.

“Aah... so you’re late today and forgot about your Visa because you were staying at this girl’s house?” gue ngakak. Dia ngakak juga terus dia diem. Terus dia ketawa lagi.

She’s cute. I mean, gue tuh lemah kalo udah sama cewek,” katanya lagi.

“Aaah... so what’s happened?”

Yeah so, this girl is an artist. A painter. Lima lantai rumahnya itu semua isinya lukisan-lukisannya dia. Dia suka ngelukis orang telanjang gitu. Dan dia pernah ngelukis dirinya sendiri nggak pakai baju gitu. Jadi dia foto dirinya dulu terus dia lukis dari fotonya,” kata dia. “Tapi ya nggak semua juga yang kayak gitu,” buru-buru dia menambahkan. “Banyak lukisan dia yang lain yang bagus banget! Sini gue kasih liat Instagram-nya.”

Adrien nunjukkin foto-foto lukisan cewek itu di Instagram dan wow ternyata emang bagus banget sih. Ya ini penilaian gue sebagai orang yang nggak bisa ngelukis dan tidak memiliki jiwa seni apapun. Sayangnya gue gak inget akun Instagram-nya dia apa karena waktu itu emang dibuka dari hape Adrien juga.

“Keren banget ya dia. Gue suka deh sama orang yang jago ngelukis atau ngegambar gitu. Maksudnya, gue tuh kan nggak bisa ngegambar ya. Jadi gue suka aja kalau ngeliat mereka ngegambar atau ngeliat karya-karya mereka,” kata gue.

“Ih! Iya sama banget! Gue juga kayak gitu. Di antara keluarga gue, gue adalah satu-satunya yang sama sekali nggak bisa gambar. My father is a painter, my mother also good at drawing. Logikanya kan gue harusnya bisa ya gambar gitu. Tapi gue sama sekali nggak bisa. Sementara kakak laki-laki gue jago banget ngegambar. Padahal dia sama sekali nggak pernah kursus atau apa gitu,” dia mulai cerita lagi. “Tapi, ada temen gue yang juga sama kayak gue yang nggak bisa ngegambar gitu. Terus dia taking lessons dan latihan, lama-lama dia bisa. Gitu tahu Ron sebenarnya. Kalau kita latihan pasti kita lama-lama akan jago. Karena ada orang yang memang lahir dengan bakat, ada orang yang berbakat karena dia belajar. Tapi gue setuju sama lo soal suka banget ngeliat orang yang punya bakat seni. Kayak gimana ya, rasanya tuh lo happy aja gitu ngeliat karya mereka meski lo nggak benar-benar bisa melakukannya,” kata Adrien.

“Sama kayak misalnya lo ngeliat dan mendengar orang nyanyi, ya nggak sih? Gue tuh sebenarnya suka dance tapi belum pernah benar-benar mencoba untuk terjun langsung mendalami dance. Di saat yang sama gue juga suka banget ngeliat orang dance. Karena gue nggak bisa merasakan gimana happy-nya dance sendiri, gue jadi mencari kebahagiaan itu dengan melihat orang lain yang dance.”

Exactly! By only looking at their performance, you can also feel happiness. Ya kan?”

“Iya banget. Di Jakarta tuh pernah ada momen di mana anak-anak muda gitu suka nge-cover dance lagu Kpop dan gue sering banget datang ke acara-acara itu cuma buat ngeliat mereka. Seneng deh gue liatnya. Aneh juga kita bisa dapat kebahagiaan dari hal-hal kayak gini ya?”

Mungkin itu juga kali yang gue rasakan setiap kali mendengarkan Baekhyun, Suho, EXO, Taeyeon, SNSD, atau IU bernyanyi. Saat nonton langsung atau lewat video. Ada kebahagiaan yang agak susah dijelaskan dengan kata-kata. Kebahagiaan yang nggak apa-apa deh kalau pun cuma gue yang mengerti dan orang lain nggak. Lagian, kita nggak punya kewajiban untuk membuat orang lain mengerti dengan hal-hal yang bisa membuat kita bahagia kok. Kita nggak punya kewajiban untuk menjelaskan ke mereka tentang hal-hal yang membuat kita bahagia kok.

Kita nggak berhenti ngobrol sampai akhirnya sampai di Bandara dan berpisah untuk check in dan lapor ke imigasi. Tapi kita janji kalau semisal suatu saat nanti masing-masing dari kita datang ke Jakarta atau Paris, kita akan saling menghubungi.

I will definitely come to Paris. Semoga lo sudah balik ke sana ya ketika gue punya cukup uang untuk main ke Perancis,” kata gue. Mengingat dia ada rencana buat berlayar sama temennya keliling lautan di Asia.

“Mungkin nanti kapal gue akan menepi di Jakarta. Gue pasti akan ngubungin lo.”



Dan saat gue jalan menuju gerbang keberangkatan untuk kembali ke Indonesia, gue kepikiran obrolan kami tadi. Soal menari. Soal kemampuan yang akan semakin mahir kalau diasah. Soal salah satu mimpi yang sejak dua tahun terakhir sudah mulai dipikirkan tapi belum ada kesempatan untuk dilakukan: belajar dance.

Mungkin selain ngomongin Kpop sama temen, ngomongin orang sama sama temen, memandangi karya seni hasil buatan orang, nontonin orang-orang tampil menari di atas panggung; ikut menari juga akan jadi salah satu hal yang bisa gue bikin gue happy tahun ini. Dan 2019 baru berlalu beberapa hari, maksud gue, jadi bukankah ini saat yang tempat untuk memulai lagi mengatur target, menulis daftar mimpi, dan menari?

---

Cover photo by KAITOD

--- 



Dont Mess Up My Tempo, Review Dua Bulan Kemudian

$
0
0

Salah satu resolusi gue di tahun 2019 ini selain menjauhkan diri dari orang-orang toxic sekaligus selalu berusaha untuk tidak jadi makhluk toxic di muka bumi ini adalah memperluas khazanah permusikan gue. Soalnya gue tuh termasuk orang yang paling susah untuk mencoba mendengarkan sesuatu yang baru dan cenderung stuck di satu lagu atau artis yang sama.

Sebagai contoh, gue bisa mendengarkan satu lagu seharian tanpa diganti-ganti sama sekali. Di kondisi yang sudah parah, itu bisa berlanjut sampai berhari-hari. Pernah di suatu masa gue mendengarkan lagunya Taeyeon yang ‘Rain’ sampai tiga hari berturut-turut nggak diganti lagu yang lain sama sekali. Makanya temen kantor gue, namanya Dita yang juga suka Kpop, selalu berusaha untuk memberikan rekomendasi lagu-lagu Kpop baru ke gue. Dia nggak terlalu mendengarkan EXO jadi gue juga kadang-kadang memberikan rekomendasi lagu EXO ke dia. Mostly sih dia maksain gue buat dengerin Monsta X (yang mana gue lakukan dan pada akhirnya gue tahu beberapa lagu Monsta X yang enak dan gue suka), tapi di banyak kesempatan gue juga jadi dengerin lagu-lagu dari penyanyi kayak Minseo atau grup-grup kayak fromis_9 gitu yang normalnya gak akan gue sentuh.

Ya gue memang sepemalas itu. Atau mungkin gue lebih suka disebut sebagai orang yang susah move on. Nah kalau yang ini nggak cuma soal lagu aja deh, soal banyak hal termasuk soal perasaan. Hihihi...


Makanya enggak heran—kembali soal lagu-lagu yang didengarkan—ketika Spotify bikin throwback daftar lagu yang paling sering gue dengarkan sepanjang tahun 2018 kemaren lewat spotifywrapped.com, lagu-lagu yang muncul kebanyakan adalah yang memang selalu gue repeat one. Atau kalau nggak yang kayak gitu, pasti lagu-lagu dari satu artis yang sama yang gue bikin playlist-nya sendiri dan gue dengerin antara seharian di kantor atau sepanjang jalan dari kosan ke kantor dan dari kantor ke kosan. Sejak awal tahun 2018 gue seneng banget dengerin soundtrack film ‘Call Me By Your Name’ yang judulnya ‘Vision of Gideon’ dari Sufjan Stevens. Entah kenapa lagu ini sangat membantu gue berkonsentrasi dalam bekerja di kantor dan dalam beberapa waktu juga pernah menjadi lagu pengantar tidur. Soalnya lagunya memang chill banget sih. 


Mendengarkan satu lagu berulang-ulang buat gue juga membantu kalau lagi sedang butuh fokus untuk nulis. Daripada gue harus memikirkan perpindahan satu lagu ke lagu lain misalnya kalau nge-shuffle beberapa lagu dalam sebuah playlist, atau mikirin buat pencet tombol next karena lagu yang sekarang sedang keputer tidak memberikan kontribusi banyak dalam proses menulis gue, mending kan gue denger satu lagu aja. Satu lagu yang memang gue suka dan memang akan bikin gue fokus. Gue nggak tahu deh sejak kapan ini jadi kebiasaan. Tapi gue inget di tahun 2013 ketika awal-awal gue jadi wartawan dan diharuskan untuk menulis 10 berita dalam sehari, gue pernah ngulang-ngulang lagu ‘The Red Shoes’-nya IU sampai temen sebelah gue kayaknya ngeh dan “Kok kayaknya lagu lo nggak pernah ganti ya?” gitu. Dan dalam proses menulis posting-an ini pun gue mendengarkan lagunya Taeyeon yang ‘Time Walking on Memories’ dalam moderepeat one.

Lagu lain yang jadi heavy rotation di Spotify gue sepanjang 2018 adalah ‘Gashina’-nya Sunmi. Oke, gue termasuk orang yang sangat telat kena racun lagu ini soalnya ini kan bisa dibilang lagu udah lama banget dirilisnya, tapi gue baru tergila-gila sekitar semester kedua tahun 2018 gitu. Sebenarnya sudah basi, tapi gue ulang-ulang terus di Spotify. Nggak tahu suka aja gitu. Sekarang, setelah Jennie rilis ‘SOLO’ malah gue bikin playlist private di Spotify yang isinya cuma ‘Gashina’ sama ‘SOLO’ doang dan gue ulang-ulang terus sampai gumoh. Muahahahahha. Untungnya Kai belum ada lagu solo ya, jadi belum bisa gue bikinin playlist berdua sama Jennie.

#KayangDiEiffel


‘Vision of Gideon’ dan ‘Gashina’ adalah dua lagu teratas yang gue dengarkan sepanjang tahun 2018 melebihi lagu manapun. Tapi dari total 70.136 (tujuh puluh ribu seratus tiga puluh enam) menit gue mendengarkan Spotify, ada kira-kira 100 lagu yang paaaaaaling sering gue ulang-ulang. 100 lagu ini datang dari berbagai genre termasuk Pop Indonesia, Pop Barat, Pop-Rock, Disco, Latin Pop, dan tentu saja Kpop. Kpop-nya sendiri mulai dari IU, Taeyeon, BLACKPINK (surprisingly lmao), GFRIEND (surprisingly juga LMAO), Red Velvet, f(x) (KANGEN BANGET GUAAA!!!!!), dan of kors ada EXO. Yang lucu malah sebenarnya ya EXO ini. Soalnya seinget gue, lagu-lagu lama EXO tuh selalu ada di handphone gue karena sudah di-download sejak lama. Terakhir gue download lagu mereka adalah album ‘For Life’ jadi lagu-lagu yang udah gue download biasanya nggak gue dengarkan di Spotify. Makanya jangan heran meskipun gue suka banget sama album ‘The War’ (dan ketika gue bilang gue suka banget berarti akan gue ulang-ulang terus) lagu-lagu dari album ini nggak ada di Top 100 Spotify 2018 gue.

Tapi ‘Tempo’ ada.



Gue shock juga sebenarnya. Soalnya Spotify Wrapped itu kan baru mulai trending kayak awal-awal Desember gitu. Gue sendiri baru mencoba itu di 6 Desember 2018. Sementara ‘Tempo’ dirilis bulan November. Kebayang kan tuh berapa kali gue ngulang-ngulang itu lagu sampai akhirnya dia bisa ada di Top 100 lagu yang gue dengarkan sepanjang 2018? Ya tapi ini sebenarnya juga karena gue nggak terlalu banyak dengerin lagu lain sih, kayak yang tadi gue bilang, jadinya mungkin itu alasan kenapa ‘Tempo’ naiknya cepet banget. Meski begitu gue bangga lho. Soalnya biasanya gue tipikal yang nggak akan mendengarkan lagu EXO terus-terus di awal-awal perilisannya untuk menghindari kebosanan, jadi gue kasih jeda antara sebulan atau dua bulan dulu sebelum akhirnya gue bener-bener mendengarkan satu albumnya. Tapi yang album ‘Don’t Mess Up My Tempo’ ini memang agak beda.

Entah ini mungkin karena efek udah nungguin banget comeback mereka kali ya? Atau karena gue juga udah sekangen itu sama grup ini? Atau mungkin efek karena Zhang Yixing yang sudah lama berpulang ke Tanah China akhirnya bisa meluangkan waktu untuk kembali ke Korea sekejap dan ikutan syuting MV? Ya semuanya mungkin sih. Tapi yang jelas, momen awal gue mendengarkan album ‘Don’t Mess Up My Tempo’ ini agak-agak mirip sama ketika gue mendengarkan album ‘The War’ dulu.

Walaupun gue suka banget sama kebanyakan lagu-lagu yang dirilis EXO, ada beberapa lagu yang terbilang jarang gue dengarkan. Kebanyakan lagu itu ada di album ‘EX’ACT’ sama ‘Lotto’. Sebenarnya bukan karena lagu-lagunya jelek (muehehehehe), tapi mungkin nggak masuk aja di gue entah gimana. Dua album ini mungkin adalah album EXO yang paling jarang gue dengarkan sejak perilisannya. Gue juga termasuk yang jarang dengerin single-single solo atau kolaborasi gitu. Ya nggak kepikiran aja sampai ke situ. Mungkin abis ini gue akan coba dengerin deh. Kecuali ‘Best Luck’-nya Chen ya. Itu sih kayak lagu karaoke kamar mandi gue meskipun suara gue jelek. Muahahahaha.

Kalau ‘EX’ACT’ adalah album EXO yang paling jarang gue dengerin, maka album EXO yang paling gue suka pastinya ‘EXODUS’. Kalau soal album ini gue tuh udah yang bias banget sih sebenarnya. Soalnya di zaman-zaman ini, gue masih aktif banget nulis di blog soal review teaser, foto, sampai MV-nya meskipun pada akhirnya mengecewakan karena nggak sebagus teaser-nya. Tapi secara tracklist, nggak ada satu lagu pun di ‘EXODUS’ yang gue nggak suka. Mendengarkan album ini tuh kalau buat gue kayak dengerin album ‘Millennium’-nya Backstreet Boys. Full of pop music, less experimental, and EXO just being EXO. ‘EXODUS’ adalah album yang menurut gue menjadikan standar untuk lagu-lagu EXO di album berikutnya.



As expected, gue stuck di ‘EXODUS’ dalam waktu yang lama banget. ‘El Dorado’ is one of my favorite song from this album. Nggak cuma lagu ini tuh EXO banget karena konsep power-power itu masuk masuk dan terasa di sini, tapi lirik lagunya juga ngena untuk perjalanan karier EXO dari 12 member ke 9 member di repackaged album itu. Selain itu, dan ini gue baru sadar beberapa bulan yang lalu di 2018 sih sebenarnya, gue jadi suka banget sama lagu ‘What If...’. Gue nggak bisa menjelaskan alasan pastinya kenapa, tapi ceritanya di suatu hari gue tuh sedang mencoba mencari satu lagu yang bisa gue dengarkan untuk membantu konsentrasi ketika mau baca ulang Harry Potter. Ketika gue shuffle semua lagu yang ada di handphone gue, tiba-tiba lagu ‘What If...’ ini yang ngasih momen ‘DEG!’ gitu. Dan akhirnya gue ‘repeat one’ lagu ini dan wow, ternyata lagunya bagus dan enak buat diajak bersantai duduk di coffee shop, mojok, baca Harry Potter, tidak memperhatikan dunia sekitar dan tenggelam bersama fantasi-fantasi di Hogwarts. Sejak itu ‘What If...’ pun jadi lagu lain yang gue suka di ‘EXODUS’.

Nah tadi kan gue bilang kalau pengalaman dan perasaan gue mendengarkan album ‘Don’t Mess Up My Tempo’ ini agak-agak mirip dengan ketika gue mendengarkan ‘The War’. Soalnya gini, ketika gue dengerin ‘The War’ dulu gue nggak expect kalau lagu-lagunya bakalan beda banget dari ‘EX’ACT’. Album ‘EX’ACT’ ini bener-bener merusak segala kenikmatan mendengarkan album EXO kalau buat gue (pada saat itu lho ya! Soalnya efeknya jadi beda nih ketika gue mendengarkan ‘EX’ACT’ setelah ‘Don’t Mess Up My Tempo’ dan ‘The War’ dirilis. Belum lama ini gue dengerin lagi album itu dan ternyata, yah, memang gue tidak jadi suka banget kayak album yang lainnya, tapi sekarang feel-nya better-lah). Gue sempat berpikir kalo EXO nih pasti dalam beberapa tahun ke depan bakalan terus-terusan punya lagu ala-ala EDM ganggu gini nih. Sebenarnya asyik juga kalau EXO terus bereksperimen dengan musik-musik mereka. Jadi mereka punya range genre yang luas dan nggak akan bikin pendengar bosan. Terlebih pendengar-pendengar baru yang nggak ngikutin mereka dari awal. Karena kalau fans lama kan pastilah akan tetap tertarik meski ya kayak gue juga, julid dulu awalnya. Tapi kalau terus-terusan EDM kan membosankan juga lama-lama. Fase sih itu. Di tahun perilisan ‘EX’ACT’ itu kan semua lagu orang-orang ini sama aja feel-nya. Untungnya di ‘The War’, EXO nampilin sesuatu yang beda banget.

Gue sama sekali nggak pernah menyangka gue akan suka banget sama album ‘The War’ (flow tracklist di album repackaged-nya di sisi lain belum terlalu bisa gue nikmati karena masih stuck di tracklist original). But without a doubt, ‘The War’ sangat bisa menggantikan posisi ‘EXODUS’ sebagai the best EXO album ever versi gue. Men, lagu-lagu di album ini tuh feel-nya pantai banget. Gue bisa membayangkan diri gue memutar lagu-lagu ini di headset sambil duduk di kafe di pinggir pantai, menyeruput air kelapa langsung dari buah kelapanya, menikmati deburan ombak dan angin sejuk pantai meski matahari sedang terik-teriknya. Abis itu kalau ada cewek cantik lewat gue akan, “Yo, nice skirt!” sambil naikin satu alis, mainin kaca mata hitam, benerin topi, dan nyengir sok cool. Dan kabar baiknya buat gue, untuk pertama kalinya gue bisa menikmati rap-nya Chanyeol. Muahahahahha.

I mean... admit it. He’s not the best rapper in Kpop scene, but the producers of every EXO’s song always gave him the right part with the right portion within the song. In the other hand, Sehun juga jadi dapat porsi yang nggak lagi cuma segitu-segitu aja. Kombinasi Chanyeol dan Sehun makin ke sini makin harmoni dan makin bisa gue nikmati. Walaupun gue akan tetap julid sama Chanyeol sih. Nggak tahu kenapa.

#RonSedangToxic


Gue kesulitan untuk memilih salah satu dari tracklist di ‘The War’ untuk jadi lagu favorit gue karena semua lagu kayak berhubungan dan saling melengkapi satu sama lain. Tapi kalau memang harus banget memilih, definitely‘Going Crazy’ sih. This is like the final song of the album and when I first listened to this I was like, “Shit, I don’t understand the lyrics except that ‘I hate you, neaga michyeo’ part but this song and its’ lyrics must be good!” Penutup yang sempurna dan penuh kebencian wahahahhahaha. Dan bener aja dong pas gue baca liriknya, gue langsung ya, WAAAAAA BANGSAT SEKALI PEMIRSA. HAHAHAHAHAHAHHAAHA. Beberapa lirik (terjemahan) yang muter-muter di kepala gue ketika gue baca liriknya adalah kayak:


“My scars are getting deeper, it keeps hurting. But it was you.”

“I hate you, I’m going crazy. Only a thick scar called you remains, not even able to erase it. I’m going crazy.”

“You drive me crazy. Is my body even my own? I can’t control it.”


Dan makin menuju akhir, gue kayak yang, WAGELASEH EXO HAHAHAHAH OKE BAIK.


“My heart is racing as if it’ll explode. I wanna know what’s next. Adrenaline rush spreading all throughout my body. Don’t know what you do to me.”

“Call me crazy but I still want you.”

“Call me crazy but I still want you.”

“Call me crazy but I still want you.”

“Call me crazy but I still want you.”

“CALL ME CRAZY BUT I STILL WANT YOU.”




Wow.

Gue gak tahu apakah ada lagu EXO lain yang lebih related sama kehidupan gue lima tahun terakhir selain lagu ini. Seo Lim dan JQ did a very great job with the lyrics. Ini lagu judulnya ‘Going Crazy’ dan gue mendengarkan dan membaca liriknya beneran kayak jadi orang gila saking gue pengen banget teriak “I HATE YOU!!!!!!!!” tapi di saat yang sama “BUT I STILL WANT YOU!!!!!!!”

Sigh. Ok. Calm down.

Tarik napas.

Kentutin.



Sudah dua bulan nih sejak ‘Tempo’ dirilis, tanpa sadar gue sebenarnya ngasih jeda yang cukup lama untuk nggak mendengarkan lagu-lagu lama EXO. Sehingga (ya Allah sehingga hahaha) gue bisa fokus dulu ke album baru. Nggak tahu kenapa juga ya, mungkin memang lagi mood, gue mendengarkan lagu-lagu di album ‘Don’t Mess Up My Tempo’ ini lebih relijius dibandingkan album-album sebelumnya. Ditambah lagi karena ‘The War’ berhasil banget ninggalin “that feeling” di gue. Ninggalin kesan yang mendalam banget gitu, jadi ada perasaan positif yang bikin gue yakin album kelima ini juga bakalan terdengar menyenangkan. Gue semacem sudah mengantisipasi kalau akan ada lagu-lagu lain yang nggak kalah menarik dari ‘Going Crazy’. Yang paling penting sih, gue penasaran sekaligus berharap apakah album ini bisa ngalahin ‘EXODUS’ sebagai album EXO terbaik versi gue?

Ada ritual aneh yang mendadak gue amalkan (kwkwkw) ketika ‘Don’t Mess Up My Tempo’ dirilis: gue harus suka dulu sama title track albumnya sebelum gue dengerin lagu-lagu lain di album tersebut.

Makanya, di minggu pertama perilisan album ini, gue sengaja banget cuma repeat one lagu ‘Tempo’ di Spotify. Sengaja nggak mendengarkan dulu B-side track-nya supaya bisa fokus ke lagu ini dan dengan harapan berujung suka. Ada lagu-lagu EXO yang memang sekali dengar gue akan langsung suka kayak ‘Ko Ko Bop’ sama ‘Love Me Right’. Tapi beberapa lagu yang lain tuh kayak butuh didengarkan dulu berkali-kali untuk bisa suka. Nah, biasanya kalau gue udah suka sama title track-nya pasti lagu-lagu yang lain akan lebih enak untuk diikuti. Kebetulan di album ‘Don’t Mess Up My Tempo’ ini kan ‘Tempo’ jadi track pertama/pembuka. Yang paling penting kedua sebenarnya juga lagu pembuka albumnya. Ini terbukti berkali-kali sih ke gue kayak misalnya baru-baru ini, dengan niatan untuk memperluas khazanah musik gue di 2019, gue mulai mendengarkan abum pop Amerika kayak Charlie Puth gitu misalnya. Ada dua album Charlie Puth di Spotify dan dua-duanya dibuka dengan lagu yang nge-hooked gue banget buat stay dan mendengarkan sampai di track terakhir.

Tbh untuk suka sama ‘Tempo’ sebenarnya nggak butuh waktu lama. Waktu pertama kali gue denger lagu ini, gue nyaris teriak soalnya di setiap part dan perubahan beat itu tuh kayak ikonik banget. Gue nggak merasakan ini sebelumnya ketika menonton teaser dan mendengarkan potongan-potongan lagunya di teaser. Tapi waktu lagu full-nya keluar, wah asli gue teriak. Bahkan dua bulan setelah lagu ini dirilis, feel-nya masih sama kayak pertama kali mendengarkannya. Which is a good sign.


Alasan kenapa itu bisa terjadi kalau menurut gue, walaupun ini akan terdengar sangat bias banget sih, karena di lagu ini EXO tuh kayak loncat ke level yang berbeda dari segi musikalitas dan vokal mereka. Men, siapa yang menyangka enam tahun kemudian part Sehun di title track jadi sebanyak ini? Walaupun gue sama sekali nggak akan bisa menyanyikan part itu kalau lagi karaoke ‘Tempo’. Dan jokes-jokes soal “Kasih Sehun lebih banyak line!” udah nggak berlaku lagi sekarang. (Hello WinWin, jalanmu masih panjang nak.) Soalnya kalau didenger-denger kayaknya sekarang part dia jauh lebih lama dan lebih banyak dari Kyungsoo.

Ada banyak banget suara tabrak-tabrak yang kemudian menciptakan harmoni menyenangkan buat telinga gue di lagu ini. Bahkan di part rap Sehun itu pun terasa banget harmonisasinya. Suara Sehun yang rendah dihantam suara vocalists tuh jadinya kayak “OH PLEASE DON’T STOP SINGING!!!!!!!” Lagu ini tuh ibarat lo lagi di jalan raya deh kalau kata gue. Ada banyak banget suara-suara dari sana sini, dari depan dan di latar belakang, tapi nggak ganggu dan malah bikin lagunya jadi lengkap dan makin enak didengar. Dari awal “I CAN’T BELIEVE’ aja udah langsung ada suara “dum dum dum dum dum” sama “aw aw aw aw”. Pas chorus pertama “Don’t mess up my tempo~” ada suara cekit-cekit kayak kursi kantor rusak yang dipaksa didudukin dan digoyangin ke depan ke belakang “nyit nyit nyit nyit” gitu tapi enak juga jadinya nih kalo dimasukin ke lagu ini. Semua vocalization entah Kyungsoo, Chen, Baekhyun atau Suho enak banget tolong! Dengerin juga di detik 00:45 ke 01:00 itu ada banyak banget suara berisik di belakang mulai dari yang jerit-jerit sampai yang entah kecetit atau gimana. Lho tapi kok enak aja?! SIAL!

Awalnya gue agak gimana gitu pas bagian Xiumin/Baekhyun yang suaranya terdistorsi sebelum akhirnya Sehun/Chanyeol nge-rap. Tapi lama-lama itu jadi aksen yang malah bikin lagu ini jadi nyatu. Bersamaan dengan suara-suara random “AYY AYY AYY”, “WHAAT?!”, “AWWW!” dan apapun deh yang lo bisa tangkap ketika lo mendengarkan lagu ini. Tapi yang jadi favorit gue adalah part akapela sih. Wah gila gila gila gila gila!!!!! Gue sama sekali nggak pernah membayangkan EXO akan memasukkan elemen akapela ini di dalam lagunya. Dari awal gue udah curiga sih sama suara “dum dum dum dum dum dum dum dum dum” itu karena masa sih cuma di awal doang? Eh pas udah masuk ke bagian-bagian akhir lagu, kita dikasih yang lebih lama plus balutan suara Suho dan Baekhyun.

Maaf, mz. Saya nyerah mau mati aja.



Terlalu banyak hal yang terjadi dalam satu menit lagu ‘Tempo’ tapi nggak berarti itu bikin lagu ini jadi susah diproses. Semua elemen-elemen yang bertabrakan itu justru membuat lagunya jadi nge-mix dan nge-match banget yang ketika lagu ini selesai, akan bikin lo ngerasa kayak abis naik roller-coaster; ada perasaan capek tapi puas dan “WOW GUE MAU LAGI DONG!” gitu. Ya, ketika mendengarkan ‘Tempo’ rasanya memang kok lagu ini kayak nggak berhenti-berhenti sih? Tapi pas berhenti, lo akan merasa puas banget.

Hey, welcome to EXOGASM!

Tapi gue nggak mau bahas lirik lagunya deh soalnya buat gue ‘Tempo’ ini terlalu cheesy dan tipikal lirik yang kayak nggak appealing buat gue gitu. Jadi kali ini gue sudah cukup puas mendengarkan lagunya tanpa tahu liriknya. Sementara MV-nya sendiri buat gue berada di level cukuplah untuk sebuah album yang ditunggu-tunggu selama berbulan-bulan. Porsi Yixing memang sangat kurang banget sih tapi cukup termaafkan daripada nggak ada sama sekali. Gue malah sebenarnya sangat ingin berterima kasih ke Zhang Yixing aka Lay karena di antara plan-plan album internasionalnya dia masih bisa menyempatkan waktu buat album ini, menyempatkan waktu untuk “reuni” sama para member EXO. Walaupun gue sangat merindukan suara khas Lay ada di antara harmonisasi suara-suara itu, tapi segini aja sebenarnya sudah cukuplah. Sebagai fans yang sudah ngikutin karier mereka sejak awal (walaupun sekarang sudah tidak se-freak dulu buat tahu berita-berita terkait mereka—atau yang lebih suka gue sebut dengan casual fan), gue bisa menilai kalau posisinya sekarang antara EXO dan Lay ini sudah jadi dua entitas yang terpisah.

Pas lagi mandi gitu biasanya gue suka kepikiran nih sama hal-hal yang kayak gini. Kenapa sih SM Entertainment nggak lebih ambisius dalam mempromosikan EXO? Kenapa sih EXO tuh nggak dibawa ke Amerika gitu kayak NCT misalnya? Kenapa cuma Lay doang? Padahal kan kalau misalnya EXO dan Lay bisa dibawa ke pasar Amerika di saat yang sama at least mereka bisa promosi bareng di sana gitu maksudnya. Tapi kemudian pas kapan gitu gue gak sengaja nonton satu acara yang ada EXO-nya dan pas ditanya soal sub-unit, mereka jawab kalau guru vokal Baekhyun, Chen sama Xiumin yang pertama kali ngide soal sub-unit CBX itu. Terus salah satu dari mereka bilang kalau “kami coba buat ngomong ke manajemen dan manajemen setuju”. Di situlah gue mulai mikir, apa jangan-jangan sebenarnya bukannya SM nggak mau mempromosikan EXO berlebihan sampai ke Amerika. Mungkin member EXO yang ngerasa kayak “Udahlah, cukup di sini aja. Capek kali ke Amerika cuy. Mending waktu buat promo di sana itu kita manfaatin buat me-time aja. Gimana?”

Dan melihat beberapa bulan terakhir setelah ‘Tempo’ dirilis mereka jadi banyak main dan liburan ke mana gitu gue jadi kayak, “Oh yaudah nggak apa-apa banget deh lo pada jarang muncul dan jarang ngeluarin album. Asal lo pada bahagia dan menikmati hidup. Karena kan hidup nggak selalu buat bekerja dan nyari duit men. Lagipula lo EXO gitu, udah nggak usah mikirin utang ke manajemen lagi. Semua utang udah lunas sekarang ya waktunya buat nikmatin hasil aja deh. Chill aja gitu. Gue setuju dan gue dukung lo kayak gitu!”

(Di sisi lain, SM: “Lay, anak-anak nggak mau nih ke Amerika. Kalau lo sendiri, mau nggak?”)

(Lay: “KENAPA AKU TIDAK DIKEMBALIKAN SAJA KE HARIBAAN MEMBER-MEMBERKU?! KENAPA MALAH AKU YANG DILEMPAR KE AMERIKA, MZ?!?!?!?!?”)


Ya kalau dipikir-pikir mau ngejer apa lagi sih EXO-EXO ini? Fans mereka termasuk yang setia juga. Nggak takutlah mereka kehilangan fans. Lagian kalau pun pada akhirnya mereka kehilangan fans ya berarti mereka sudah waktunya untuk regenerasi. Memang 6 tahun ini nggak berasa banget sebenarnya. Cepet banget gitu lho gue ngerasanya. Bentar lagi member tertua udah harus wamil, dan itu juga berarti akan membuat banyak banget perubahan dari segi formasi. Tapi ya harusnya nggak perlu terlalu dipikirin sih. Soalnya comeback ‘Call Me Baby’ aja masih 10 terus repackaged ‘Love Me Right’ udah 9 fine-fine aja kan.

Gue akan bahas sedikit soal MV tapi nggak mendetail soalnya selama dua bulan berselang pasti sudah ada banyak teori-teori fans soal MV ini. Gue cuma mau bilang kalau ini adalah salah satu MV yang ada di level ‘Okelah’ yang dibuat SM Entertainment untuk EXO. ‘Wolf’(bukan drama version) sama ‘Overdose’ masih masuk kategori MV EXO paling jelek. Yang ini masih lebih bagus dan lebih niatlah. Tempo perubahan dari adegan satu ke adegan lainnya cepet banget. Walaupun kesannya kayak nggak ada yang ingin disampaikan dari MV ini tapi sebenarnya kalau diperhatikan lagi ada hidden message dalam setiap adegan itu. Hidden message yang dibawa oleh mas-mas bermotor yang datang entah dari mana di awal MV, masuk ke area kotak berwarna merah yang ternyata sebuah portal untuk menuju ke universe yang lain mungkin, mengangkat kunci motornya kemudian menghilang. Lalu sesekali dia muncul di lokasi-lokasi yang berbeda (teleportasi?), berubah-ubah dari satu member ke member lain.

Sama seperti lagunya, ada banyak detail di latar belakang dalam MV ‘Tempo’ yang entah kenapa gue ngeliat MV ini kayak versi dark dari ‘Ko Ko Bop’. Kalau di ‘Ko Ko Bop’ kan mereka nampilin warna-warna yang cerah dan kontras banget. Di sini warna-warnanya sedikit lebih kalem dan nuansa hitam-merah (atau Black-Pink muahahahha) bener-bener nyolok mata banget. Detail-detail di MV ini, kalau kita nggak terlalu fokus sama member pasti akan menimbulkan banyak pertanyaan. Tapi ya nggak perlu dijawab. Biar fans-fans yang bikin teori aja yang menjawabnya.

Salah satu detail yang gue suka adalah orang-orang yang terperangkap di dalam kubus-kubus berwarna putih yang ada di latar belakang itu. Walaupun adegan itu muncul ketika member sedang nyanyi atau sedang dance, tapi buat gue kesan misteriusnya terasa banget. Malah ketika gue nonton lagi MV ini di Januari 2019, dua bulan setelah perilisannya, fokus gue nggak ke member lagi. Tapi ke detail-detail apa yang ada di belakang mereka. Salah satunya ya orang-orang di belakang kubus putih ini. Dan bicara soal kubus, ada banyak banget kubus yang muncul di MV ini, seolah jadi penghubung antara satu sama lain (atau penghubung dengan Jennie mungkin mz) dengan portal yang membawa mereka ke universe yang berbeda. This concept of moving into another universe with a single cube is so fascinating for me. And of course, Yixing, aksen yang membuat MV ini jadi semakin sempurna. YO WE FINALLY GOT OT9!!!!!!!


Kalau di paragraf sebelumnya gue tulis mendengarkan ‘EXODUS’ tuh kayak dengerin album ‘Millennium’-nya Backstreet Boys, album ‘Don’t Mess Up My Tempo’ ini rasanya kayak lagi mendengarkan album Backstreet Boys yang ‘Black & Blue’. Ada berbagai genre pop yang ditawarkan dalam 39 menit (bukan versi repackaged) dan menurut gue semuanya ada di jalur yang benar. Maksudnya, beberapa lagu memang terdengar seperti benar-benar baru. Kayak EXO nggak pernah sama sekali keluar dan nyanyi lagu macam ini. Tapi di saat yang sama, lagu-lagu yang baru itu juga terdengar familiar soalnya mereka ada “di track yang benar” tadi. Kontras dengan ‘EX’ACT’ di mana mereka kesannya terlalu ngambil risiko untuk keluar dari jalur mereka dan mencoba sesuatu yang totally experimental. Well, some songs on that album might not too experimental but some other song sounds like... I don’t now... it was just too hard for me to process. Hehe.

Dan kita tiba di pertanyaan penting: lagu mana dari album ‘Don’t Mess Up My Tempo’ ini yang paling gue suka?

OH. MY. GOD!

INI ADALAH PERTANYAAN TERSULIT SEPANJANG 2019 INI GAIS!

Tadinya gue pikir gue akan biasa aja sama ‘Sign’ tapi nggak bisa karena gue kegaet dan nggak bisa lepas waktu udah masuk bagian refrain. Gue bisa membayangkan bagaimana serunya lagu ini pas ditampilkan di konser. Gue sudah bisa membayangkan diri gue akan berdiri di paling belakang—gak akan lagi desek-desekan sama fansite begajulan yang egois di section tengah ewwwww—menikmati lagu ini sepenuh hati sambil head-banging dan tangan diangkat ke atas membentuk huruf L. Setiap kali Chen/Baekhyun menutup satu part lagu menuju ke refrain rasanya pengin teriak “WHOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!!!!!” kenceng banget. Dan harus gue akui kali ini gue baik-baik saja dengan suara Chanyeol di background vokal. Setelah gue nyinyir abis-abisan karena di album ‘The War’ penempatan suara dia di belakang itu terlalu maksa banget.

Eh maaf.

Gue nggak bisa nggak suka ‘Ooh La La’ karena gue adalah long time time fan of Latin pop. Sebenarnya ini sudah ketebak sih karena cepat atau lambat EXO pasti akan kebagian juga nyanyiin Latin pop mengingat beberapa artis SM terdahulu di tahun yang sama juga merilis lagu bernuansa Latin. Super Junior kayaknya bentar lagi bakalan bikin lagu pake Bahasa Spanyol semua. Tapi yang gue nggak nyangka, EXO tuh dapetnya lagu bernuansa Latin yang enggak terlalu telenovela banget gitu lho. Gue suka lagu-lagu telenovela gitu, tapi yang ‘Ooh La La’ ini tuh nuansa Latin-nya terasa subtle karena dikombinasikan dengan genre 808 bass plus ada suara gitar-gitar Spanyol-nya. Jiwa dangdut gue udah kebakar dengerin lagu ini. Rasanya kayak pas lagi kerasukan terus diruqyah.


Temen gue yang namanya Dita itu suka banget sama ‘Gravity’. Lagu ini mengingatkan gue sama lagu-lagu di album ‘The War’ sih. Yang sampai sekarang masih bikin bingung tuh sebenarnya ‘With You’. Gue nggak tahu ya apakah gue harus suka atau tidak suka sama lagu ini. Kalo didengerin bener-bener gue agak bingung sama lagunya ini sebenarnya mau dibawa ke mana ya kita. Tapi suara Baekhyun di situ membuyarkan semua kebingungan itu dan akhirnya yasudah aku telan saja mentah-mentah dan tidak perlu dipikirkan lebih lanjut lagi.

Kebingungan itu akhirnya dibuat netral dengan track selanjutnya: ‘24/7’. Ini lagu cocok banget kalau didengerin pas lagi ingin menari dengan diri sendiri dan chill aja di rumah sambil mandangin lampu. Soalnya setelah lagu itu ada ‘Bad Dream’ juga yang feel-nya kurang lebih sama. Gue suka lagu ini karena ada bagian “UUUUUU UWU UWU WOOOO~~~” jelang chorus-nya. Yang aneh sebenarnya ketika gue bisa menikmati lagu ini dan susah menikmati lagu-lagu kayak ‘Artifical Love’ gitu padahal sama-sama ada di keluarga EDM dan R&B kontemporer meski balutannya beda. Emang basically gue udah gak suka sih sama ‘EX’ACT’.

Maaf mz dan mb.

Satu lagu lain yang gue pikir akan sangat menyenangkan di konser adalah ‘Damage’, kurang lebih sama kayak ‘Sign’ lah. Di sini gue suka lho rap-nya Sehun, anehnya. Wahahahha. Walaupun awalnya agak awkward sih pas bagian “말라버린 기대와 내 의무감도” tapi abis itu udah nggak awkward lagi eh gue malah menikmatinya. Sama kayak ‘Going Crazy’ juga, gue tahu gue akan suka lirik lagu ini karena pasti nih misuh-misuh gitu. Pas akhirnya gue baca translation-nya MUAHAHAAHAHAHHAHA. BANGSAAT KALIAAAAAAAAAN HAHAHAHAHHAHAHA.

“It’s all over, we can’t go back. If I could meet someone else and fall in love... The more I think about it the wounds in my heart deepen and I know that I can’t have any other love...”

(INTERUPSI: E.X.O)

“It’s all your fault. You hurt me and keep making me hurt. It’s all your fault that the damage grew. You set off my flares every moments and the damage is too big to go back. You, the darkness overlaps and overlaps again. It’s all your fault that caused this damage. In the end it was me, but I’ve already left you far behind.”

Gue suka nih kalau lagu misuh-misuh tapi enak kayak gini! Ddak nae style! WKWKKWKW.

Ketika pertama kali denger ‘Smile On My Face’ gue merasa lagu ini familiar. Kayak salah satu lagu pop barat yang sering gue dengar belakangan ini. Kayak ada feel lagunya Shawn Mendes tapi gue nggak bisa inget yang mana. Lagu ini mungkin yang paling slow dari semua lagu yang ada di album ‘Don’t Mess Up My Tempo’ dan jadi jembatan yang pas untuk menuju lagu selanjutnya yang FIX ADALAH LAGU YANG PALING GUE SUKA DI ALBUM INI: Oasis.

HUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUUHUHUHUHUHUHUHUHU.


Nggak tahu ya gimana lo mendengarkannya, tapi buat gue ketika pertama kali mendengarkan ‘Oasis’ dan setelah itu gue ulang-ulang lagi, ada sesuatu di dalam lagu ini yang terasa personal gitu. Dari musik dan melodinya tuh rasanya kayak mengingatkan gue ke sebuah lagu yang dulu pernah gue dengar ketika kecil dan gue suka banget bahkan sampai bikin gue sedih, tapi gue nggak bisa inget itu lagu apa. Lebih jauh lagi sih kalau mau bicara soal lirik, lagu ini juga bisa jadi representasi dari apa yang terjadi sama gue sepanjang 2017 ke 2018. Wah gila sih itu adalah perjalanan mencari jawaban yang nggak kelar-kelar. Capeknya berasa banget. Hausnya berasa banget. Berharap ada “oasis” di tengah-tengah perjalanan gue yang bisa ngasih gue semangat dan puk-puk, yang akan bilang “Hey, Ron, you can do this. You got this. Keep on fighting!” So yeah, this song is about chasing the sun and running in a road that you never take before. Finding comfort and a place where we can be ourselves and be happy, always. You know, without afraid of being judged or surrounded by toxic people. This song is about finding an oasis, comfort, and finding your true self.

“You go your own way, you don’t have to stop.”

“And we go further and further on this road with a long way to go. Still running, I’m running chasing the sun. We’ll go further, even further, finding a road never take before.”

Ini adalah lagu penutup yang sempurna buat ‘Don’t Mess Up My Tempo’. Relaxing banget. Serius, sebelum gue nulis posting-an ini, sebulan berselang setelah perilisan albumnya, gue pernah jadiin lagu ini sebagai pengantar tidur. Wah kacau hahahahaha ada banyak sekali memori-memori yang mendadak datang meski seharusnya nggak datang, ada banyak kekhawatiran-kekhawatiran yang mendadak dipikirkan padahal sebenarnya nggak perlu dipikirkan. Tapi di saat yang sama, I feel okay. Because when I wake up tomorrow, I’m gonna face everything and continue running and chasing the sun.

Pada akhirnya gue mungkin memang harus meletakkan ‘Don’t Mess Up My Tempo’ di posisi teratas dalam urutan album EXO paling favorit versi gue. Itu artinya gue harus rela menurunkan ‘EXODUS’ ke posisi dua. Nggak apa-apa. Gue ikhlas, ‘El Dorado’ gue diganti dengan ‘Oasis’.
.
.
.
.
.
NB: Gue belum mendengarkan ‘Love Shot’ serelijius gue mendengarkan ‘Tempo’. Tapi gue bisa bilang kalau lagu-lagu tambahan di repackaged ini semakin menyempurnakan deretan lagu yang sudah ada. Beruntung juga album ini dirilis dekat-dekat Desember, jadi EXO ada alasan untuk mencantumkan lagu ‘Wait’ dengan winter song vibe meski ini bukan winter special album. Mungkin abis ini gue akan kembali dengan tulisan lain soal ‘Love Shot’ dan tiga lagu lain itu. Wallahualam bishawab.


Bandung; tentang Kenyamanan dan Perasaan

$
0
0

Mungkin beberapa di antara kalian yang sejak lama mengikuti tulisan gue di blog ini sudah tahu kalau gue berasal dari Lombok. Buat yang belum tahu dan merasa butuh tahu, ya itu sekarang kalian sudah tahu. Hehehe. 

Gue mulai menjadi anak rantau di tahun 2009, di tahun yang sama juga nama gue dipanggil oleh wali kelas di SMA dan diberitahu kalau gue diterima di Universitas Indonesia lewat jalur PPKB waktu itu. Gue ingat hari itu hari Kamis dan gue sedang ada di kelas Geografi ketika wali kelas gue (yang beberapa tahun lalu meninggal dunia) menyerahkan surat dari UI dalam amplop putih. Buat orang lain mungkin ini adalah kabar yang ditunggu-tunggu. Tapi buat gue saat itu rasanya gue nggak mau surat ini datang. Gue sudah diterima di Universitas Mataram di jalur yang sepertinya akan menyenangkan, Pendidikan Bahasa Inggris, dan gue akan tetap berada di Lombok dengan teman-teman dekat gue di SMA. Selama beberapa minggu gue sudah lupa kalau gue pernah diam-diam mengirim aplikasi pendaftaran ke UI, pakai pas foto yang gue edit di photoshop pakai badan Daniel Radcliffe (ini beneran, gue gak bercanda gais lmao), membayar uang pendaftaran dengan uang bulanan gue yang waktu itu hanya Rp 100 ribu per bulan. Gue nggak ngasih tahu nyokap gue, gue nggak ngasih tahu bokap gue. Mereka tahunya di hari yang sama dengan gue menerima surat itu. Sempat terjadi perdebatan di antara kami bertiga sampai akhirnya diambil sebuah keputusan: gue berangkat ke UI. 

Yang namanya anak rantau, di awal-awal pasti berat banget dong. Apalagi itu pertama kalinya gue harus tinggal jauh dari orangtua. Dari nyokap. Harus melakukan semuanya sendiri dan untuk pertama kalinya juga gue nggak pulang saat hari Lebaran karena masalah tiket yang sangat mahal pada saat itu. Butuh satu tahun untuk bisa membiasakan diri dengan ritme kehidupan yang baru. Bangun pagi tanpa suara nyokap dan makan makanan warteg setiap hari karena hanya itu makanan paling affordable yang mengenyangkan yang bisa gue makan saat itu. Ya sesekali makan di Mall kalau ada uang lebih. Seiring waktu berjalan gue akhirnya bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar, walaupun, yah, gue akan tetap jadi gue. 

Alien. 

Yang diketawain karena wallpaper laptopnya artis Korea. 

Ugh. 
Di awal-awal kuliah gue kenal dengan beberapa orang teman dari fakultas berbeda. Kita sering main bareng dan jalan-jalan bareng. Menjelajah Detos/Margo City sampai ITC Depok. Keluar masuk gang Stasiun Pondok Cina dan merasakan bagaimana susahnya nyebrang jalan di Margonda. Dan suatu hari ketika sedang menunggu kerendahan hati manusia-manusia berkendaraan yang tidak juga menampakkan keinginan untuk melaju pelan-pelan padahal sudah jelas-jelas segerombolan orang sedang ingin menyebrang jalan, gue melihat sebuah bus biru jurusan Depok – Bandung. 

Bandung. 

Gue seperti membeku sesaat. 

Kota itu terasa sangat familiar tapi juga terasa sangat asing. Seorang Bibi ada yang pernah tinggal di Bandung. Bekerja di rumah sebuah keluarga yang dulu sempat juga tinggal di Lombok dan pindah ke Bandung di sekitar tahun 90-an, lalu Bibi gue ini diajak untuk ikut pindah ke Bandung. Nama kota ini sudah sering disebut-sebut sejak gue kecil. Makanya gue bilang gue sangat familiar dengan kota ini. Kenapa kemudian Bandung terasa asing karena gue sama sekali nggak pernah ke sana. Walaupun gue sangat ingin ke sana. 
“Pacar gue kuliah di Bandung,” cerita salah satu teman di kampus di suatu hari kita bubaran kelas MPKT. Waktu itu kelas MPKT gue di Fakultas Psikologi, walaupun gue anak FISIP.
“Oh ya? Udah berapa lama kalian LDR?” gue berjalan di sebelah teman gue ini: perempuan berambut bergelombang panjang melebihi bahu dengan tahi lalat di bagian dagu kirinya. Ketika menulis paragraf ini, gue bisa membayangkan penampilan gue pas kuliah dulu: celana jins gombrong yang kepanjangan jadi bagian bawahnya dilipat beberapa kali dan baju garis-garis kodian dari Tanah Abang yang gue beli sebulan sebelum gue pindah ke Depok.
“Ya sejak kita sama-sama kuliah. Gue dari Padang ke Depok, dia dari Padang ke Bandung,” katanya. “Tapi gue sering ke Bandung buat nyamperin dia. Dia kadang-kadang juga ke Depok buat ketemu gue. Ya giliran lah,” katanya lagi. 
Gue nggak pernah berani bertanya bagaimana caranya ke Bandung dari Depok dan gue iri banget sama dia karena dia sudah pernah ke Bandung. Sudah sering ke Bandung. Sementara gue belum pernah sama sekali. 

Ketika gue melihat bus itu melintas di hadapan gue di Jalan Margonda, gue berkesimpulan bahwa bus itulah salah satu cara untuk menuju Bandung. 

Walaupun akhirnya sampai gue lulus dan dapat kerja gue nggak pernah sama sekali mencoba untuk pergi ke Bandung dan naik bus itu. Gue yang dulu belum berani untuk pergi jauh-jauh sendirian. Belum percaya diri untuk melakukan solo traveling. Perjalanan terjauh yang gue lakukan ketika gue tinggal di Depok adalah MEIS Ancol buat konser Super Junior di tahun 2012. Selain itu nggak pernah sama sekali. Sampai akhirnya di tahun 2013 gue kenal beberapa orang dari Bandung. Karena keberanian dan kepercayaan diri gue sudah meningkat beberapa level dari sejak awal gue pindah ke Depok, akhirnya gue pun berani untuk pergi ke Bandung sendirian. 

Waktu itu gue belum melek kereta jadi perjalanan pertama gue ke Bandung pakai travel. Agak deg-degan juga karena gue belum pernah ke Bandung sebelumnya dan ini adalah pertama kalinya gue naik travel. Gue nggak tahu sampai di sana nanti gue harus gimana. Gue hanya menerima arahan via SMS dari seorang teman. Yang membuat gue berani melawan ketakutan-ketakutan gue untuk ke Bandung sendirian. Dan sejak saat itu, Bandung selalu punya tempat spesial di hati gue. 

Karena dia. 


Ada banyak banget momen liburan akhir pekan setelah gue mulai bekerja di Jakarta Selatan di pertengahan tahun 2013 yang gue habiskan di Bandung. Gue pun akhirnya kenal dengan beberapa orang di tahun itu dan masih berteman sampai sekarang. Beberapa ada yang jadi teman dekat banget, ada juga yang—yah—semacam teman tapi tidak teman tapi teman tapi ya kok nggak kayak teman-teman banget tapi ya gitu deh pokoknya. Seringkali di circle teman kuliah yang sampai sekarang masih sering kontak-kontakan, gue dikatain karena selalu berusaha mengajak mereka untuk pergi ke Bandung di akhir pekan. 
“Ngapain sih ke Bandung terus!” kata Deasy, salah satu teman gue yang paling sarkas kalau ngomong.
“Ya seneng aja,” kata gue.
“Tapi gue bosen ke Bandung. Kayak setahun terakhir gue hampir tiap bulan ke Bandung ke rumah kakak gue. Males ah!” 
Ya tapi Deasy lupa kalau gue kan bukan dia. Gue kan nggak punya kakak di Bandung. Gue juga nggak setiap akhir bulan ke Bandung untuk mengunjungi saudara atau relasi. Jadi wajar dong kalau gue ngajak lo. Ah sebel. 

Dari sekian banyak ajakan ke Bandung gue dari tahun 2013, Deasy baru setuju buat ikut di tahun 2017. Waktu itu gue baru pindah dari kantor ketiga gue menuju ke kantor keempat dan kita segeng ramai-ramai menginap di salah satu tempat lucu di Lembang. Tapi jauh sebelum tahun 2017 itu, Bandung sudah meninggalkan kesan yang sangat mendalam buat gue. Bagaimana gue menjelaskan ini ya? 

Ada banyak sekali momen di sepanjang tahun 2014 misalnya yang berkesan dan terjadi di Bandung. Gue inget banget di tahun itu, gue kalau mampir ke Bandung pasti akan dijemput oleh Linda. Gue dan Linda sudah temenan sejak kita nonton konser Super Junior di MEIS tahun 2012 itu. Dan sejak itu, kalau gue ke Bandung dia pasti akan jemput gue di manapun kendaraan yang gue gunakan berhenti. Dia akan boncengin gue naik motor dan kita akan keliling Bandung sampai puas. Dari Tangkuban Perahu ke Kawah Putih. Dari sisi teramai pusat kota sampai pinggiran-pinggiran kota. Perjalanan-perjalanan yang entah kenapa punya arti yang lebih buat gue. Bukan hanya karena gue sedang sama Linda yang selalu mau nganterin ke mana pun gue mau pergi, tapi karena kota ini sendiri punya kekuatan magis yang membuat gue nyaman. 

Bandung sekarang macet banget di akhir pekan. Gue tahu. Gue mungkin adalah salah satu penyebab kemacetan itu karena gue kan seharusnya diem aja di Jakarta nggak usah datang ke Bandung dan membuat jalanan jadi semakin riweuh dengan ojek yang gue tumpangi. Tapi karena gue sudah sering terjebak macet di Jakarta apalagi buat gue yang pernah jadi pengguna aktif metro mini, macetnya Bandung di atas ojek semacam yaudahlahya. Bahkan meski tahun sudah berganti, teman-teman yang sebelumnya bisa diajak ke mana-mana sekarang juga sudah punya kesibukan yang lain, gue pun sudah jarang bisa bertemu dengan Linda karena kesibukannya dia juga, gue pun masih tetap menikmati momen berkunjung ke Bandung. Bedanya sekarang gue lebih suka naik kereta daripada naik travel. Tentu saja. Siapa yang mau menghabiskan waktu berjam-jam di jalan tol kalau bisa naik kereta yang sudah pasti 3 jam lebih sedikit bisa langsung sampai Bandung?

PT Kereta Api Indonesia did a very great job untuk kereta Bandung – Jakarta (pp). Apalah aku tanpa Argo Parahyangan yang kusayangi ini. Sejak pertama kali mencoba naik kereta ke Bandung, gue nggak akan pernah lagi mau naik bus atau travel dari atau menuju ke Bandung. Sebenarnya nggak cuma setelah sampai Bandungnya sih yang sangat gue tunggu-tunggu setiap kali gue melakukan perjalanan ke kota ini. Tapi perjalanan dari Jakarta dengan keretanya juga sangat gue nantikan. Buat orang yang suka melamun dan mengkhayal kayak gue, momen menyandarkan kepala di kaca jendela kereta api adalah hal yang sangat gue tunggu-tunggu untuk dilakukan di setiap perjalanan. Ya setidaknya sebelum gue menyumpal kuping gue dengan headset dan tertidur pulas sampai stasiun terakhir. 

Melihat pemandangan yang bergerak secepat kilat di luar selalu memberikan perasaan-perasaan yang berbeda di setiap perjalanannya. Pikiran-pikiran yang melayang mengingat kenangan-kenangan dengan orang-orang tertentu. Dengan dia yang aku suka tapi nggak suka aku. Merangkai skenario-skenario aneh yang kalau gue beruntung bisa jadi satu cerita pendek yang komplit atau mungkin hanya sekedar kutipan untuk ditulis di Tumblr. Pokoknya perjalanan naik kereta dari Jakarta ke Bandung atau Bandung ke Jakarta itu selalu istimewa. Dan untuk momen istimewa itu butuh perencanaan yang matang juga dari jauh-jauh hari. 

Belakangan teman jalan gue ke Bandung adalah Ais. Kita selalu senang merencanakan perjalanan ini meski idenya kadang-kadang datang secara random. Kayak misalnya ketika suatu sore kita lagi ketemuan di McDonald’s Plaza Festival dan salah satu dari kita nyeletuk “Bandung yuk!” yang lain pasti akan langsung menanggapi dengan “YUK!” tanpa ragu-ragu. Buru-buru buka aplikasi Pegipegi untuk langsung booking tiket kereta api ke Bandung supaya dapat tiket kereta yang kita mau. Biasanya gue sama Ais selalu seneng berangkat Jumat malam sepulang kerja dari Gambir menuju Bandung, dan kembali dari Bandung di hari Minggu malam setelah semua kegiatan ngumpul-ngumpul dengan teman-teman di sana selesai. 

Beli tiket pulang pergi di aplikasi Pegipegi lebih simpel karena cuma perlu beberapa kali tap aja. Buat lo yang misalnya baru instal aplikasi ini, gue sarankan untuk menyimpan data diri lo dulu secara lengkap sesuai KTP di daftar penumpang. Jadi di next booking, lo hanya tinggal nyari tujuan keretanya aja tanpa perlu repot masukin ulang nama dan nomor identitas. Setelah itu, tinggal tap-tap-tap aja sampai proses pembayaran (ya tapi jangan lupa dicek dua kali tujuannya dan jam keberangkatannya supaya nggak salah hehehe). Metode pembayarannya pun ada banyak mulai dari transfer bank, ATM, virtual account BCA (my fave!), internet banking, di minimarket kayak Alfamart dan Indomaret, atau juga kartu kredit (MY FAVE FAVE FAVE!). Setelah proses pembayaran selesai, e-ticket akan dikirim ke email yang kamu gunakan untuk mendaftar akun Pegipegi (fix banget kalian harus bikin akun dulu sebelum transaksi yaaa). Ntar di stasiun tinggal scan barcode deh buat boarding pass-nya. Simpel! Coba deh next trip kalian ke mana aja, entah ke Bandung, Cirebon, Jogja, atau Surabaya, beli tiket keretanya lewat aplikasi Pegipegi. Favorit gue banget sih. 

Gue sama Ais udah beberapa kali pergi ke Bandung bareng. Kita pernah booking penginapan yang lokasinya di Buah Batu dan jauh dari mana-mana karena saking random-nya. Di hari itu juga kita nggak bisa masuk ke kamar di penginapannya karena penunggunya enggak ada. Alhasil kita tidur di teras wisma itu dan digigitin nyamuk semalaman. Untungnya si mas-mas penunggu penginapannya merasa bersalah jadi yang harusnya kita menginap tiga malam jadi dihitung dua malam karena satu malamnya kita tidur di teras. 


Belakangan kalau pergi sama Ais, kita suka nginep di salah satu penginapan budget buat backpacker di kawasan Jalan Buton. Sejak nemu tempat ini, gue sama Ais nggak pernah lagi nyari tempat lain buat nginep kalau kita jalan-jalan ke Bandung. Nama tempatnya Buton Backpacker Lodge. Wah, tempat ini tuh perfect banget buat kalian yang mau berinteraksi dengan banyak orang asing dari berbagai negara karena tempatnya populer di kalangan backpacker luar negeri. Selain itu, kamarnya juga nyaman dan ruang tamunya pun homy dan cozy banget! Staff-nya juga ramah bahkan gue dibolehin manggil tukang pijet ke dalam kamar, di salah satu kunjungan gue ke Bandung setelah nikahan temen di Garut beberapa bulan lalu, karena nggak tahan lagi dengan badan yang pegel-pegel dan kondisi leher yang nggak bisa dipakai buat noleh ke kiri dan kanan. 

Gue sama Ais suka tempat ini juga karena dekat ke Jalan Braga. Kayak cuma sekilo jalan kaki doang dan sampai! 
“Fix banget sih kita harus nginep di sini lagi kalau ke Bandung, kak!” kata Ais di hari pertama kita nginep di Buton. “Ini tuh deket banget dari Braga!”
“Dan aku suka banget Braga sih, parah!” kata gue. 
Sesuka itu gue sama Jalan Braga, mohon maaf kalau ada yang enggak suka sama tempat ini. Hahahaha. Soalnya gue pernah cerita ke temen kantor gue yang orang Bandung, dia laki-laki dan usianya beberapa tahun lebih muda dari gue. Dia langsung bilang ke gue, “Ngapain sih ke Braga. Duh kalau gue sih, kalau temen-temen gue tahu gue main ke Braga, malu gue,” gitu. LIKE WHAT?! WHY SIH?!?!?! Butuh waktu yang agak lama buat gue mencerna kata-kata itu sampai akhirnya gue berkesimpulan “Oh mungkin ini local jokes kali ya. Gue kan turis jadi ya bodo amat,” gitu sih gue mikirnya. 



Buat sebagian warga setempat mungkin lokasi ini adalah tempat yang sangat dihindari. Gue inget salah satu officemate gue bilang, beberapa bulan yang lalu, "Malu kalo ada temen gue yang liat gue di Braga."😂😂😂 For me that sounds like an insult. Tapi mungkin emang "becandaan" orang lokal kali ya. Since gue b̶u̶k̶a̶n̶ belum jadi orang lokal, gue masih menjadikan Braga sebagai salah satu tempat favorit. Karena gue suka ngeliat orang-orang yang mondar-mandir, ngeliatin orang pacaran, bergunjing dengan diri sendiri ketika melihat seorang bule-bule daddy dengan pacar lokalnya yang terlalu muda (muahahahaha love is love you idiot!), duduk di salah satu kafe dan tenggelam dalam pikiran-pikiran nggak penting yang sekiranya bisa dibuat jadi cerita di proyek novel-yang-tak-pernah-selesai, menyesap secangkir kopi sambil mendengarkan cerita dari geng di meja sebelah yang sedang membicarakan seseorang dari kampus. Braga is full of energy and always alive. This is our version of Hongdae. I love it. As always. #Bandung #Canon_id #canonphotography #eosm3 #Braga #BitterLatte #WalkLikeLocals #KopiTokoDjawa
A post shared by RONZZY (@ronzstagram) on

Dalam beberapa kali perjalanan naik motor sama Linda di antara tahun 2013 dan 2014 itu, gue sering banget melewati Jalan Braga. Pindah dari satu event Kpop ke event Kpop lain di tahun itu entah gimana lewat aja Jalan Braga. Tapi di tahun itu gue nggak pernah bener-bener turun dan jalan kaki untuk masuk ke satu kafe dan kafe lain di tempat ini. Baru setelah kunjungan gue ke sekian (tidak sedang sama Linda waktu itu) gue baru bener-bener mampir ke sini dan masuk ke salah satu kafe namanya Sugar Rush. I enjoyed that place so much, until I found another place: Braga Punya Cerita. Gue inget banget gue menyelesaikan beberapa posting-an blog di tempat ini di satu malam Halloween ditemani oleh pocong jadi-jadian yang mencari sekeping uang limaratusan. Di kunjungan kedua gue bareng Ais ke Bandung (di hari kita nginep di Buton pertama kali) kami langsung ke Braga tengah malam di hari Jumat itu. Wow. I still don’t understand why but I love this street so much, even after midnight. I don’t know, man. I just love it. 

Braga tuh punya vibe yang berbeda yang entah kenapa bikin nyaman. Di satu sisi mungkin memang terlalu crowded dan kadang-kadang suka nabrak-nabrak orang kalau lagi jalan. Tapi di sisi lain, there is something about this place yang bikin gue betah aja berdiri di pinggir jalan atau duduk di salah satu kursi di pinggir jalan, menyeruput es kopi susu dari kedai kopi yang ada di sekitar situ, memperhatikan pasangan-pasangan yang sedang lalu-lalang hilir-mudik, sugarbaby dan sugardaddy-nya yang terlalu tua, atau pasangan sesama jenis yang sedang hangat-hangatnya. I love watching people move. Tapi mungkin yang bikin gue jatuh cinta sampai sebegitunya sama Bandung adalah kenangan-kenangan sama orang-orang yang pernah berinteraksi sama gue di kota ini sih. 

Sama kamu, kalau kamu baca. 

--- 

“Kemana weekend ini?” nyokap menelepon di satu Jumat malam setelah jam kerja selesai.
“Nggak kemana-mana, paling di kosan,” kata gue sambil menyeruput kopi dari mug hitam punya kantor.
“Tumben, biasanya ke Bandung?” kata nyokap lagi.
Senyum mengembang di bibir gue. Dia tahu gue banget.
“Hehe, sekarang enggak dulu,” gue jawab sambil senyum-senyum.
“Kamu tuh lebih sering pulang ke Bandung daripada ke Lombok. Kenapa sih? Ada yang disuka di sana?”
Gue senyum lagi.
Dia tahu gue banget. 
--- 

Dan setiap kali gue akan kembali ke Jakarta dari Bandung, gue selalu merasa ada sesuatu yang berat di dada kiri gue. Sesuatu yang seperti menahan gue untuk tidak pergi dari kota ini. Sesuatu yang seperti memaksa gue untuk tinggal lebih lama. Sesuatu yang entah apa, gue masih belum bisa menjelaskan dan menemukan jawabannya. Tapi nggak apa-apa, sampai jawabannya itu gue temukan nanti, gue akan menikmati perasaan berat meninggalkan Bandung ini. Supaya gue bisa selalu kembali lagi.


Mencoba Jadi Pujangga

$
0
0

“Galau terus!”

Gue agak menyesal buru-buru buka DM ketika Jeno (nama handphone gue) memberitahu ada notifikasi dari Instagram. Kalau isinya cuma kayak gitu mending gue swipe kiri aja terus dibaca nanti-nanti. Gue bukan tipe orang yang suka ngebiarin notifikasi numpuk sampai puluhan baru dibaca kecuali kalau kondisinya sangat sibuk banget. Gue mungkin orang yang paling fast response di seluruh dunia bahkan ngalahin online shop kesayangan lo. Tapi ya kadang-kadang agak kesel aja kalau misalnya udah buru-buru dibuka terus isinya cuma komentar pendek yang terkesan sok tahu.

Mungkin gue terdengar agak nyolot di bagian “sok tahu” tapi memang begitu adanya. Dan mungkin lo agak bingung kenapa tiba-tiba gue kayaknya marah-marah dibilang galau di DM Instagram. Sebenarnya ini mau ngomongin apa sih? Sebenarnya siapa sih yang ngatain gue galau? Sebenarnya posting-an kali ini tentang apa sih?

Gue udah lama suka nulis. Buat lo yang juga sudah lama suka menulis pasti lo ngerti bahwa kadang-kadang ide untuk membuat sebuah cerita itu datang pada momen yang enggak terduga-duga. Justru kalau diniatin banget buat nulis kadang-kadang malah idenya nggak akan muncul. Mari kita ambil contoh kejadian beberapa tahun yang lalu ketika gue masih kerja di detik.com. Siang itu gue ngantuk banget dan kepala gue mendadak pusing karena efek mata yang kecapekan ngeliatin laptop dari pagi. Di meja gue selalu ada bantal IU yang dikasih kak Adel buat jaga-jaga kalau sedang ngantuk begini. Gue merebahkan kepala gue di atas bantal itu dengan posisi menghadap ke kanan. Dan entah bagaimana gue kepikiran untuk menulis sebuah cerita sangat pendek tentang seorang pegawai kantoran yang mendadak mendapat kunjungan kejutan dari seseorang dari masa depan.


Pernah juga gue dapet ide untuk nulis cerita pendek ketika dalam perjalanan pulang dari Depok ke Buncit pakai angkot. Cerita itu gue ketik di handphone sepanjang jalan sampai akhirnya gue tiba di daerah dekat kosan gue. Kalau enggak salah sih gue pernah cerita juga di posting-an lama soal ini. Nah, untuk cerita yang ini memang sih gue berusaha untuk mengelaborasinya sepanjang gue bisa. Tapi kebanyakan kalau idenya datang mendadak gitu ya gue tulis seadanya. Dengan twist yang juga sekepikirannya saat itu aja. Enggak yang dipanjang-panjangin atau diubah-ubah. Seperti misalnya cerita yang gue tulis bulan Januari tahun lalu waktu macet di jalan dan sedang dalam perjalanan pulang naik TransJakarta ini.


Kebanyakan cerita ini memang tentang one-sided love dan cinta diam-diam. Kalau ditanya kenapa ceritanya ada di wilayah itu ya gue nggak tahu. Apakah dari pengalaman pribadi? Bisa jadi. Apakah gue pernah merasakan one-sided love? Mungkin aja. Apakah selama ini gue pernah mencintai orang diam-diam? Bisa jadi. Tapi mostly itu ide muncul karena random atau pernah mendengarkan cerita orang lain atau karena melihat dua orang yang sedang berdiri di pinggir jalan kemudian bertengkar. Bisa juga itu muncul karena malemnya gue mimpi random cerita yang kayak gitu. Atau efek nonton drama Korea. Atau bisa karena apa saja. Bukan berarti karena memang mengalaminya secara pribadi.

Mungkin ada unsur pengalaman pribadi tapi itu pasti sedikit sekali.

Nah, terkadang, ide yang gue dapet secara random ini juga enggak selalu bisa dituliskan dalam bentuk cerita pendek. Kadang-kadang bisa jadi dalam bentuk satu atau dua dialog antara dua karakter fiktif yang tiba-tiba memenuhi kepala gue. Gue selalu memberi nama mereka Airin dan Mario karena gue punya cerita tentang Airin dan Mario yang sudah lama gue tulis dan masih stuck di karakter itu. Bisa juga idenya muncul dalam satu kutipan saja.


Buat gue, satu atau dua kalimat yang muncul secara mendadak di kepala itu harus dituliskan. Mana tahu itu akan berguna untuk disambung-sambungkan dengan ide cerita lain yang selama ini sudah ingin gue tulis tapi belum sempat (sejauh ini sudah ada 5 ide cerita yang ingin dikembangkan buat jadi novel tapi masih belum punya waktu untuk benar-benar fokus menulis). Gue nggak mau menyia-nyiakan apapun itu yang mendadak muncul di kepala gue. Sesuatu seperti ini misalnya:


Atau ini:


Atau ini:


Selama beberapa tahun terakhir gue selalu nulis di status Facebook dan everybody seems fine with that. Ada sih yang komentar kayak “Galau ya bang?” atau “Pengalaman pribadi ya bang?” atau “Lagi sedih ya bang?” tapi kalau di Facebook entah kenapa gue nggak terlalu memikirkan komentar dari banyak orang. Mungkin karena orang-orang itu juga bukan orang yang ada di lingkaran gue. Bukan significant other gue. Jadi nggak terlalu yang merasa terganggu. Tapi karena belakangan Facebook lagi nggak asik dan Instagram menawarkan sebuah fitur font baru yang klasik dan unik di InstaStory, yaudah gue jadi suka aja nulis ke-random-an kepala gue di sana.

Itulah kenapa DM berisi “Galau terus!” itu akhirnya ada di kotak masuk. DM itu dari temen baik gue ngomong-ngomong. Kadang-kadang gue tanggepin. Tapi seringkali gue cuekin. Karena yang pertama, gue nggak sedang galau. Dan yang kedua, gue nggak mau dibilang galau.

Masa sih, orang yang suka menulis kata-kata yang terdegar puitis seperti itu selalu sedang galau? Bagaimana dengan gue yang kepalanya nggak pernah bisa istirahat bahkan sedetikpun? Bagaimana dengan Chairil Anwar?!

Let me tell you what happen in one minute inside my head, ya?

Contoh sederhana ketika sedang menulis ini deh. Seharusnya kan gue hanya memikirkan kata demi kata yang seharusnya gue ketik. Ketika memulai posting-an ini gue sama sekali enggak tahu apa yang akan gue tuliskan di paragraf selanjutnya ketika paragraf ini selesai. Jadi harus dipikirin dong supaya tulisannya bisa padu dan kalian enak membacanya. Tapi di saat yang sama gue juga mikirin lirik lagu yang sedang gue putar sambil menulis posting-an ini (saat ini sedang mendengarkan ‘To Love You More’ versi Lea Michelle dari Season 4 ‘Glee’) dan menahan diri untuk tidak ikutan menyanyi karena gue suka banget lagu ini.

Jangan kira cuma itu saja. Di saat yang sama gue juga mikirin soal gajian yang masih beberapa hari lagi (tanggal 31 Januari karena perubahan sistem penggajian dan segala macam jadi gajinya telat dibayarkan. OMG MATI GUE!). Di sisi lain otak gue juga sedang mikirin kenapa gue tadi enggak bawa laundry-nya ke ibu kos sih? Di sebelah sanaan dikit dari laundry ada bagian otak gue yang mikirin soal episode baru dari vlog yang belum di-edit. Nah yang paling aktif sebenarnya sisi melankolis itu yang setiap detik kayaknya diisi dengan kata-kata yang harus diolah untuk bisa di-posting di Instagram Story untuk jadi sebuah quote yang setidaknya bisa menggambarkan apa yang terjadi di sana (di sisi otak yang itu) dan mungkin bisa related sama mereka yang baca. Sementara di pojok sana, di sudut otak gue, selalu ada dia yang selalu gue panggil 'kamu'...

Ah...

LHO JADI GINI??!!



Gue nggak heran kalau di satu momen kepala gue kelihatan sangat besar dan lebih besar dari seharusnya. Nggak heran juga kalau jidat gue makin ke sini makin lebar seiring dengan rambut gue yang semakin hari semakin rontok. Tapi gue nggak tahu, apakah kalian juga seperti ini? Apakah dalam satu menit ada banyak hal yang terjadi di kepala kalian seperti gue? Coba ceritain di kolom komentar karena gue pengen denger!

Kondisi inilah yang kemudian bikin gue tuh susah banget khusyuk pas solat. Kadang-kadang malah kepikirannya ke macem-macem dan bikin nggak fokus ke sajadah dan Allah SWT. Setan memang ya pandai mempengaruhi manusia. Coba mereka pandai bikin aku lebih pintar dalam berbisnis pasti aku sudah kaya raya sekarang.

Lho kok jadi berharap ke setan gini.

LHO ADA APA DENGAN OTAK GUE?!

Gue jadi ingat waktu masih masa orientasi di kampus dulu ada sesi dari psikolog yang meminta kami anak-anak baru untuk memejamkan mata dan berimajinasi sesuai dengan narasi yang dia baca. Gue nggak inget detailnya kayak gimana yang jelas psikolog berjilbab itu meminta kami untuk bernapas pelan, kemudian membayangkan sedang memegang sebuah balon udara yang pelan-pelan melayang. Ketika gue buka mata, gue menemukan posisi tangan kanan gue sudah terangkat seolah-olah sedang memegang balon beneran. Di akhir sesi itu, mbak psikolog-nya bilang kalau: “Kita akan mudah melakukan apapun kalau kita dalam pikiran yang tenang. Kita akan mudah mengingat apapun kalau kita dalam kondisi yang kalem. Itulah kenapa kalau waktu solat, buat temen-temen muslim, kadang-kadang suka langsung inget sama hal-hal kecil. Kayak misalnya kunci laci yang selama ini dicari keselip di mana, atau apakah tadi keran air sudah dimatikan, atau misalnya lupa membalas pesan terakhir yang masuk ke kotak masuk di handphone.”

Masuk akal. Karena kita memberikan waktu otak kita untuk tenang sejenak dan menghadap Tuhan. Walaupun kemudian hal-hal begajulan lain yang muncul itu menghalangi kita untuk khusyuk. Gue sendiri bahkan sering lupa gue sudah masuk rakaat ketiga atau masih rakaat kedua kalau lagi solat. Ya karena saking tenangnya gue jadi kelamaan mikirin kunci yang keselip daripada mikirin solatnya sendiri.

Astagfirullah. Ya Allah jangan masukkan aku ke Neraka. Masukkan aku ke SM Entertainment saja jadi admin sosmed.

Yang jelas gue nggak terima dan kadang-kadang kesal kalau apa yang gue tuliskan di Instagram Story itu selalu dianggap sebagai sebuah kegalauan. Mungkin memang kesannya seperti galau karena kata-katanya memang sangat melankolis dan—yah—galau. Tapi kan bukan berarti gue sedang galau! Gue hanya mencoba untuk menuliskan apa saja yang melintas di kepala gue.

“Ya kalaupun misalnya memang gue galau, bagus dong, gue bisa mengekspresikan kegalauan gue itu dengan mengemasnya ke dalam kata-kata yang bisa gue posting sebagai karya?” begitu jawaban gue ke beberapa orang teman termasuk dia yang mengirim DM itu. Gue juga galau nggak pernah sampai yang neror orang buat ditelpon untuk mendengarkan kegalauan gue.

Gue sih yakin sedikit banyak mungkin ada yang terganggu dengan posting-an yang terkesan galau itu. Tapi, ya kalau nggak mau dilihat kan bisa di-tap dan di-skip aja. Gue sendiri tidak dalam kondisi untuk selalu mau memajang apa yang orang lain ingin lihat di akun Instagram gue. Gue memajang apa yang ada di pikiran gue dan apa yang sedang ingin gue pajang. Ya itu foto. Ya itu tulisan. Makanya sekarang gue nulis “Mencoba Jadi Pujangga” di bio Instagram gue supaya mereka yang mungkin enggak baca posting-an klarifikasi ini (ya sepenting itu ya gue klarifikasi edan memangnya gue siapa? Awkarin?) bisa mengerti bahwa apa yang gue post di caption Instagram atau di InstaStory bukan semata-mata karena galau, tapi karena memang kepala gue sedang mau menulis begitu dan tentang itu.

Tolong mengerti.

Ya pun kalian tidak mau mengerti juga bukan masalahku. Aku tidak akan mengubah kebiasaan ini. Maaf.

(Tertawa seperti Bellatrix Lestrange)

Sebagai orang yang suka nulis, terlebih sekarang gue mau lebih banyak lagi posting di blog, setiap hari pasti ada momen gue bertanya ke diri sendiri “Mau nulis apa hari ini?” Tapi seringkali ya itu tadi, ketika lo memaksa diri lo untuk berpikir mau menulis tentang apa seringkali kepala lo juga menolak untuk berpikir keras. Tapi pas lagi tiduran dengerin playlist Melly Goeslaw di Spotify atau seringkali pas lagi di kamar mandi buang hajat, ide buat nulis itu pasti bisa datang.

Memang benar sih, ide menulis yang paling mudah itu ya dari pengalaman pribadi. Tapi kalau soal galau cinta-cintaan gitu, pengalaman pribadi gue bisa dibilang nihil. Gue enggak pernah pacaran dan bukan orang yang menganut paham harus pacaran. Gue belum punya keinginan untuk menjalin hubungan serius karena gue sedang mengejar banyak sekali mimpi yang harus gue raih sebelum umur 35. Ya gue pernah sih suka sama orang. Dan gue bilang ke dia kalau gue suka sama dia. Tapi sayangnya orang itu enggak merasa hal yang sama sama gue. Udah itu aja. Cuma sekali itu. Sisanya mungkin cuma serangkaian perasaan-perasaan yang muncul dari baca buku, nonton film, drama, atau sekedar menyaksikan sekitar. Dan kalau sekali dua kali gue menulis soal sesuatu yang terkesan seperti pengalaman pribadi (terutama soal cinta) ya masa enggak boleh sih? Gue memang enggak pernah merasakannya tapi bukan berarti gue nggak boleh menuliskan sesuatu terkait dengan hal itu, dong? Kan gue bisa berimajinasi.

Gue tidak sedang menyudutkan mereka yang ngatain gue galau. Enggak kok. Memang terkadang menyebalkan tapi gue fine-fine aja. Teh Yani aka Mami Luhan bahkan pernah ngucapin selamat ulang tahun ke gue dengan menyebut gue sebagai “That galau guy” atau “Galau boy” atau semacamnya gue lupa. Kalau itu kemudian jadi sebuah identitas, gue seneng banget. Karena, hey, Nazriel Irham nggak akan bisa nulis lirik-lirik lagu yang bagus luar biasa kayak gitu kalau dia nggak pernah merasa galau. Woozi ‘Seventeen’ nggak akan bisa related nulis lirik soal cinta dan patah hati kalau dia sendiri enggak pernah jatuh cinta dan patah hati. Taeyeon mungkin nggak akan bisa dapat feel waktu nyanyiin ‘Fine’ bagian 'Urin majimak' kemudian nangis di MV-nya (lol) kalau dia nggak mencoba related dengan lirik dan melodi dalam lagu itu. Bahan mendiang Jonghyun mungkin nggak akan nyiptain puluhan lagu dengan nuansa-nuansa melankolis dan galau kalau dia nggak pernah benar-benar berada di dalam kondisi demikian.

Galau nggak selalu identik dengan hal yang negatif. Dan gue mencoba untuk mengekspresikan kegalauan itu (kalau memang sedang galau ya, tapi tidak selalu!) lewat quote-quote yang nggak selalu kejadian kok di kehidupan nyata gue, tapi terjadi cuma di dalam kepala gue. Dan itu bukanlah sesuatu yang buruk kalau menurut gue sih. Gue bukan Ariel yang sudah pernah pacaran sama banyak cewek, bukan juga Woozi yang mungkin juga udah pernah pacaran dengan beberapa cewek, gue juga bukan Taeyeon yang pernah pacaran (entah setting-an entah beneran) sama Baekhyun, dan gue juga bukan Jonghyun yang pernah living through a sad and depressing condition. Gue cuma mau menulis apa yang muncul di kepala gue sebagai bentuk ekspresi dan kreativitas. Jadi tolong mengertilah. Kepalaku tidak bisa diam meski semenit. Otakku tidak bisa berhenti berpikir tentang sesuatu meski sesaat. Bahwa aku saat ini sedang mencoba jadi pujangga.

Itu saja.

Follow Me/KaosKakiBau in everywhere!
Watch my #vlog on YouTube: KaosKakiBauTV (#vron #vlognyaron)
Twitter: ronzzykevin
Facebook: fb.com/kaoskakibau
Instagram: ronzstagram / KaosKakiBauDotCom / roningrayscale
LIVE SETIAP SENIN JAM 8 MALAM 'GLOOMY MONDAY!'
Instagram lain: kaoskakibaudotcom
Line@: @kaoskakibau (di search pake @ jangan lupa)
photos on this post is from my personal library. Credit properly when reposted.

Bandung; tentang Kenyamanan dan Perasaan

$
0
0

Mungkin beberapa di antara kalian yang sejak lama mengikuti tulisan gue di blog ini sudah tahu kalau gue berasal dari Lombok. Buat yang belum tahu dan merasa butuh tahu, ya itu sekarang kalian sudah tahu. Hehehe. 

Gue mulai menjadi anak rantau di tahun 2009, di tahun yang sama juga nama gue dipanggil oleh wali kelas di SMA dan diberitahu kalau gue diterima di Universitas Indonesia lewat jalur PPKB waktu itu. Gue ingat hari itu hari Kamis dan gue sedang ada di kelas Geografi ketika wali kelas gue (yang beberapa tahun lalu meninggal dunia) menyerahkan surat dari UI dalam amplop putih. Buat orang lain mungkin ini adalah kabar yang ditunggu-tunggu. Tapi buat gue saat itu rasanya gue nggak mau surat ini datang. Gue sudah diterima di Universitas Mataram di jalur yang sepertinya akan menyenangkan, Pendidikan Bahasa Inggris, dan gue akan tetap berada di Lombok dengan teman-teman dekat gue di SMA. Selama beberapa minggu gue sudah lupa kalau gue pernah diam-diam mengirim aplikasi pendaftaran ke UI, pakai pas foto yang gue edit di photoshop pakai badan Daniel Radcliffe (ini beneran, gue gak bercanda gais lmao), membayar uang pendaftaran dengan uang bulanan gue yang waktu itu hanya Rp 100 ribu per bulan. Gue nggak ngasih tahu nyokap gue, gue nggak ngasih tahu bokap gue. Mereka tahunya di hari yang sama dengan gue menerima surat itu. Sempat terjadi perdebatan di antara kami bertiga sampai akhirnya diambil sebuah keputusan: gue berangkat ke UI. 

Yang namanya anak rantau, di awal-awal pasti berat banget dong. Apalagi itu pertama kalinya gue harus tinggal jauh dari orangtua. Dari nyokap. Harus melakukan semuanya sendiri dan untuk pertama kalinya juga gue nggak pulang saat hari Lebaran karena masalah tiket yang sangat mahal pada saat itu. Butuh satu tahun untuk bisa membiasakan diri dengan ritme kehidupan yang baru. Bangun pagi tanpa suara nyokap dan makan makanan warteg setiap hari karena hanya itu makanan paling affordable yang mengenyangkan yang bisa gue makan saat itu. Ya sesekali makan di Mall kalau ada uang lebih. Seiring waktu berjalan gue akhirnya bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar, walaupun, yah, gue akan tetap jadi gue. 

Alien. 

Yang diketawain karena wallpaper laptopnya artis Korea. 

Ugh. 
Di awal-awal kuliah gue kenal dengan beberapa orang teman dari fakultas berbeda. Kita sering main bareng dan jalan-jalan bareng. Menjelajah Detos/Margo City sampai ITC Depok. Keluar masuk gang Stasiun Pondok Cina dan merasakan bagaimana susahnya nyebrang jalan di Margonda. Dan suatu hari ketika sedang menunggu kerendahan hati manusia-manusia berkendaraan yang tidak juga menampakkan keinginan untuk melaju pelan-pelan padahal sudah jelas-jelas segerombolan orang sedang ingin menyebrang jalan, gue melihat sebuah bus biru jurusan Depok – Bandung. 

Bandung. 

Gue seperti membeku sesaat. 

Kota itu terasa sangat familiar tapi juga terasa sangat asing. Seorang Bibi ada yang pernah tinggal di Bandung. Bekerja di rumah sebuah keluarga yang dulu sempat juga tinggal di Lombok dan pindah ke Bandung di sekitar tahun 90-an, lalu Bibi gue ini diajak untuk ikut pindah ke Bandung. Nama kota ini sudah sering disebut-sebut sejak gue kecil. Makanya gue bilang gue sangat familiar dengan kota ini. Kenapa kemudian Bandung terasa asing karena gue sama sekali nggak pernah ke sana. Walaupun gue sangat ingin ke sana. 
“Pacar gue kuliah di Bandung,” cerita salah satu teman di kampus di suatu hari kita bubaran kelas MPKT. Waktu itu kelas MPKT gue di Fakultas Psikologi, walaupun gue anak FISIP.
“Oh ya? Udah berapa lama kalian LDR?” gue berjalan di sebelah teman gue ini: perempuan berambut bergelombang panjang melebihi bahu dengan tahi lalat di bagian dagu kirinya. Ketika menulis paragraf ini, gue bisa membayangkan penampilan gue pas kuliah dulu: celana jins gombrong yang kepanjangan jadi bagian bawahnya dilipat beberapa kali dan baju garis-garis kodian dari Tanah Abang yang gue beli sebulan sebelum gue pindah ke Depok.
“Ya sejak kita sama-sama kuliah. Gue dari Padang ke Depok, dia dari Padang ke Bandung,” katanya. “Tapi gue sering ke Bandung buat nyamperin dia. Dia kadang-kadang juga ke Depok buat ketemu gue. Ya giliran lah,” katanya lagi. 
Gue nggak pernah berani bertanya bagaimana caranya ke Bandung dari Depok dan gue iri banget sama dia karena dia sudah pernah ke Bandung. Sudah sering ke Bandung. Sementara gue belum pernah sama sekali. 

Ketika gue melihat bus itu melintas di hadapan gue di Jalan Margonda, gue berkesimpulan bahwa bus itulah salah satu cara untuk menuju Bandung. 

Walaupun akhirnya sampai gue lulus dan dapat kerja gue nggak pernah sama sekali mencoba untuk pergi ke Bandung dan naik bus itu. Gue yang dulu belum berani untuk pergi jauh-jauh sendirian. Belum percaya diri untuk melakukan solo traveling. Perjalanan terjauh yang gue lakukan ketika gue tinggal di Depok adalah MEIS Ancol buat konser Super Junior di tahun 2012. Selain itu nggak pernah sama sekali. Sampai akhirnya di tahun 2013 gue kenal beberapa orang dari Bandung. Karena keberanian dan kepercayaan diri gue sudah meningkat beberapa level dari sejak awal gue pindah ke Depok, akhirnya gue pun berani untuk pergi ke Bandung sendirian. 

Waktu itu gue belum melek kereta jadi perjalanan pertama gue ke Bandung pakai travel. Agak deg-degan juga karena gue belum pernah ke Bandung sebelumnya dan ini adalah pertama kalinya gue naik travel. Gue nggak tahu sampai di sana nanti gue harus gimana. Gue hanya menerima arahan via SMS dari seorang teman. Yang membuat gue berani melawan ketakutan-ketakutan gue untuk ke Bandung sendirian. Dan sejak saat itu, Bandung selalu punya tempat spesial di hati gue. 

Karena dia. 


Ada banyak banget momen liburan akhir pekan setelah gue mulai bekerja di Jakarta Selatan di pertengahan tahun 2013 yang gue habiskan di Bandung. Gue pun akhirnya kenal dengan beberapa orang di tahun itu dan masih berteman sampai sekarang. Beberapa ada yang jadi teman dekat banget, ada juga yang—yah—semacam teman tapi tidak teman tapi teman tapi ya kok nggak kayak teman-teman banget tapi ya gitu deh pokoknya. Seringkali di circle teman kuliah yang sampai sekarang masih sering kontak-kontakan, gue dikatain karena selalu berusaha mengajak mereka untuk pergi ke Bandung di akhir pekan. 
“Ngapain sih ke Bandung terus!” kata Deasy, salah satu teman gue yang paling sarkas kalau ngomong.
“Ya seneng aja,” kata gue.
“Tapi gue bosen ke Bandung. Kayak setahun terakhir gue hampir tiap bulan ke Bandung ke rumah kakak gue. Males ah!” 
Ya tapi Deasy lupa kalau gue kan bukan dia. Gue kan nggak punya kakak di Bandung. Gue juga nggak setiap akhir bulan ke Bandung untuk mengunjungi saudara atau relasi. Jadi wajar dong kalau gue ngajak lo. Ah sebel. 

Dari sekian banyak ajakan ke Bandung gue dari tahun 2013, Deasy baru setuju buat ikut di tahun 2017. Waktu itu gue baru pindah dari kantor ketiga gue menuju ke kantor keempat dan kita segeng ramai-ramai menginap di salah satu tempat lucu di Lembang. Tapi jauh sebelum tahun 2017 itu, Bandung sudah meninggalkan kesan yang sangat mendalam buat gue. Bagaimana gue menjelaskan ini ya? 

Ada banyak sekali momen di sepanjang tahun 2014 misalnya yang berkesan dan terjadi di Bandung. Gue inget banget di tahun itu, gue kalau mampir ke Bandung pasti akan dijemput oleh Linda. Gue dan Linda sudah temenan sejak kita nonton konser Super Junior di MEIS tahun 2012 itu. Dan sejak itu, kalau gue ke Bandung dia pasti akan jemput gue di manapun kendaraan yang gue gunakan berhenti. Dia akan boncengin gue naik motor dan kita akan keliling Bandung sampai puas. Dari Tangkuban Perahu ke Kawah Putih. Dari sisi teramai pusat kota sampai pinggiran-pinggiran kota. Perjalanan-perjalanan yang entah kenapa punya arti yang lebih buat gue. Bukan hanya karena gue sedang sama Linda yang selalu mau nganterin ke mana pun gue mau pergi, tapi karena kota ini sendiri punya kekuatan magis yang membuat gue nyaman. 

Bandung sekarang macet banget di akhir pekan. Gue tahu. Gue mungkin adalah salah satu penyebab kemacetan itu karena gue kan seharusnya diem aja di Jakarta nggak usah datang ke Bandung dan membuat jalanan jadi semakin riweuh dengan ojek yang gue tumpangi. Tapi karena gue sudah sering terjebak macet di Jakarta apalagi buat gue yang pernah jadi pengguna aktif metro mini, macetnya Bandung di atas ojek semacam yaudahlahya. Bahkan meski tahun sudah berganti, teman-teman yang sebelumnya bisa diajak ke mana-mana sekarang juga sudah punya kesibukan yang lain, gue pun sudah jarang bisa bertemu dengan Linda karena kesibukannya dia juga, gue pun masih tetap menikmati momen berkunjung ke Bandung. Bedanya sekarang gue lebih suka naik kereta daripada naik travel. Tentu saja. Siapa yang mau menghabiskan waktu berjam-jam di jalan tol kalau bisa naik kereta yang sudah pasti 3 jam lebih sedikit bisa langsung sampai Bandung?

PT Kereta Api Indonesia did a very great job untuk kereta Bandung – Jakarta (pp). Apalah aku tanpa Argo Parahyangan yang kusayangi ini. Sejak pertama kali mencoba naik kereta ke Bandung, gue nggak akan pernah lagi mau naik bus atau travel dari atau menuju ke Bandung. Sebenarnya nggak cuma setelah sampai Bandungnya sih yang sangat gue tunggu-tunggu setiap kali gue melakukan perjalanan ke kota ini. Tapi perjalanan dari Jakarta dengan keretanya juga sangat gue nantikan. Buat orang yang suka melamun dan mengkhayal kayak gue, momen menyandarkan kepala di kaca jendela kereta api adalah hal yang sangat gue tunggu-tunggu untuk dilakukan di setiap perjalanan. Ya setidaknya sebelum gue menyumpal kuping gue dengan headset dan tertidur pulas sampai stasiun terakhir. 

Melihat pemandangan yang bergerak secepat kilat di luar selalu memberikan perasaan-perasaan yang berbeda di setiap perjalanannya. Pikiran-pikiran yang melayang mengingat kenangan-kenangan dengan orang-orang tertentu. Dengan dia yang aku suka tapi nggak suka aku. Merangkai skenario-skenario aneh yang kalau gue beruntung bisa jadi satu cerita pendek yang komplit atau mungkin hanya sekedar kutipan untuk ditulis di Tumblr. Pokoknya perjalanan naik kereta dari Jakarta ke Bandung atau Bandung ke Jakarta itu selalu istimewa. Dan untuk momen istimewa itu butuh perencanaan yang matang juga dari jauh-jauh hari. 

Belakangan teman jalan gue ke Bandung adalah Ais. Kita selalu senang merencanakan perjalanan ini meski idenya kadang-kadang datang secara random. Kayak misalnya ketika suatu sore kita lagi ketemuan di McDonald’s Plaza Festival dan salah satu dari kita nyeletuk “Bandung yuk!” yang lain pasti akan langsung menanggapi dengan “YUK!” tanpa ragu-ragu. Buru-buru buka aplikasi Pegipegi untuk langsung booking tiket kereta api ke Bandung supaya dapat tiket kereta yang kita mau. Biasanya gue sama Ais selalu seneng berangkat Jumat malam sepulang kerja dari Gambir menuju Bandung, dan kembali dari Bandung di hari Minggu malam setelah semua kegiatan ngumpul-ngumpul dengan teman-teman di sana selesai. 

Beli tiket pulang pergi di aplikasi Pegipegi lebih simpel karena cuma perlu beberapa kali tap aja. Buat lo yang misalnya baru instal aplikasi ini, gue sarankan untuk menyimpan data diri lo dulu secara lengkap sesuai KTP di daftar penumpang. Jadi di next booking, lo hanya tinggal nyari tujuan keretanya aja tanpa perlu repot masukin ulang nama dan nomor identitas. Setelah itu, tinggal tap-tap-tap aja sampai proses pembayaran (ya tapi jangan lupa dicek dua kali tujuannya dan jam keberangkatannya supaya nggak salah hehehe). Metode pembayarannya pun ada banyak mulai dari transfer bank, ATM, virtual account BCA (my fave!), internet banking, di minimarket kayak Alfamart dan Indomaret, atau juga kartu kredit (MY FAVE FAVE FAVE!). Setelah proses pembayaran selesai, e-ticket akan dikirim ke email yang kamu gunakan untuk mendaftar akun Pegipegi (fix banget kalian harus bikin akun dulu sebelum transaksi yaaa). Ntar di stasiun tinggal scan barcode deh buat boarding pass-nya. Simpel! Coba deh next trip kalian ke mana aja, entah ke Bandung, Cirebon, Jogja, atau Surabaya, beli tiket keretanya lewat aplikasi Pegipegi. Favorit gue banget sih. 

Gue sama Ais udah beberapa kali pergi ke Bandung bareng. Kita pernah booking penginapan yang lokasinya di Buah Batu dan jauh dari mana-mana karena saking random-nya. Di hari itu juga kita nggak bisa masuk ke kamar di penginapannya karena penunggunya enggak ada. Alhasil kita tidur di teras wisma itu dan digigitin nyamuk semalaman. Untungnya si mas-mas penunggu penginapannya merasa bersalah jadi yang harusnya kita menginap tiga malam jadi dihitung dua malam karena satu malamnya kita tidur di teras. 


Belakangan kalau pergi sama Ais, kita suka nginep di salah satu penginapan budget buat backpacker di kawasan Jalan Buton. Sejak nemu tempat ini, gue sama Ais nggak pernah lagi nyari tempat lain buat nginep kalau kita jalan-jalan ke Bandung. Nama tempatnya Buton Backpacker Lodge. Wah, tempat ini tuh perfect banget buat kalian yang mau berinteraksi dengan banyak orang asing dari berbagai negara karena tempatnya populer di kalangan backpacker luar negeri. Selain itu, kamarnya juga nyaman dan ruang tamunya pun homy dan cozy banget! Staff-nya juga ramah bahkan gue dibolehin manggil tukang pijet ke dalam kamar, di salah satu kunjungan gue ke Bandung setelah nikahan temen di Garut beberapa bulan lalu, karena nggak tahan lagi dengan badan yang pegel-pegel dan kondisi leher yang nggak bisa dipakai buat noleh ke kiri dan kanan. 

Gue sama Ais suka tempat ini juga karena dekat ke Jalan Braga. Kayak cuma sekilo jalan kaki doang dan sampai! 
“Fix banget sih kita harus nginep di sini lagi kalau ke Bandung, kak!” kata Ais di hari pertama kita nginep di Buton. “Ini tuh deket banget dari Braga!”
“Dan aku suka banget Braga sih, parah!” kata gue. 
Sesuka itu gue sama Jalan Braga, mohon maaf kalau ada yang enggak suka sama tempat ini. Hahahaha. Soalnya gue pernah cerita ke temen kantor gue yang orang Bandung, dia laki-laki dan usianya beberapa tahun lebih muda dari gue. Dia langsung bilang ke gue, “Ngapain sih ke Braga. Duh kalau gue sih, kalau temen-temen gue tahu gue main ke Braga, malu gue,” gitu. LIKE WHAT?! WHY SIH?!?!?! Butuh waktu yang agak lama buat gue mencerna kata-kata itu sampai akhirnya gue berkesimpulan “Oh mungkin ini local jokes kali ya. Gue kan turis jadi ya bodo amat,” gitu sih gue mikirnya. 




Buat sebagian warga setempat mungkin lokasi ini adalah tempat yang sangat dihindari. Gue inget salah satu officemate gue bilang, beberapa bulan yang lalu, "Malu kalo ada temen gue yang liat gue di Braga."😂😂😂 For me that sounds like an insult. Tapi mungkin emang "becandaan" orang lokal kali ya. Since gue b̶u̶k̶a̶n̶ belum jadi orang lokal, gue masih menjadikan Braga sebagai salah satu tempat favorit. Karena gue suka ngeliat orang-orang yang mondar-mandir, ngeliatin orang pacaran, bergunjing dengan diri sendiri ketika melihat seorang bule-bule daddy dengan pacar lokalnya yang terlalu muda (muahahahaha love is love you idiot!), duduk di salah satu kafe dan tenggelam dalam pikiran-pikiran nggak penting yang sekiranya bisa dibuat jadi cerita di proyek novel-yang-tak-pernah-selesai, menyesap secangkir kopi sambil mendengarkan cerita dari geng di meja sebelah yang sedang membicarakan seseorang dari kampus. Braga is full of energy and always alive. This is our version of Hongdae. I love it. As always. #Bandung #Canon_id #canonphotography #eosm3 #Braga #BitterLatte #WalkLikeLocals #KopiTokoDjawa
A post shared by RONZZY (@ronzstagram) on

Dalam beberapa kali perjalanan naik motor sama Linda di antara tahun 2013 dan 2014 itu, gue sering banget melewati Jalan Braga. Pindah dari satu event Kpop ke event Kpop lain di tahun itu entah gimana lewat aja Jalan Braga. Tapi di tahun itu gue nggak pernah bener-bener turun dan jalan kaki untuk masuk ke satu kafe dan kafe lain di tempat ini. Baru setelah kunjungan gue ke sekian (tidak sedang sama Linda waktu itu) gue baru bener-bener mampir ke sini dan masuk ke salah satu kafe namanya Sugar Rush. I enjoyed that place so much, until I found another place: Braga Punya Cerita. Gue inget banget gue menyelesaikan beberapa posting-an blog di tempat ini di satu malam Halloween ditemani oleh pocong jadi-jadian yang mencari sekeping uang limaratusan. Di kunjungan kedua gue bareng Ais ke Bandung (di hari kita nginep di Buton pertama kali) kami langsung ke Braga tengah malam di hari Jumat itu. Wow. I still don’t understand why but I love this street so much, even after midnight. I don’t know, man. I just love it. 

Braga tuh punya vibe yang berbeda yang entah kenapa bikin nyaman. Di satu sisi mungkin memang terlalu crowded dan kadang-kadang suka nabrak-nabrak orang kalau lagi jalan. Tapi di sisi lain, there is something about this place yang bikin gue betah aja berdiri di pinggir jalan atau duduk di salah satu kursi di pinggir jalan, menyeruput es kopi susu dari kedai kopi yang ada di sekitar situ, memperhatikan pasangan-pasangan yang sedang lalu-lalang hilir-mudik, sugarbaby dan sugardaddy-nya yang terlalu tua, atau pasangan sesama jenis yang sedang hangat-hangatnya. I love watching people move. Tapi mungkin yang bikin gue jatuh cinta sampai sebegitunya sama Bandung adalah kenangan-kenangan sama orang-orang yang pernah berinteraksi sama gue di kota ini sih. 

Sama kamu, kalau kamu baca. 

--- 

“Kemana weekend ini?” nyokap menelepon di satu Jumat malam setelah jam kerja selesai.
“Nggak kemana-mana, paling di kosan,” kata gue sambil menyeruput kopi dari mug hitam punya kantor.
“Tumben, biasanya ke Bandung?” kata nyokap lagi.
Senyum mengembang di bibir gue. Dia tahu gue banget.
“Hehe, sekarang enggak dulu,” gue jawab sambil senyum-senyum.
“Kamu tuh lebih sering pulang ke Bandung daripada ke Lombok. Kenapa sih? Ada yang disuka di sana?”
Gue senyum lagi.
Dia tahu gue banget. 
--- 

Dan setiap kali gue akan kembali ke Jakarta dari Bandung, gue selalu merasa ada sesuatu yang berat di dada kiri gue. Sesuatu yang seperti menahan gue untuk tidak pergi dari kota ini. Sesuatu yang seperti memaksa gue untuk tinggal lebih lama. Sesuatu yang entah apa, gue masih belum bisa menjelaskan dan menemukan jawabannya. Tapi nggak apa-apa, sampai jawabannya itu gue temukan nanti, gue akan menikmati perasaan berat meninggalkan Bandung ini. Supaya gue bisa selalu kembali lagi.


Us (2019): Bikin Ingin Teriak HENTIKAN!!! Tapi Juga Penasaran

$
0
0

Sambil baca review singkat ini, gue saranin lo dengerin original soundtrack-nya 'Us' di Spotify deh.


"Nonton yuk!"

Biasanya kalo temen kantor udah mengeluarkan ajakan sakti ini, gue nggak bisa nolak. Apalagi kalau yang ditonton adalah film horor dan thriller, wah favorit gue banget! Pas banget semalam hari Kamis alias Malam Jumat dan temen gue ini ngajakin nonton 'Us'. Salah satu film thriller yang bakalan banyak dibahas tahun ini karena nggak cuma menampilkan Lupita Nyong'o sebagai pemeran utamanya, tetapi juga sutradara Jordan Peele yang sebelumnya sukses menciptakan kengerian dan menyentil isu-isu rasis di film 'Get Out'.

Gue mau bikin pengakuan dulu: gue nonton 'Get Out' enggak di bioskop, tapi download dari forum sebelah. WKWKWKW.

Soalnya waktu itu pas lagi di bioskop nggak sempat buat nontonnya, eh udah turun aja. Walaupun gue melakukan hal yang ilegal, tapi gue nggak nyesel nontonnya di laptop. Soalnya... Wow... WOW... Kalau gue nonton di bioskop, mungkin gue akan meledak-ledak di bioskop. Akan teriak ketakutan dan minta tolong untuk filmnya disudahi saja. Yah, waktu nonton di laptop juga kurang lebih sih gitu. Mau banget gue matiin dan udah nggak usah dilanjutin aja. Tapi di saat yang sama gue nggak bisa dibikin penasaran. 'Get Out' ini gila sih, nggak tanggung-tanggung gitu lho mempermainkan mental dan perasaan gue yang suka film horor dan thriller tapi sangat lemah dan gampang teriak kalau dikagetin sama jump scare (atau tidak jump scare sekalipun). Dan perasaan yang sama kembali ketika gue nonton 'Us' semalam.


Kisah berawal dari sebuah keluarga beranggotakan empat orang: Addy, Gabe, Zora dan Justin yang sedang menghabiskan liburan musim panas mereka ke rumah lama tak jauh dari pantai Santa Cruz. Waktu keluarga ini diperkenalkan, rasanya ini film menyenangkan banget karena keluarganya juga santai, apalagi Gabe yang kebanyakan bercanda. Tapi di antara sinar matahari musim panas yang dominan banget di bagian awal film, terselip perasaan-perasaan janggal yang mendadak muncul dan gue nggak tahu kenapa. Gue membatin "Ini gue tahu nih ada sesuatu yang nggak beres! Nggak mungkin keluarga ini akan bahagia terus kan. Lagian ini film thriller!" gitu. Seolah-olah gue nggak sabar buat nunggu bagian seremnya. Tapi gue salah. HARUSNYA GUE GAK USAH TERLALU MENUNGGU-NUNGGU. GUE MENYESAL. Perasaan gue makin nggak enak karena musik latar film ini juara banget sik untuk mendukung suasana horornya.

Addy (diperankan oleh Lupita Nyong'o) punya pengalaman masa lalu yang kelam di lingkungan sekitar tempat tinggal lamanya, di rumah yang sedang mereka kunjungi untuk liburan itu, dan juga Pantai Santa Cruz. Ketika dia kembali ke tempat-tempat itu, episode-episode lama dalam kehidupannya mendadak muncul. Menimbulkan tanda tanya buat para penonton. Gabe (diperankan oleh Winston Duke), suaminya, nggak pernah tahu apa yang terjadi di masa lalu Addy. Dan malam itu ketika Addy baru aja mau menceritakannya, teror datang.

Di situlah hidup gue mulai nggak tenang.

Ada satu keluarga berpakaian merah, bergandengan tangan berdiri bersaf gitu di halaman rumah mereka. Kalau cuma berdiri doang sih yaudah kan nggak mengancam. Tapi ini mereka berdiri, terus menyerang sambil bawa-bawa gunting (ada yang merayap dengan gerakan supercepat segala sampai manjat-manjat pohon!), dan ingin membunuh anggota keluarga Addy. Waktu dilihat, ternyata keluarga yang berpakaian merah ini wajahnya sama persis dengan wajah anggota keluarga Addy. Kembar. Tapi versi jahatnya.

Tentu saja Addy dan Gabe berusaha untuk melindungi keluarganya dari teror orang-orang jahat ini. Tapi ternyata enggak semudah yang mereka kira. Mereka berusaha kabur dari rumah itu dan mencari bantuan, tapi sayangnya bukan cuma mereka yang kena teror oleh kembaran jahat mereka, tapi seluruh kota. Termasuk keluarga Tylers yang adalah teman baik keluarga Addy dan Gabe.

Petualangan dimulai gais. Pertumpahan darah pun terjadi. Siapkan nyali aja pokoknya.


Film ini punya kekuatan di cerita yang walaupun pada akhirnya lo akan dibuat bertanya-tanya juga.  Lalu bermain dengan fantasi dan teori-teori sendiri. Semacem open ending gitu. Selain itu, elemen-elemen lain seperti musik dalam film ini juga diperhatikan banget. Sehingga semakin menghidupkan teror dan misteri yang ditawarkan oleh penulis skenario dan sutradaranya. Dari awal mulai film, musiknya sudah akan terngiang-ngiang di kuping. Musik-musik anthem choir ala sekte aliran sesat (serius lo dengerin deh serem banget tapi gue suka wkwkwkwk). Walaupun shot-nya kelinci, tapi background musiknya aslik ngerik. Nggak cuma sampai di situ aja, suasana dan kondisi tanpa pertolongan ketika keluarga Addy berusaha menyelamatkan diri juga jadi bikin adrenalin kita jadi terpacu.

"Gue nggak kuat nonton ini nih!" kata temen sebelah gue setelah setengah jam film berjalan. Sebenarnya gue juga merasa kayak gitu. Film ini bikin depresi banget. Gue juga ingin cepat-cepat keluar aja dari bioskop dan minum Java Tea di luar lalu pulang dan menikmati sisa Malam Jumat dengan ngaji. Tapi gue kok penasaran sama akhir ceritanya. Yaudah akhirnya kita betah-betahin nonton sampai abis.

'Us' bukan film yang mengandalkan jump scare seperti film-film horor yang ada hantunya. Kengeriannya justru karena kita nggak akan bisa menebak dari arah mana orang-orang jahat itu akan muncul dan teror apa yang akan mereka bawa selanjutnya. Dan yah seperti yang gue bilang di paragraf sebelumnya, kondisi helpless-nya itu yang bikin serem. Soalnya ketika lo pikir satu teror sudah berakhir, sebenarnya itu adalah awal dari teror baru yang lebih bikin geleng-geleng kepala. Ada banyak jokes-jokes ringan yang mengundang tawa yang diselipkan di antara situasi hidup atau mati. Lo akan tertawa kenceng tapi juga kesal dan ketakutan di saat yang sama.

Salah satu teman gue yang nonton di bioskop berbeda di Bandung mengaku mual nonton film ini. "NGGAK KUAT!" katanya. Sementara buat mereka yang suka film-film yang agak sadis akan puas banget sih, meski efek tusuk-tusukannya nggak terlalu diperlihatkan di layar meski film ini dapat rating 17 tahun ke atas. Kengeriannya 11:12 sama 'Get Out' tapi menurut gue pribadi, 'Get Out' lebih bikin trauma, marah, jijik, dan kesal sih mungkin karena elemen rasisme dalam film itu. Sementara di 'Us' unsur rasisme malah enggak ada sama sekali, lebih ke keluarga dan teror dari kembaran jahat mereka.

PS: Pecinta kelinci jangan nonton film ini.

(Tulisan ini juga dipublikasikan di KASKUS.id lewat akun moviegangsta)


Sibuk dengan Pikiran Sendiri

$
0
0

Apa yang biasanya lo lakukan setelah bangun tidur?

Gue hampir pasti ngecek handphone. Entah itu ngeliat jam atau hanya sekedar ngeliat notifikasi (yang kemudian bisa jadi berlanjut ke scrolling timeline Instagram dan Twitter dan Facebook bahkan secara tidak sadar gue akan buka semua akun Gmail yang gue punya untuk ngecek email baru walaupun sebenarnya nggak mungkin ada dan saking karena pikirannya masih belum clear karena baru bangun, kadang-kadang gue juga ngecek LindkedIn untuk nyari lowongan kerja). Apa lo juga kayak gitu? Mungkin kalo ngecek notifikasi sih iya, tapi kalo pas baru bangun tidur langsung ngecek lowongan kerja kok kayaknya cuma gue aja ya. Walaupun gue sedang tidak ingin pindah kerja sih, ini tuh cuma jadi alasan biar semakin lama gue bisa berbaring di kasur aja.

Ada masa-masa di mana gue akan memaksa tubuh gue untuk tidur lebih lama meski alarm sudah berbunyi. Biasanya ini terjadi kalau gue sedang mimpi bagus hari itu. Mimpi bagus bukan berarti selalu mimpi indah tentang memiliki seseorang yang nggak bisa lo miliki di dunia nyata, tapi mimpi bagus juga bisa berarti mimpi seru dikejar zombie atau kejar-kejaran dengan polisi dalam sebuah adegan perampokan seru yang melibatkan lo dan bias Kpop lo misalnya. Seringkali gue terlambat ke kantor karena karena gue nggak mau mimpi ini berakhir, jadi gue akan memaksa diri gue untuk tetap tidur dan melanjutkan mimpi itu sampai benar-benar berakhir (entah klimaks entah anti-klimaks). Keterlambatan gue ke kantor juga akan semakin diperparah karena setelah gue bangun dari mimpi itu, gue akan tetap di tempat tidur dengan mata terbuka. Mengingat-ingat lagi apa yang terjadi di dalam mimpi itu untuk kemudian gue tulis di Dream Journal yang ada di handphone gue. Walaupun ada kalanya sih gue malas juga menuliskannya dan cukup dengan mengingatnya saja lalu menceritakannya ke orang lain supaya paling enggak gue bisa lebih mengingat-ingat lagi kejadian dalam mimpi itu.

Yang paling menakjubkan dari mimpi saat tidur adalah semuanya terjadi dalam semalam, terjadi di dalam kepala lo, tapi terasa sangat nyata dan sangat seru.

“Tadi gue males banget bangun karena gue mimpi seru banget. Jadi gue lanjutin aja tidurnya sampe lama,” kata gue ke temen gue di suatu hari sesampainya gue di kantor setelah mimpi seru bertarung dengan zombie.

Gue nggak bisa menjamin tidur gue nyenyak malam itu. Karena katanya kalau kita mimpi berarti bisa jadi tidur kita nggak nyenyak. Dan katanya kalau kita nggak mimpi itu berarti tidur kita nyenyak dan berkualitas. Gue memang butuh tidur nyenyak dan berkualitas, tapi gue sama sekali nggak menolak kalau kepala gue membuat skenario-skenario aneh yang seru yang kemudian diproyeksikan dalam sebuah episode mimpi. Apalagi kalau misalnya mimpi terbang. Itu menyenangkan banget. Gue selalu terbangun dengan perasaan sangat menyesal tetapi juga sangat bahagia kalau gue mimpi terbang. Terbang dalam arti gue punya kemampuan melayang, kayak burung tapi tanpa sayap. Pernah di satu episode mimpi gue, gue punya kekuatan untuk melayang dan gue manfaatkan untuk melintasi satu atap rumah ke atap rumah yang lain di suatu siang yang adem di kampung halaman. I really want to try this. Tapi gue takut mati kalau gue loncat dari lantai dua kamar kosan gue. Beruntung kalau mati. Kalau hidup tapi badan remuk dan nggak pulih-pulih atau koma, ya berabe juga.

Selain doyan memaksa diri gue untuk berkhayal sebelum tidur atau saat tidur, otak gue juga entah bagaimana bisa nggak pernah bisa berhenti membuat skenario-skenario seru ketika gue sedang fokus kerja atau berkendara misalnya. Atau sesimpel gue sedang dalam perjalanan ke suatu tempat dengan berjalan kaki. Seringkali ide cerita pendek muncul di kepala gue ketika sedang ada di dalam lift kantor. Oke, ini bukan cerita pendek lagi, tapi cerita benar-benar pendek. Karena dari lantai 1 ke lantai 11 gedung parkir (kantor gue ada di lantai 11 gedung parkir) itu cuma butuh 30 detik. Tapi dalam waktu 30 detik itu, pernah sekali muncul skenario seru yang melibatkan seorang perempuan cantik dan seorang laki-laki biasa saja yang kebetulan juga berawal dari dalam lift. Dua orang ini saling suka tapi sama-sama tidak berani kenalan atau menyapa. Akhirnya mereka hanya memanfaatkan waktu 30 detik setiap hari (mereka sudah hapal jadwal satu sama lain) hanya untuk berada di lift yang sama. Menikmati kebersamaan singkat itu dan sibuk dengan pikiran mereka sendiri.

“Aku suka wangi parfummu,”

“Baju hari ini cerah sekali!”

“Aku suka topi itu.”

“Nama kamu siapa?”
 
On the side note, ini adalah foto dari Pulau Nami dan candid gue ambil tanpa izin
hanya karena mbaknya in the moment banget buat difoto.

Semua dialog-dialog itu hanya muncul di dalam kepala mereka dalam 30 detik. Dan ketika lift terbuka di lantai 11, mereka kembali jadi dua orang yang tidak saling kenal sampai mereka bertemu lagi besok pagi.

Kalau gue lagi rajin, gue akan menuliskan cerita pendek ini dalam 500 sampai 700 kata. Tapi karena ini terjadi setiap hari, gue jadi bingung bagaimana menuliskannya. Cuma nggak jarang juga ketika gue sibuk dengan pikiran gue sendiri dan berujung bermonolog tentang sebuah adegan romantis dalam sebuah drama misalnya, dan ketika gue sedang mood (yang anehnya datang secara tiba-tiba), gue akan menuliskannya dalam sebuah cerita pendek. Di sinilah gue kadang-kadang merasa bahagia sebagai orang aneh yang suka ngomong sendiri. Setidaknya gue bisa memanfaatkan dialog-dialog random yang keluar begitu saja dari mulut gue ketika sedang jalan kaki itu ke dalam sebuah cerita pendek. Menjadi sebuah konten buat media sosial. Lumayan kan? Sebagai orang yang ngakunya blogger dan content creator, gue malu juga kalau konten media sosialnya cuma foto-foto basian dari Korea. Walaupun gue seneng sih nge-share foto dan sedikit cerita soal foto itu. Hehe.

Jadi beberapa waktu yang lalu gue dapat undangan dari Korea Tourism Organization untuk menyaksikan ‘CHEF’, show terbaru BIBAP yang kebetulan diundang oleh KTO Jakarta ke Indonesia. Oh iya, tahun ini gue kembali jadi salah satu Wow Korea Supporters setelah bergabung bersama KTO Jakarta tahun lalu! Seneng banget bisa dapat kesempatan lagi untuk jadi bagian dari pasukan pencerita yang akan mempromosikan pariwisata Korea Selatan di Indonesia. Blog ini dan nama gue secara resmi ada di situs KTO Jakarta juga! (www.visitkorea.or.id/wks). Kalau kalian tertarik buat bergabung dengan WKS tahun depan, coba ikutin media sosial KTO aja gais. Seru banget bukan karena ada kesempatan buat para Wow Korea Supporters untuk melakukan perjalanan ke Korea Selatan dan ikut kegiatan WKS Global di sana, tetapi juga ada kesempatan untuk memperluas koneksi dan menjadi pembicara di acara-acara KTO kayak kemarin gue jadi salah satu pembicara di Korea Travel Fair 2019 yang diadakan oleh KTO Jakarta. Nah, selain itu kalian juga bisa dapat kesempatan untuk nonton acara-acara yang digelar KTO kayak show ‘CHEF’ kemarin itu.

Tahu kan, gue yang mana? Iya gue yang motoin. WKWKWKKWW gak deng, yang motoin temen gue namanya Agus.

Jujur aja gue sama sekali nggak ada bayangan soal acara ini. Soalnya, BIBAP kan beberapa kali datang ke Jakarta dan sebelumnya gue nggak pernah sempat buat nonton. Kemarin itu adalah pengalaman pertama gue. Tahu dong, gue tuh orangnya sangat menganggap penting pengalaman pertama. Makanya gue mau menikmati acara ini banget dan ingin benar-benar hanyut dalam performance yang mereka bawakan. Tapi dalam perjalanan menuju ke Lotte Shopping Avenue untuk nonton ‘CHEF’, mendadak otak gue menciptakan sebuah skenario yang... wait a minute, ini menarik banget lho, Ron! Bahkan otak gue yang lain(?) baru sadar kalau skenario monolog gue hari itu menarik buat ditulis.

Gue nggak tahu bagaimana awalnya. Malam itu gue jalan kaki dari kantor menuju ke Lotte Shopping Avenue yang memang nggak terlalu jauh karena masih ada di satu kawasan. Ketika sudah menyebrang jalan HR Rasuna Said dan belok kiri di Cyber 2 Building, mulut gue otomatis bergerak sendiri. Gue nggak memerintahkannya untuk bergerak lho. Karena memang kan monolog udah jadi agenda-wajib-yang-tak-terkontrol setiap kali gue jalan kaki atau naik motor. Gue sedang mendengarkan lagu Taeyeon hari itu, repeat one, dan ketika lewat di depan Amaris Hotel, monolognya dimulai dan berawal dengan:

“Gue penasaran banget sih, dia sekarang sama siapa,”

Ketika gue memulai sebuah monolog, gue nggak pernah tahu ceritanya akan berakhir seperti apa. Sama seperti ketika gue memulai satu tulisan di blog, gue nggak akan tahu sejauh apa gue mampu mengelaborasi judul yang gue tulis, topik yang ingin gue sampaikan, dari awal sampai ke akhir tulisan. Ketika bermonolog, gue hanya membiarkan kepala gue memerintah mulut gue untuk berbicara sendiri. Gue nggak pakai masker malam itu dan gue cukup yakin ketika melintasi beberapa orang yang sedang ada di pinggir jalan, mereka mendengar gue ngomong sendiri dan sempat ngeliatin gue agak lama. Entah karena gue monolog atau karena topi anjing yang gue pakai yang mencuri perhatian mereka. Dan dari satu kalimat itulah kemudian monolog itu berakhir dengan sesuatu yang gue sendiri agak kaget. Karena, hehehe, lumayan oke nih!

Sebelum masuk ke pintu mall gue senyum-senyum sendiri dan bilang “Ron, ini lumayan lho kalau ditulis!” dan akhirnya malam itu, sambil nunggu show ‘CHEF’ dimulai, gue memaksa kepala gue untuk mengingat-ingat lagi apa yang gue katakan dalam monolog gue beberapa menit yang lalu. Setelah ketemu Mbak April dari KTO Jakarta, dikasih tiket, ke toilet sebentar buat pipis, lalu antre masuk ke Ice Palace, gue duduk manis menunggu show dimulai sambil ngetik lancar soal monolog gue tadi.

‘SUDDEN ATTACK’ 


Begitu gue kasih judulnya. Nggak tahu kenapa tapi gue nggak berpikir dua kali soal judul ini. Langsung aja gue kasih judul itu. Tepat sebelum lampu dimatikan, cerita itu selesai gue tulis.

Karakternya nggak punya nama. Gue hanya me-refer dua orang karakter dalam cerita ini sebagai ‘GUE’ dan ‘DIA’. Ada lagi ‘DIA’ yang lain yang kalau lo baca baru deh lo ngerti. Dan ketika gue posting cerita ini di Instagram Story (yang membuat gue jadi kepikiran untuk mem-posting semua monolog-monolog random gue ke depannya), Alhamdulillah banyak yang baca dan lebih seneng lagi karena banyak yang komentar! Banyak yang menyangka itu adalah kejadian nyata hahahahahaha padahal cuma fiksi. Well, itulah hasil kesibukan gue dengan pikiran gue sendiri dan keanehan gue yang suka ngomong sendiri.

Baca ‘SUDDEN ATTACK’ di dengan mengklik link ini.

Kalau sudah dalam kondisi kayak gini, biasanya akan susah buat gue untuk kembali fokus ke apa yang ada di depan gue. Untungnya, UNTUNGNYA, show ‘CHEF’ ini seru banget! Sumpah, ke mana aja gue selama ini? Kenapa gue selalu tidak pernah punya waktu untuk menikmati sajian-sajian kreatif kayak gini sih? KENAPA GUE SELALU NGGAK BISA DATANG KE UNDANGAN YANG KEMAREN-KEMAREN SIH PADAHAL TERNYATA ACARANYA SERU BANGET?!

Karena kita nggak dibolehin merekam atau memotret pertunjukkannya, jadi gue nggak bisa memberikan visual apapun tentang acara kemarin. Tapi biar gue ceritakan sedikit deh buat kalian.

Foto ini dari TripAdvisor. Beberapa orang di foto datang ke Jakarta juga kemaren!

Karena judulnya ‘CHEF’, cerita yang ditampilkan nggak jauh-jauh dari seorang koki. Well, sebenarnya bukan cerita yang kayak gimana sih karena ini bukan (hanya) musikal, nggak akan ada dialog-dialog berbahasa Korea yang ribet gitu. Malah kemaren performance-nya jadi makin lucu menurut gue karena pemain-pemainnya menggunakan Bahasa Indonesia di beberapa kata kayak “SUMPIT!” atau “CHEF, AKU JUGA MAU!” kayak gitu. Ngeliat orang asing berbahasa Indonesia tuh selain bikin bangga juga ya mereka mau usaha buat menggunakan bahasa kita, tapi juga lucu. Jadi dikisahkan dalam sebuah restauran yang sibuk, ada dua orang koki yang sedang bertarung untuk mengerjakan orderan-orderan dari pelanggan. Dua orang ini nanti akan bergilir mengerjakan menu pesanan mulai dari makanan Jepang, makanan Tiongkok, dan makanan Korea. Restauran ini punya banyak asisten koki dengan karakter-karakter yang unik. Ada yang seksi, ada yang cute, ada yang ganteng kayak tipikal boyband gitu, ada juga yang masih rookie. Nah, masing-masing menu yang dibuat oleh mereka itu dikemas dalam pertunjukan yang memadukan banyak hal seperti beatbox live, b-boy, nyanyi beneran, dance lucu-lucu, sampai penampilan ala acara Masquerade yang pernah tayang di tv dulu. Yang terakhir ini sih yang menurut gue amazing banget. Gue yang hari itu nonton sendirian (yang mana kalau sendirian akan jadi jaim), harus tepuk tangan excited tapi pelan-pelan, harus teriak tapi ditahan-tahan setelah melihat kekerenan penampilan mereka.

Gila sih, gue beneran nyesel waktu BIBAP pertama kali ke Jakarta dulu dan gue dapat undangan, tapi gue nggak pernah bisa datang. Kalau tahu akan sekeren ini, gue pasti akan sempatin deh! Huhuhuhuhuhu....

Yang bikin performance ini seru juga adalah koreografi dari para pemainnya dalam memindah-mindahkan properti. Gerakan tangan mereka yang cepat dan ulet bikin lho jadi “HAH KOK BISA?! HAH KOK GITU?!” ngeliat pergerakan satu properti ke properti lain. Para pemeran yang dipilih juga berkarakter banget. Ketika dia diberi nama chef seksi, dia akan selalu tampil seksi. Begitu juga dengan si cute, dia akan selalu tampil cute sepanjang performance itu. Dan kalau lo emang suka oppa-oppa ganteng berbadan bagus, malam itu ada satu pemain yang yang kayak gitu dan diteriakin sama semua perempuan yang datang. Bahkan beberapa laki-laki juga teriak. Seriusan ini mah.

Selain itu, mereka juga interaktif sama penonton. Jadi sebelum mereka mulai memasak satu menu, mereka akan menunjuk salah satu penonton untuk memilih chef mana yang berhak untuk memasak menu ini. Nanti penonton yang sama akan diajak naik ke panggung untuk merasakan makanannya. Malam itu kocak deh, ada satu penonton cowok yang datang sama istrinya, diundang naik ke panggung dan dipasangkan sama penonton cewek yang lain. Terus mereka dipaksa untuk beradegan mesra di panggung WKWKWKWKWKWKWK. Seru banget!


Oh iya, selain melakukan tur keliling dunia, ‘CHEF’-nya BIBAP ini juga punya teater lho di Korea. Jadi next time kalau misalnya lo ke Korea dan ada budget lebih untuk menikmati show semacam ini, masukin deh nonton ‘CHEF’ ke itinerary kalian. Recommended banget dan akan puas banget. Ini tuh bener-bener menggabungkan semua jenis seni ke dalam satu panggung yang akan bisa lo nikmati tanpa harus berpikir. Dan gue sarankan, jangan jadi kayak gue yang sibuk dengan pikiran gue sendiri sampai lupa tepuk tangan pas nonton hihihihi. Bener-bener layak buat dinikmati, gais! Adegan paling gue suka malam itu pas kita dilempari bantal-bantal putih dari panggung, terus kita boleh lempar itu bantal balik ke panggung. Gilak seru banget!!!! Sayangnya gue cuma dapat satu jadi lemparnya juga cuma sekali wkwkwkkwkw.

‘CHEF’ punya teater sendiri di Seoul, ini alamatnya kalau semisal kalian penasaran dan ingin nonton langsung di Korea karena pasti sensasinya akan beda: 386, Samil-daero, Jongno-gu | Cine Core B2F, Seoul 03191, South Korea. Untuk informasi tiket dan segalanya bisa diakses di situs resmi mereka di www.musicalchef.net (jangan lupa ubah bahasa ke English biar mudah gais).

Butuh waktu beberapa saat untuk memindahkan fokus gue dari ‘SUDDEN ATTACK’ ke ‘CHEF’ malam itu. Dan setelah performance-nya selesai, gue masih senyum-senyum sendiri dong. Tapi alasan senyum-senyum sendirinya jadi dua: (1) karena gue berhasil menyelesaikan satu cerita pendek yang secara random muncul di kepala gue ketika sedang jalan kaki menuju ke Lotte Shopping Avenye, (2) karena keseruan performance ‘CHEF’ tadi, terutama si cute chef dan sexy chef-nya. Beneran next time gue ke Korea, gue mau nabung buat nonton ini lagi deh di teater mereka. Mungkin musim semi tahun depan? Semoga. Soalnya gue belum pernah ke Korea pas Spring. Pengen banget bisa ke Jinhae, ngeliat Cherry Blossom langsung, atau menikmati bunga-bunga lain yang sedang bermekaran di sana kayak bunga Azalea misalnya.

OKE, FIX! NEXT TRIP KE KOREA HARUS SPRING! YUK GAIS, #KEKOREAAJA! BARENG GUE MAU GAK?! HAHAHAHAHAHHAHA


Anyway, thank you KTO Jakarta for the opportunity again this year!


Gue Udah Nabung, Haruskah Gue Nonton Konser?

$
0
0

Gue selalu bilang ke orang untuk melakukan apa yang membuat mereka senang, membuat mereka bahagia, apa yang menurut mereka benar. Pernah beberapa kali ada yang nanya ke gue soal apakah mereka harus beli tiket konser/merchandise Kpop yang mereka inginkan banget udah lama atau uangnya ditabung buat yang lain? Sebagai seorang fans, gue tahu perasaan ingin menyaksikan idola langsung di depan mata dan berada di konser mereka. Gue tahu bagaimana rasanya ingin memiliki perintilan-perintilan tak berfaedah itu. Itu adalah beberapa hal yang memberikan kebahagiaan yang paling nggak harus dirasakan oleh seorang fans seorang musisi atau grup musik atau boyband/girlband. Untuk merchandise ya masih terbilang okelah. Tapi buat nonton konser itu dibutuhkan banyak sekali biaya.

Nggak cuma sekedar uang buat beli tiketnya aja, tapi untuk beberapa orang ada yang harus beli tiket pesawat/kereta, penginapan, dan kebutuhan-kebutuhan lain di hari konser atau beberapa hari sebelum konser. Beberapa dari mereka mungkin nggak mempermasalahkan hal ini, tapi ada yang punya uang sangat pas-pasan sehingga mereka mungkin akan berpikir lagi. Harus nonton nggak ya?

Ngerti banget kalau dalam kondisi seperti ini lo memang butuh orang buat diajak berdiskusi. Gue pun tipe orang yang kayak gitu. Sayangnya gue nggak punya banyak orang buat diajak diskusi. WAKAKAKAKAKAK. Gue takutan kalau mau memulai chat ke seseorang dan nanya soal hal-hal kayak gini. Takut dibilang “APA SIK RON?!?!??!” gitu. Dan seringkali lo juga mungkin nggak bisa ngomong sama orangtua atau kakak lo karena kadang-kadang, aksi menonton konser ini adalah aksi yang sangat ditentang oleh keluarga.

“Buat apa sih buang-buang uang untuk itu?”

Memang buang-buang uang sih. Tapi mereka nggak ngerti poinnya. Dan mereka nggak akan pernah mengerti. Sampai lo berusaha untuk menjelaskannya pelan-pelan atau paling nggak sampai mereka gumoh dengan kecerewetan lo soal itu. Itu pun sebenarnya masih gambling. Mungkin karena itu, karena beberapa orang nggak bisa ngomong atau berdiskusi dengan keluarga terdekat mereka soal ini, makanya mereka iseng nanya sama gue.

Dan ketika gue ditanya soal ini, dulu ketika gue masih panas-panasnya jadi fanboy pasti akan bilang, “Lakukan apa yang membuat kamu senang dan bahagia, lakukan apa yang menurut kamu benar.”

Jawaban gue akan tetap sama seperti itu sih kalau lo tanya gue sekarang. Tapi mungkin dengan tambahan kata-kata menyebalkan yang akan terdengar seperti ceramah di belakang.

Sekarang jawaban gue akan disertai dengan banyak sekali pertimbangan. Gue mungkin tidak pernah berada dalam fase orangtua atau keluarga gue menceramahi gue soal nonton konser dan beli CD Kpop. Karena dari dulu seinget gue nyokap selalu mendukung apa yang gue lakukan untuk ranah “entertainment” ini. Ketika gue gandrung-gandrungnya sama Harry Potter, dia pernah nawarin buat beliin gue buku Deathly Hallows edisi Bahasa Inggris dari Bloomsbury walaupun sebenarnya gue sudah pre-order versi Indonesia keluaran Gramedia. Sama kakak perempuan gue, nyokap juga pernah hunting merchandise official Harry Potter dalam salah satu kunjungannya ke Yogyakarta ketika gue masih SD. Waktu zaman-zaman gue suka Amigos dia nggak akan ragu-ragu buat beliin apapun yang ada gambar Anna dan Pedro. Hihihihi... They always tried to make me happy back then. They always trying to understand what I like. I love them.

Tapi dari situ kemudian gue banyak belajar bahwa ada masa-masa gue bisa dapat apa yang gue inginkan, karena pada saat itu mungkin kondisinya memang sedang baik. Tidak banyak hal yang harus dipikirkan, yang harus diprioritaskan. Hanya saja, hidup nggak selalu soal enak-enaknya doang kan?


Gue sadar gue nggak akan punya uang untuk nonton konser Super Junior di Singapura di tahun 2010 atau 2011 ketika teman-teman gue berisik banget ngomongin konser ini. Beberapa dari mereka berangkat ke Singapura juga. Iri? IRI BANGET BGST. Jelas. Siapa sih yang nggak iri ngeliat temennya nonton konser grup yang dia juga suka. Rasanya ingin jambak rambut mereka satu-satu hanya karena mereka lebih mampu dari gue dan gue hanyalah mahasiswa yang nggak punya duit karena orangtua gue nggak sekaya raya itu dan gue nggak bisa minta ke mereka uang jutaan cuma buat nonton konser. HAHAHAHA. Gue juga belum punya tabungan sama sekali saat itu. Ya kan gue nggak produktif. Taunya cuma kuliah. Taunya cuma lulus.

Ketika akhirnya gue sudah punya penghasilan sendiri, kadang-kadang memang gue agak boros soal konser-konser ini. Kalau mood gue sedang baik, gue nggak akan ragu-ragu buat menggunakan kartu kredit untuk ngutang bayar tiket konser dulu dan dilunasi bulan depan. Ngutangnya cuma sebulan doang. Cuma sampai pas gajian doang. Nggak sampai yang dicicil enam kali atau duabelas kali gitu. Tapi kalau mood gue sedang tidak baik, gue akan ragu-ragu seragu-ragunya buat melakukan transaksi. Walaupun pada akhirnya gue beli juga sih. Ya pada dasarnya sudah bucin. Tapi keputusan itu selalu diawali dengan diri gue yang membuat pembenaran dalam hati bahwa ini adalah yang gue butuhkan. Bahwa kapan lagi gue bisa nonton mereka. Bahwa gue harus nonton mereka karena kan sudah nonton terus dari tahun-tahun sebelumnya, masa yang ini nggak nonton?

Di situ kemudian gue sadar kalau gue nggak bisa nih kayak gini terus dan gue butuh membuat batasan-batasan soal ini. Gue nggak boleh terus-terusan menuruti kemauan gue. Terus-terusan melakukan pembenaran untuk menghabiskan uang yang gue dapat dari hasil kerja sehari-hari walaupun gue berhak untuk itu (HELL YEAH, YANG KERJA KAN GUE! MASA GUE NGGAK BOLEH PAKAI UANG GUE SENDIRI?!). Gue nggak bisa terus-terusan berusaha untuk membuat diri gue bahagia dan senang dengan menghabiskan uang. Dan untuk berada di titik itu, sangat susah. Banget.

Di usia belasan atau awal 20-an, perasaan-perasaan menggebu soal nonton konser ini pasti akan lo rasakan. Normal. Gue juga kayak gitu. Nggak usah dipertanyakan lagi karena gue adalah orang yang menggunakan semua uang beasiswa pendidikannya saat kuliah buat nonton konser Super Junior di Jakarta tahun 2012. Yes, it happened. No regret, at all. Tapi setelah lo bekerja, setelah usia lo makin bertambah, walaupun lo sudah punya uang untuk beli ini dan itu, kebutuhan lo nggak cuma hanya sekedar entertainment. Nggak cuma hanya sekedar konser. Yang lo butuhkan justru adalah keseimbangan dan susunan prioritas yang mantap. Karena ketika lo dapat gaji dari kantor setelah bekerja keras satu bulan, lo pasti akan kepikiran buat beli baju baru, sepatu baru, tas baru, tiket konser grup yang sudah lo tunggu-tunggu dan ingin saksikan sejak lama. Boleh? Tentu saja. Siapa yang larang? Bersyukur kalau lo tinggal di Jakarta dan sekitarnya, tinggal di rumah orangtua, dimasakin nyokap setiap hari sebelum dan sepulang kerja. Tapi ada sebagian lain orang yang harus mikirin bayar kosan, harus mikirin bayar tagihan kartu kredit, pulsa internet, bayar makan sendiri karena mereka jauh dari keluarga.

Makanya sekarang kalau ada yang nanya ke gue: gue ingin nonton konser artis kesukaan gue, gue udah nabung sekian lama, tapi kok gue ragu tiba-tiba ya? Menurut lo gue harus nonton atau nggak?

Jawaban awalnya akan tetap sama: lakukan apa yang menurut kamu benar, apa yang membuat kamu bahagia, apa yang bikin kamu senang.



Tapi... ada lanjutannya.

Kamu sudah bekerja? Kalau kamu sudah bekerja, pakai uangnya semerdeka kamu. Karena kamu sudah punya penghasilan tetap setiap bulan. Dan kamu pasti sudah punya teknik sendiri mengatur pengeluaran kamu. Tapi kalau kamu belum bekerja, kamu yakin nggak ada kebutuhan lain yang lebih penting dari itu?

Apakah sekarang prioritas kamu cuma konser?

Apakah sekarang kamu butuh banget nih nonton konser ini atau beli merchandise ini?

Memangnya kenapa kalau kamu nggak nonton konser yang ini?

Kamu yakin akan menghabiskan semua uang yang kamu kumpulkan sejak sekian lama cuma buat nonton konser yang 3,5 jam doang? Itu uang yang nggak sedikit.

Kamu yakin nggak akan menyesal?

Hahahahaha...!

Kenapa kesannya kayak gue malah menghalang-halangi orang buat nonton konser artis kesukaan mereka sih? Kan bagus kalo mereka nonton, artinya konsernya akan jadi lebih ramai. Kan bagus kalau mereka nonton, artinya si artis akan merasa dihargai. Kan bagus kalau mereka nonton, mereka jadi bisa menghapus satu dari deretan bucket list mereka!

Hihihihi... gue sama sekali nggak ada niat buat menghalang-halangi sebenarnya. Gue cuma ingin memberikan sudut pandang yang berbeda.

Mungkin banyak yang menyangka gue akan “YA NONTON AJA! KAPAN LAGI!!!!” gitu ke mereka ketika mereka nanya hal itu ke gue. Eh tapi ujung-ujungnya malah diceramahin. WKWKWKKW. Gue cuma memberikan waktu lebih untuk berpikir lagi, karena hey, sekali lagi ini bukan masalah uang yang sedikit. Nggak semua orang diberi previlege untuk punya uang untuk ditabung lho. Jadi alangkah bijaknya kalau menggunakan uang itu dengan sebaik-baiknya, kan?

Kalau orang-orang yang gue udah kenal lama yang nanya ke gue, gue sih pasti akan “NGAPAIN LO MIKIR LAGI NYET, NONTON AJA!” karena gue tahu mereka. Gue tahu background mereka, gue tahu sepak terjang mereka di dunia ini jadi gue nggak akan ragu untuk men-encourage mereka melakukan hal itu. Hal ini terjadi ke Ambar waktu konser SNSD 'Phantasia' di Jakarta beberapa tahun yang lalu. Gue adalah orang yang jadi setan di situ karena gue mengiming-imingin dia soal Tiffany (dia suka banget Tiffany) dan kemungkinan nggak akan ada konser lagi abis ini. Memang benar sih nggak ada konser SNSD lagi setelah itu WKWKWKKWKW. Gue juga berani gituin si Ambar karena gue tahu dia. Kenal baik selama beberapa tahun. Tapi buat orang-orang yang gue nggak kenal, tentu saja nggak bisa serampangan kan. Akan selalu ada hal yang lebih penting dari yang menurut kita penting. Tentu saja nggak akan ada yang lebih penting dari kebahagiaan lo sendiri. Yang perlu diingat, rasa bahagia itu nggak hanya bisa didapatkan dari nonton konser. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk membuat diri kita bahagia. Selalu melibatkan uang, memang, tapi nggak harus selalu dalam jumlah yang besar yang dikeluarkan dalam sekejap mata.


Salah satu teman gue, namanya Reysa, punya cara sendiri untuk mengambil sebuah “keputusan besar” kalau dia sedang bingung. Waktu Taeyeon ke Jakarta buat event countdown Asian Games dua tahun yang lalu, dia nanya ke gue apakah dia harus ke Jakarta? Gue bilang, “Oh jelas!” Dalam pikiran gue, dia kan cuma tinggal beli tiket kereta dan berangkat aja ke Jakarta. Bisa nginep di tempat gue means gak perlu bingung soal penginapan. Nanti kita ke venue bisa bareng yang berarti dia gak perlu takut sendirian juga. Tapi dari sisi dia kan pasti ada pertimbangan-pertimbangan lain yang mungkin gue nggak bisa ikut campur dan dia mungkin nggak bisa cerita semuanya ke gue. Akhirnya dia melakukan ini: menulis alasan kenapa dia harus pergi ke Jakarta versus kenapa dia nggak harus pergi ke Jakarta.

Beberapa orang memang hanya butuh diyakinkan untuk melakukan sesuatu. Tapi yang paling penting adalah mereka harus meyakinkan diri mereka sendiri; apakah mereka harus melakukannya, ataukah mereka nggak harus melakukan hal itu. Menurut gue cara ini efektif. Terlebih kalau lo nggak punya banyak orang buat bertukar pikiran. Nggak punya teman yang bisa diajak berdiskusi. Berdialog dengan diri lo sendiri, membuat coret-coretan tentang positif dan negatif dari keputusan lo bisa membantu lo untuk memutuskan. Membaca konsekuensi yang akan terjadi di depan kalau lo melakukan ini sekarang. Apakah lo siap menghadapinya? Kalau siap, lakukan. Kalau nggak siap, mungkin memang belum waktunya untuk bertindak.

Gue di sisi lain, sangat bertolak belakang dari Reysa. Gue nggak akan repot-repot untuk menulis “10 alasan kenapa gue harus ngasih surprise ulang tahun buat dia” dan “10 alasan kenapa gue nggak perlu ngasih surprise ulang tahun buat dia”. Yang pertama, gue terlalu malas untuk menulis karena kalau gue menulis berarti gue harus berpikir. Gue lebih malas berpikir daripada malas mandi di akhir pekan atau keluar buat beli makan. Gue tipe orang yang lebih suka berdiskusi dengan diri gue sendiri di dalam hati, di dalam pikiran sendiri. Ya kadang-kadang diomongin secara tidak sengaja (yang kalau lagi sendiri sih nggak masalah, tapi kalau lagi di tempat ramai bisa langsung dilihat orang-orang). Dan gue sudah terbiasa dengan cara ini, jadi mungkin lebih mudah buat gue dalam hal mengambil keputusan.

Begitu juga dalam hal beli tiket konser.

Baru-baru ini, gue beli tiket konser Westlife. Gue sudah ngincer mau beli tiket yang paling mahal. Duitnya ada. Sebenarnya duit ini bukan buat konser, tapi duit kepepet yang memang selalu ada di tabungan gue. Duit tabungan yang nggak boleh diambil kecuali untuk hal-hal penting. Tapi dua hari sebelum penjualan tiket, gue tiba-tiba kepikiran tentang hal-hal lain. Tentang kemungkinan-kemungkinan yang ada di depan. Tentang pengeluaran-pengeluaran yang mungkin akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan. Dan kemudian gue ingat kalau konser artis barat apalagi Westlife yang notabenenya adalah grup vokal nggak akan seheboh artis Kpop. Nggak akan terlalu banyak visual yang ditampilkan. Nggak akan ada koreografi yang harus dipantengin dari depan supaya lihat bagaimana detailnya. Mereka hanya akan berdiri di panggung (yang dijamin ukurannya akan sangat kecil dan di ujung depan) dan bernyanyi. Yang mana sebenarnya ini bisa dilakukan dengan duduk bahkan di kursi paling belakang. Akhirnya gue memutuskan untuk beli tiket paling murah aja. Walaupun sebermakna itu Westlife dalam hidup gue (halah).

“Nggak apa-apa, yang penting sing along,” kata temen gue yang akhirnya juga beli tiket yang paling murah sama kayak gue.

Dan untungnya gue beli tiket murah sih, soalnya kemudian Backstreet Boys juga umumin konsernya dua bulan berselang setelah konser Westlife. Dan ada rumor soal konser EXO di Jakarta bulan September juga, di antara konser Westlife dan Backstreet Boys itu.

See? Kalau gue beli tiket Westlife paling mahal, die deh gue ada kemungkinan nggak akan bisa lihat dua konser setelah itu. WKWKWKW. LHO KENAPA GUE JADI KESANNYA KAYAK BILANG KALAU KALIAN HARUS NONTON SEMUA KONSER GRUP YANG KALIAN SUKA GINI?!

WKWKWKKWKW.


Ya semuanya kembali lagi ke kalian. Kan? Kalau menurut kalian dengan menonton konser kalian sudah menggunakan uang kalian dengan sebaik-baiknya, ya go ahead, nonton lah. Kalau memang “sudah diniatkan” ya udah nonton lah. Kalau memang kalian seingin itu yaudah nonton lah. Tapi ingat, jangan pernah bilang kalau “Ini yang pertama dan terakhir. Abis ini udah deh, nggak akan nonton lagi,” karena itu semua bullshit. Hihihih.... Ya mungkin yang pertama dan terakhir buat grup A, tapi akan ada grup B, C, D, E dan lainnya dalam tahun-tahun ke depan dan kalian akan kembali ke fase itu lagi. Tapi kabar baiknya adalah mungkin di tahun-tahun berikutnya masalah keuangan sudah bukan lagi hal yang harus kalian khawatirkan. So, good luck for that, people!

Yang perlu digarisbawahi sebenarnya adalah bahwa nggak ada ruginya menabung. Apapun niatnya. Masalah nanti uangnya dipakai buat apa, ya itu kembali lagi ke prioritas kalian saat itu. Kalau prioritas kalian adalah konser, ya beli tiket konsernya. Kalau prioritas kalian adalah konser dan banyak banget grup yang kalian suka akan datang dan konser ke Jakarta (HAHAHAHAHAH MAMPOS) ya berarti kalian harus membuat prioritas kedua: mana grup yang harus dilihat lebih dulu dan mana yang boleh disekip dan dilihat kapan-kapan aja.

Makanya, gausah multi-fandom. Apalagi kalau tidak mampu seperti aku. Cukup satu ajalah (di setiap manajemen).

(Tersenyum lemah).

Anyway, kalau EXO ke Jakarta tahun ini jadi September, nonton bareng yuk!

WKWKWKWKWKWKWKWKKWKWKWKW.



Bangkok Bagian 1: Mimpi Buruk di Pesawat

$
0
0

Cuti gue 0. Kok bisa?

“Seinget gue tahun ini gue udah spare beberapa hari supaya Februari 2019 gue bisa ambil cuti buat ke Korea lagi. Kok ini sekarang 0?” Gue membatin sambil memandang layar laptop kantor yang sengaja gue nggak kasih nama supaya nggak nyaman dan nggak baper kalau nanti pisah. Semua barang-barang pribadi gue kasih nama. Laptop gue namanya Junmin dan sekarang udah nggak ada gunanya kalau dibawa ke kantor karena nggak akan bisa dipakai kerja. Kantor gue membatasi akses internet buat laptop kantor aja, laptop pribadi nggak akan bisa terhubung ke jaringan. Pernah gue punya laptop di kantor gue yang sebelumnya dan gue kasih nama Leonardo disingkat Leo. Pas kita pisah gue baper. Untung nggak sampai nangis sih.

Layar laptop kantor masih gue pandangin sambil mikir. Apa memang cuti gue sudah habis dan gue salah perhitungan? Sialnya memang gue nggak nge-track sisa cuti gue sendiri sih. Biasanya orang-orang akan mengkopi surat cuti mereka supaya mereka bisa menghitung sendiri berapa sisa yang mereka punya. Sementara gue hanya mengandalkan ingatan gue yang kadang-kadang untuk hal seperti ini nggak ada gunanya.

“Mungkin lo pernah unpaid tapi keitung cuti kali pas dulu lo pulang Lebaran atau apa gitu? Mungkin peraturannya kalau cuti masih sisa, nggak boleh unpaid,” kata salah satu teman gue yang duduknya beberapa kursi di sebelah gue.

Harusnya peraturan itu dijelasin dari awal dong. Gue membatin lagi. Atau sebenarnya mungkin sudah dijelasin tapi gue yang nggak denger? Gue nggak tahu juga.

Gue coba mengingat-ingat kapan saja gue ngambil cuti sepanjang 2018. Yang bisa gue ingat hanya beberapa hari cuti di bulan Mei waktu gue harus pulang untuk memperpanjang SIM dan ngurus pelat motor. Juni pas Lebaran dan Agustus waktu Lombok kena gempa. Tapi di antara beberapa hari cuti itu juga ada yang unpaid. Jadi harusnya masih ada sisa beberapa hari dan nggak mungkin sampai nol gini. Mungkin apa yang dibilang sama temen gue itu bener. Mungkin waktu itu unpaid leave gue keitung cuti juga. Jadinya nggak ada sisa sama sekali sekarag. Hmmm... Kalau Desember ini aja udah nol, itu berarti gue nggak akan punya spare cuti untuk dibawa ke Februari tahun depan. Itu berarti rencana ke Seoul....

Tiba-tiba gue merasa pening. Kepala bagian kanan gue agak nyut-nyutan.

Please, not again!

Kadang kalau pikiran lagi banyak gue suka mendadak migrain. Gue benci banget migrain. Kalau sakit kepala biasa nggak apa-apa deh, diminumin parasetamol bisa langsung sembuh sejam dua jam. Tapi migrain gue kadang suka parah. Suka nggak bisa sembuh cuma sekedar parasetamol. Suka parah sampai gue harus muntah dulu biar bisa sembuh. Gue ingat beberapa jam sebelum keberangkatan gue ke Seoul bulan Juni 2017 dulu, gue mendadak merasa masuk angin dan kepala gue sakit banget yang sebelah kanan. Ketika gue bilang mendadak tuh berarti beneran MENDADAK BANGET ASTAGFIRULLAH. Kayak jam 5 sore gue masih nggak apa-apa banget tapi jam 5:15 sore tiba-tiba kepala kanan gue sakitnya minta ampun. Pernah nggak lo nonton film gore atau slasher gitu, terus ada adegan misalnya orang dipenggal kepalanya atau dipotong bagian tubuhnya dengan benda seperti pedang atau belati gitu? Kebayang nggak sakitnya kayak apa? Gue selalu membayangkan rasa sakit itu dan pada saat sedang migrain ini gue rasanya mungkin kayak gitu. Kayak ada besi panas tipis setipis kertas gitu yang digosok-gosokin ke tengkorak kepala gue sebelah kanan. Mau muntah rasanya. Dan ya gue akhirnya muntah. Tapi akhirnya gue baikan dan bisa terbang ke Seoul malamnya. Gak lucu kan kalau gue nggak jadi terbang cuma gara-gara gue migrain.

Tapi kali ini gue nggak sedang dalam kondisi yang siap untuk merasakan rasa sakit kepala hebat cuma karena gue mikirin cuti. Gue mau hidup tenang dan menyelesaikan masalah gue dengan kepala dingin. Bukan kepala migrain.

Drrrrrrrttttttt.

Jeno bergetar di sebelah kanan tangan gue yang sedang pegang mouse. Jeno nama handphone gue. Ada notifikasi dari LINE dan preview-nya terbaca sekilas: “Mau nggak?”

Karena masalah cuti belum kelar gue jadi agak kesulitan untuk memproses keadaan ini. Gue butuh tenang. Gue butuh berpikir jernih. Gue nggak boleh grasa-grusu. Terakhir gue grasa-grusu mengambil keputusan berujung 10 bulan seperti neraka. Gue harus kalem dulu sebentar. Memang suasana hati gue beberapa hari terakhir sedang nggak enak, tapi sekarang beneran deh gue butuh yang namanya ketenangan supaya gue bisa berpikir jernih. Oke Ron, apa dulu yang harus dipikirkan dan diselesaikan sekarang? Cuti kan? Oke, kelarin ini dulu.

Gue mulai ngomong sendiri.

“Kalau memang cuti gue udah nol, ya berarti Desember kan gue tinggal ambil aja unpaid leave dua hari. Kelar dong urusan untuk Bangkok ini seharusnya? Nggak ada masalah dong, Ron. Iya kan?”

“Iya.”


Gue nanya sendiri jawab sendiri. Gue sudah bisa melihat beberapa teman gue mendelik ke arah gue dan sebelum mereka bertanya gue sedang ngomong sama siapa gue langsung bilang ke mereka kalau gue ngomong sendiri. Begin cara gue untuk menyelesaikan masalah dengan cepat.

“Terus Februari gimana?” gue nanya lagi ke diri sendiri.

“Yaudah nanti aja dipikirin. Toh masih Februari. Ya ini baru Oktober akhir gitu. November aja belum sampai. Masih jauh ke Februari. Lagian kan tiketnya juga udah dibeli, jadi mau nggak mau nantinya lo juga pasti harus mengusahakan untuk tetap berangkat apapun risikonya, kan? Pikiran aja dulu yang Desember,” kata sisi wise diri gue.

Oke baik. Jadinya gue unpaid leave aja buat Desember.

Case closed.

Gue menarik napas panjang, pelan-pelan diembuskan lewat mulut sambil menarik keluar laci bagian bawah yang ada di bawah meja kerja gue. Di sebelah kiri terselip satu folder map transparan yang isinya surat cuti. Gue keluarin dan fotokopi lalu memasukkan lagi file aslinya ke dalam laci dan mengisi form fotokopiannya. Menulis angka 2 di kolom jumlah hari dan mencentang kotak di sebelah kiri tulisan unpaid leave. Gue nggak tahu akan sebanyak apa potongan gaji untuk unpaid leave ini. Tapi yang jelas sekarang cuti done. Tinggal menanggapi LINE itu tanpa mengisyarakatkan gue punya masalah sedikitpun.

“Mau banget! Gila sih! Aaaaaaakkkkk!!!!!!!!!!” gais, gue memang seheboh itu kalau di chat. Seringkali gue pakai huruf besar. “Aku akan beli tiket pesawatnya di awal Desember. Sekarang lagi nggak ada duitnya. Hehe. Aku mau ya tiketnya! Nanti aku tanya-tanya lagi kalau udah sampai Bangkok. Oke?”

“Oke, Ron!”


Walaupun pasti akan ada halangan-halangan lain di depan, akan ada kejutan-kejutan lain yang diberikan hidup, tapi untuk sekarang gue bisa mengembuskan napas lega. Pikiran gue masih bercabang, tapi paling enggak udah ada masalah yang selesai. Memang gue tuh gampang banget bercabang pikirannya apalagi kalau sudah berkaitan dengan uang. Gue nggak tahu unpaid leave ini berarti dipotong berapa buat gaji, sebenarnya nggak mau jadi beban pikiran juga. Sebenarnya kan kalau diitung-itung ya... risiko lah. Udah dapet tiket konser gratis, potong gaji ikhlasin lah. Hahaha. Jujur aja gue sebenarnya agak perhitungan soal uang. Teman-teman dekat gue pasti tahu hal ini. Bisa dibilang gue termasuk pelit ke diri sendiri. Tapi kalau ke orang yang gue suka gue bisa abis-abisan banget sih. Hehe. Nggak adil banget kesannya. Tapi gue suka kalau dia kenyang. Hahahahaha. Tapi ada juga kalanya gue cuek soal penggunaan uang selain karena orang yang gue sedang taksir itu misalnya. Walaupun nggak selalu. Biasanya cuek kalo ngerasa perhitungan di kepala gue udah pas karena pemasukan-pemasukan lain yang tidak terduga seperti misalnya ada job posting di Instagram gitu. Ya bolehlah agak boros dikit di bulan ini karena bulan depan akan dapat uang segini. Gitu. Harusnya buat perjalanan ke Bangkok ini juga gue harusnya bisa cuek sih. Karena gue nggak terlalu mengeluarkan uang dengan jumlah yang “banyak” juga kan. I mean, gue udah dapat tiket konser tanpa bayar. Gue cuma tinggal beli tiket pesawat dan bayar penginapan doang. Yang gue dengar penginapa di Bangkok cukup murah dan tempatnya juga sudah bagus banget dengan fasilitas yang oke. Jadi transportasi dan akomodasi harusnya nggak akan melebihi budget tiket kan. Belum lagi pengalaman yang akan gue dapat di sana yang pasti nggak akan bisa dihargai dengan uang berapapun.

Tapi ya tipikal Ron, selalu overthinking. Makanya gak gemuk-gemuk. Gitu kata nyokap.

Gue menyesap kopi yang sudah dingin dari mug oranye punya kantor, menoleh ke jendela lalu tersenyum kecil.

“Bodoh. Kebanyakan mikir!”


--


Bingung? Sebenarnya gue lagi meracau apa sih? Hahahahaha. Oke gue jelasin pelan-pelan. Jadi gini ceritanya...

Selama lebih dari setahun terakhir gue kerja di KASKUS. Buat yang follow gue di Instagram pasti tahu deh, soalnya gue kan sering banget update Instagram Stories pas lagi di kantor. Kerjaan gue nggak banyak tapi masih di area tulis menulis yang gue suka. Sekitar bulan Oktober 2018, gue baca di Soompi kalau IU sudah mengumumkan Asia Tur-nya dan akan datang ke beberapa negara di Asia Tenggara. Biasanya kalau IU tuh pasti deh selalu Hong Kong dan nggak pernah ke belahan negara Asia Tenggara yang lain. Tapi 2018 ini beda karena ternyata dia masukin Singapura dan Bangkok ke daftar negara tujuannya juga. Wah excited! Walaupun gue sebenarnya ingin IU datang juga ke Indonesia, tapi gue tahu itu nggak akan terwujud dalam waktu dekat soalnya yah di sini paling juga fans dia yang mau nonton nggak sebanyak yang mau nonton BLACKPINK. Daripada nanti dia kecewa karena konsernya sepi, jadi mending ke kawasan yang sudah pasti ramai aja. Gue sedang menulis artikel konser IU itu buat di-post di KASKUS waktu gue kepikiran buat menghubungi mas Welly dan mencoba propose liputan ke promotor konser yang di Singapura dan Bangkok.

Setelah resign dari detik.com di tahun 2016, gue memang nggak lagi menjabat sebagai jurnalis Kpop. Tapi bukan berarti gue keluar 100% dari dunia tulis-menulis berita KPop ini. Di tahun yang sama gue mencoba untuk mencari tempat bernaung di mana gue bisa menulis dan pergi buat liputan konser juga. Hehe, inilah cara hemat sejati buat fans kere: bekerja di tempat yang bisa memfasilitasi lo nonton konser gratis. Dan beruntung gue kenal kak Retha. Pertama kali kita ketemu waktu lagi liputan di Langkawi, Malaysia, di sekitar tahun 2014. Kak Retha kemudian ngenalin gue ke mas Welly, kreatornya Creative Disc, blog musik yang sudah eksis sejak lama. KaosKakiBau sih belum sampai di level Creative Disc lah untuk urusan kekerenan. Mereka juga sering nulis soal konser Kpop karena di era gue masih jadi jurnalis, sering ketemu sama beberapa jurnalis dari Creative Disc juga di lapangan. Ketika gue apply di situ tahun 2016, mas Welly menerima gue dengan tangan terbuka. Seneng banget! Jadi sampai sekarang gue pun masih jadi bagian dari pasukan Creative Disc. But fyi, supaya nggak salah paham kok gue kerja di KASKUS tapi di saat yang sama juga bergabung sama Creative Disc sih? Di Creative Disc konsep kerjanya adalah voluntary. Jadi nggak dibayar. Ya gue dibayarnya pake tiket konser yang kemudian dibarter dengan artikel. As simple as that. But you know what, it’s not always about money (dalam konteks ini). Karena Creative Disc gue bisa nonton beberapa konser Kpop di Jakarta. Bahkan gue bisa wawancara NCT 127 di tahun 2017. I don’t get any money but I get a looooooooooooooooooooooooooot of fun and experience!

“Mas, coba apply buat konser IU di Singapura sama Bangkok yuk!” gue mengirim pesan ke mas Welly di WhatsApp. Kalau dilihat history chat gue ke mas Welly kebanyakan isinya pesan serupa. Hihihi. Sering banget gue suggest ke mas Welly buat propose liputan konser KPop di dalam dan luar negeri. Walaupun nggak banyak yang tembus sih. Sekarang-sekarang ini agak susah buat dapat kerjasama dengan promotor apalagi untuk konser Kpop. Beda sama beberapa tahun yang lalu. Nggak tahu kenapa, promotor Indonesia (terutama) kesannya agak tertutup sama media untuk urusan konser ini. Tahu sih, beberapa dari promotor punya rules sendiri buat kualifikasi media yang boleh meliput konser mereka. Tapi Creative Disc kan bukan media nugu. Track record-nya bagus banget di genre lain lho! Mereka selalu diundang ke event F1 di Singapura, selalu jadi salah satu media yang meliput event It’s The Ship (event EDM party di kapal pesiar) setiap tahunnya, bahkan juga pernah hadir ke berbagai gigs di Amerika.

“Nggak ada salahnya dicoba deh mas, aku cariin emailnya ya?” mas Welly menanggapi setuju dan akhirnya gue pun browsing promotor konser IU di Singapura dan di Bangkok. Nggak terlalu lama gue langsung nemu dan kami langsung mengirim proposal peliputan.

Mas Welly, bos gue di Creative Disc ini, orangnya ramah banget. Dia tinggal di Surabaya jadinya kita jarang ketemu. Sejak bergabung dengan Creative Disc gue juga cuma pernah ketemu sama dia sekali. Tapi kita sering ngobrol lewat WhatsApp buat ngebahas Kpop-Kpop gini juga. Soalnya mas Welly punya anak remaja gitu dan kalau anaknya lagi suka apa dia suka cerita juga ke gue. Kayak kemaren anaknya minta nonton konser BLACKPINK dan dia mengeluhkan harga tiket yang sangat mahal. Hihihihi.... Yang gue suka dari mas Welly adalah dia percaya banget sama gue untuk urusan liputan Kpop. Walaupun terkadang dari sisi gue kepercayaan orang bisa jadi beban, tapi seringkali malah jadi motivasi banget. Makanya dia selalu mau kalau gue tawarin buat email ke promotor A atau promotor B buat propose liputan. Walaupun jarang juga sih kita dapet. Wkwkwkwk. Tembusnya proposal buat liputan konser ini bukan cuma sekedar supaya kita bisa dapet tiket nonton gratis sebenarnya. Tapi lebih ke relasi antara promotor dan media. Sedihnya, nggak semua promotor Kpop sekarang media friendly. Hihihi... Gue pernah dengar tubir dari salah satu temen gue yang pernah kerja di promotor. Katanya gue sudah masuk ke dalam blacklist mereka.

Ini mungkin kesannya kayak gue penting banget ya hahahah tapi itulah yang gue dengar dari temen gue ini. Dia bilang gue udah di-blacklist. Menjelaskan kenapa sekarang Creative Disc jarang banget dapat kesempatan liputan artis-artis yang dibawa sama promotor ini. Waktu gue tanya alasannya ke temen gue, dia simply bilang karena gue suka bikin keributan kalau di preskon. Gue sih ketawa aja aja walaupun memang itu memberikan kesan gue tidak profesional. Tapi tenang aja kok, sekarang udah chill gue anaknya. Zaman-zaman itu kan memang masih alay dan masih butuh perhatian banget Wahahahha. Yang perlu diketahui di sini, keributan yang dimaksud bukan teriak-teriak atau apa. Cuma angkat banner shipper pas press conference fanmeeting salah satu aktor. Tapi memang abis itu Creative Disc nggak pernah lagi diundang sama dia. Entah apa karena memang mereka tahu gue sekarang di Creative Disc dan mereka nggak mau ada orang dari daftar hitam yang datang ke acara mereka, atau memang karena teman gue itu udah nggak kerja lagi di sana jadi daftar medianya udah berubah. Sebenarnya gue sendiri enggak enak ke mas Welly soalnya kayak yang tadi gue bilang dia orangnya kan baik banget. Semoga kalau dia baca ini, dia nggak berubah pikiran ya tentang gue. Ahahaha.

Untuk yang IU ini gue berdoa banget supaya salah satunya bisa tembus. Gue juga sudah menjanjikan kalau gue akan jabanin deh itu konser di Singapura dan Bangkok yang digelar berurutan. Mau deh berangkat dari Jakarta ke Singapura terus loncat ke Bangkok buat ngejer IU. Bodo amat bokek yang penting nonton IU.

Kata orang yang tadi di awal bahas soal peritungan soal uang.

Terus soal LINE yang gue terima tadi...

Itu LINE dari seseorang baik hati yang selalu muncul ketika gue desperately ingin nonton konser artis yang gue suka, tapi nggak punya cukup uang untuk afford tiket konser di luar negeri sekaligus tiket pesawat dll dll dll-nya. Gue belum minta izin sama dia buat nyebutin nama dia di sini jadi gue nggak bisa tulis namanya. Tapi sejak IU mengumumkan kalau dia akan konser di Singapura dan Bangkok (yang juga diumumkan oleh Si Baik Hati ini di Instagram-nya), gue udah tahu kalau dia pasti punya peran besar di salah satu konser IU di dua negara berbeda itu. Gue nggak bisa bilang kami deket banget tapi dia selalu muncul kayak knight in shining armor gitu deh buat urusan pertiketan konser Kpop baik di dalam atau di luar negeri. Walaupun gue agak malu untuk bertanya apakah dia punya kelebihan tiket atau nggak (tapi gue sangat desperate ingin nonton IU hahahaahahaha jadi gue buang malu gue hahahahaha Ya Allah gatau malu hahahahahahahahaha) (dan yang pasti dia sih pasti ada lebih tapi apakah itu tiket boleh buat gue atau enggak itu yang belum pasti kan) dia bilang ada.

“Aku mau....”

Dan dia membalas chat itu singkat.

“Oke, satu buat kamu ya Ron.”

Ada kembang api meledak di dalam perut gue. Ledakan kedua terjadi di dada gue. Ledakan ketiga di kepala gue.

HIT YOU WITH THAT DDU-DU DDU-DU DDHHHUUAAAAARRRRRRRR.

Gue nggak tahu kebaikan apa yang sudah gue buat untuk dunia sepanjang hidup gue. Gue sendiri aja bahkan ragu apakah selama ini gue sudah jadi orang yang baik atau belum. Rasanya hari itu gue ingin banget teriak kenceng-kenceng. Ingin banget lari keliling kantor sambil teriak kenceng-kenceng.

“TERIMA KASIH YA ALLAH! AKHIRNYA AKU BISA NONTON IU SETELAH SEKIAN LAMA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”


--


Gue seharusnya bisa dapat tiket promo buat terbang ke Bangkok dan balik ke Jakarta. Tapi gue terlalu lama mikir. Nyesel juga waktu itu kenapa nggak langsung beli aja sih tiketnya? Padahal beda harganya jauh banget! Besok-besok kalau promo sih mending beli aja langsung daripada nyesel. Gue mengumpat pelan sambil berusaha untuk tetap tenang karena kebodohan sendiri kan nggak bisa menyalahkan siapapun. Gue melewatkan tiket PP Rp 1,7 juta itu dan merelakan duit untuk beli tiket PP Rp 2,5 juta dari salah satu situs tiket. Dua harga itu memang dari maskapai yang berbeda sih. Tapi toh gue nggak pernah tahu apa bedanya. Gue pernah naik maskapai yang menawarkan tiket murah itu sekali tapi itu udah lama banget. Sementara maskapai yang harganya lebih mahal ini gue udah sering naik pas ke Lombok (walaupun kayaknya diurus oleh perusahaan yang beda untuk penerbangan ke Thailand). Tapi belum lama ini salah satu maskapai itu mengalami kecelakaan dan gue jadi agak parno. Kalau udah urusan mati gue beneran takut banget deh.

“Orang beriman tuh nggak boleh takut mati,” begitu kata nyokap. Masalahnya apakah iman gue sudah setinggi itu sampai gue nggak takut mati? Salat subuh aja gue masih suka bolong. But anyway, tiketnya udah gue beli dan gue merasa fifty:fifty. Separo menyesal tidak membeli tiket promo yang lebih murah itu dan separo ikhlas karena yaudah daripada nggak jadi berangkat sama sekali.

Gue memutuskan untuk beli tiket ke Bangkok ini setelah satu bulan berselang sejak proposal peliputan ke konser di Singapura yang nggak ada kabar sama sekali. Biasanya sih enggak selama ini. Kalaupun misalnya mereka belum bisa memberikan kepastian soal liputannya, paling enggak kan mereka bisa balas email-nya gitu lho maksud gue. Tapi ini sama sekali nggak ada jawaban. Sampai gue bilang ke mas Welly apakah perlu kita email lagi? Walaupun gue bilangnya pake tanda tanya tapi mas Welly email lagi akhirnya ke mereka. November berlalu tanpa ada kabar sama sekali soal liputan itu dan gue sama mas Welly akhirnya menyerah.

“Yaudah lah mas, anyway aku kan juga ke Bangkok. Jadi nanti bisa nulis yang Bangkok aja kalau misalnya Singapura nggak dapet,” kata gue. Ya kan namanya juga manusia hanya bisa berencana, ujungnya Tuhan juga yang akan menentukan. Walaupun nonton tek-tok dari Singapura ke Bangkok terdengar akan sangat menyenangkan, tapi kan gue nggak boleh greedy juga. Syukuri aja yang udah didapat. Nggak perlu berlebihan. Mungkin itu cara Tuhan mengajarkan gue untuk tidak boros juga muahahahahahhaahhahaa. November pun akhirnya berakhir tanpa ada email balasan apapun dari promotor baik dari Singapura atau Bangkok. Desember datang dan gue mulai deg-degan.

Ini pertama kalinya gue akan nonton IU secara langsung. Gue nggak pernah terbayang sebenarnya bahwa pada akhirnya setelah sekian lama gue cuma jadi fans biasa-biasa aja terus dalam beberapa hari gue akan bisa menyaksikan IU di panggung konser. Mendengarkan suaranya langsung dari dalam ruangan yang sama dengan tempat dia berdiri. Ini tuh semacam mimpi jadi nyata banget buat gue. Istimewanya lagi, ini adalah pengalaman pertama gue nonton IU! Sekaligus ini juga akan jadi pengalaman pertama gue ke Bangkok, Thailand. OMG GUE LUPA DENGAN FAKTA KEDUA. GUE BELUM PUNYA ITINERARY.

Gue punya teman—dulu—yang suka banget sama Bangkok. Dulu pas kita masih main bareng dia sering banget meracau soal Thailand. Beberapa teman yang ada di circle yang sama juga sudah pernah pergi ke Thailand bahkan ada yang ke Bangkok tuh kayak ke Bandung. Sebulan mungkin bisa dua sampai tiga kali. Tapi karena gue nggak pernah sebegitu tertariknya sama kota ini, gue nggak terlalu mendengarkan dengan baik setiap cerita mereka. Setiap detail lokasi yang mereka kunjungi. Kayak belanja ini bagusnya di mana, kalau mau lihat ini enaknya ke mana. Yang gue tahu soal Bangkok cuma Siam dan Chatuchak doang. Dan itu sudah pasti akan gue kunjungi sih karena yang pertama kali muncul di kepala gue ya dua tempat itu. Sejak pertama kali ke Seoul di 2015, gue jadi sering bikin itinerary kalau mau pergi-pergi. Tapi yang Bangkok ini bener-bener kelewat banget deh. Dan ketika gue heboh soal belum punya itinerary itu, gue sama sekali nggak berusaha untuk melakukan apapun selain book hostel. Gue cuma lihat-lihat di Google berbagai artikel yang judulnya “Place you have to visit while in Bangkok” dan yang setipe itu. Tanpa benar-benar merencanakan dan menyusun hari pertama ke mana dan hari kedua akan ngapain. Ngomong-ngomong gue akan menghabiskan 4 hari 3 malam di Bangkok. Karena ini terbilang cukup lama juga, jadi gue rasa gue butuh itinerary.

“Gue minta punya lo deh, lo kan udah pernah ke sana kan? Masih ada nggak?” gue tanya temen kantor yang duduknya persis di depan gue. Setelah dia cari-cari di email untungnya masih ada. Oke, gue merasa aman dan tidak lagi perlu itinerary. Karena gue bisa lihat daftar tujuan yang dia buat untuk jadi pedoman. Dan itu tinggal gue buka nanti pas udah sampai sana. Sekarang yaudah tinggal berangkat aja dan memastikan diri untuk tidak sakit jelang hari keberangkatan. Nggak mau kejadian pas mau ke Seoul waktu itu terulang lagi.

Meski pengetahuan gue soal Bangkok sangat minim, tapi gue tahu kalau di sini adalah surganya belanja. Banyak yang bilang kalau harga baju-baju di Bangkok tuh murah banget. Jadi gue merasa nggak perlu banyak bawa pakaian ke sini. Karena gue akan tinggal selama empat hari, idealnya gue harus bawa empat baju. Tapi hari itu gue mutusin untuk bawa tiga aja. Muahahahahha rasanya kayak nggak ada beda ya. Wahahahha. Soalnya gue kan baru bikin baju Quintruple Million Seller itu jadi gue ingin bawa itu dengan harapan kalau nanti gue bisa foto di suatu tempat, gue sekalian bisa pamer baju itu. Yang kedua gue kan harus bawa baju Overdose merah yang sudah jadi trademark gue kalau nonton konser, itu sudah pasti masuk ke list baju pas hari H nanti. Nah hari terakhir nanti beli aja deh di sana bajunya. Sekalian beliin oleh-oleh buat keluarga di Lombok. Untuk hari pertama, ini random banget sih, gue pake baju batik lengan panjang yang gue pakai beberapa jam saja ke kondangan teman gue satu minggu sebelumnya. Gue nggak rela kalau baju itu cuma dipake beberapa jam aja terus langsung dicuci. Jadi gue pakai aja buat berangkat ke Bangkok di hari pertama. Karena gue nggak ada niatan buat bawa celana panjang, jadi gue padukan batik ini dengan celana pendek aja. Nggak jelek kok! Asal pede mah semua bagus aja. Kata gue gitu. Gue berhasil packing dengan berat koper yang kayaknya cuma dua kilo setengah. Yang bikin berat ini cuma perintilan obat muka sebenarnya. Berhubung gue masih jerawatan, ini nggak boleh ditinggalin.

Seperti perjalanan-perjalanan dengan pesawat yang sudah-sudah, gue selalu nggak akan bisa tidur tenang jelang keberangkatan. Ada ketakutan-ketakutan yang rutin datang sebelum terbang tuh. Takut ketinggalan pesawat iya. Takut mati juga iya.

Takut ketinggalan pesawat karena gue terbangnya pagi jam 6:30 WIB. Jadi gue sudah harus sampai bandara paling enggak 90 menit sebelum itu. Jadi gue harus berangkat dari kosan paling enggak 90 menit dari sebelum gue sampai di bandara. Jadi kalau estimasi sampai di Bandara jam setengah lima pagi, gue udah harus berangkat dari kosan sekitar jam tiga atau jam setengah empat pagi paling telat. Jam segitu biasanya sudah ada sih GrabCar atau GoCar gitu, jadi gue bisa nyambung Damri dari Terminal Damri di Blok M. Hehe. Cari yang murah aja. Nggak sanggup kalau harus naik GrabCar/GoCar dari kosan ke Bandara. Lumayan menghemat hingga Rp 50 ribu kan. Bisa buat ongkos pulang nanti yang pastinya akan lebih mahal karena jam pulangnya akan lewat tengah malam banget sampai di Jakartanya.

Takut mati biasanya sih karena ya kita nggak pernah tahu kan apa yang akan terjadi selama penerbangan. Ditambah lagi karena beberapa minggu sebelumnya maskapai yang gue akan naiki ini kecelakaan juga. Gue nggak suka nih sama pikiran-pikiran yang kayak gini, tapi nggak gampang buat gue untuk menghalaunya. Setiap kali akan terbang pasti pikiran-pikiran macam ini akan datang dan mengganggu. Sampai-sampai gue nggak pernah bisa tidur. Ingat cerita soal Seoul di awal tulisan ini? Perasaan gue sebelum berangkat itu juga persis sama. Ditambah dengan migrain makin miserable aja deh hidup gue. Bagaimana kalau gue beneran mati? Bagaimana kalau gue mati terus mayat gue nggak diketemukan? Bagaimana kalau gue mati dengan kondisi mayat tidak ditemukan kayak gitu dan gue masih punya banyak dosa? Gue belum siap mati. Apalagi matinya menuju bersenang-senang tanpa faedah pula kan. Bukan dalam perjalanan relijius atau semacamnya.

YA ALLAH AMPUNI HAMBA.

Selain nelepon nyokap, ada satu orang lagi yang gue pikir harus gue hubungi sebelum gue berangkat. It’s not necessary sebenarnya, tapi entah kenapa gue merasa gue harus menghubungi orang ini. Kalau-kalau gue beneran mati ya kan, paling nggak gue udah kasih kabar ke dia gue ke mana. Walaupun dia nggak peduli sih kayaknya hahahahahah. Niatnya cuma mau berkomunikasi ringan saja sama ini orang malah berujung membicarakan hal yang sangat serius. Sangat serius sampai gue gemeter waktu nge-chat dia. Diselingi dengan senyuman kecil sih yang sampai mencuri perhatian teman gue dan nanya, “Lo ngapa senyum-senyum sendiri sih?” gitu. Tapi inti dari obrolan itu sebenarnya malah bikin gue semakin tertekan dan terpojok sih. Ya gimana dong wkwkwkkw lo chat sama orang yang lo suka setelah dia bilang dia nggak suka sama lo dan mau temenan aja walaupun dia sama sekali tidak menunjukkan niat untuk kembali berteman gitu kan ya. But anyway, awalnya gue chat dia karena gue nggak mau punya banyak beban sebelum berangkat, eh malah menambah beban banget. Ada satu poin di obrolan itu (yang gue nggak bisa share di sini karena sangat private wkwkwkkwkw) yang bikin gue sangat kepikiran. Sampai-sampai gue nggak bisa tidur di H-1 keberangkatan. Gue terbangun jam setengah tiga pagi, memaksa diri untuk mandi, dengan mata masih kriyep-kriyep naik GrabCar ke Terminal Damri Blok M. Kepala gue memang nggak sakit, tapi dada gue rasanya sesak. Masih sesak karena obrolan via WhatsApp itu.

Taik, tau gitu gue nggak usah chat dia kan. Gue mati juga kayaknya dia nggak peduli.

Yagitu.

Kondisi badan gue antara fit dan tidak. Lebih ke ngantuk mungkin. Ditambah lagi gue harus mikirin basian chat itu jadilah gue agak tidak bersemangat. Sekitaran kepala gue kayaknya ada awan mendung yang bikin gue jadi terlihat murung. Sekuat apapun gue mencoba untuk menghibur diri gue dalam perjalanan ke Bandara hari itu selalu gagal. Gue tidur hampir sepanjang jalan dan terbangun ketika busnya sudah masuk ke kompleks Bandara. Karena gue cuma bawa koper kabin dan ransel, gue nggak butuh waktu lama untuk check in. Biasanya gue akan minta kursi dekat jendela ke petugas check in tapi hari ini gue biarin aja segala kemungkinannya berjalan sesuai kemauan Tuhan. Ngomong-ngomong ini adalah pertama kalinya gue keluar negeri lagi setelah punya paspor baru. Jadi ada banyak hal pertama dalam perjalanan ini.

Setelah salat subuh di musala ruang tunggu keberangkatan internasional, setelah dipaksa menghabiskan satu jus blueberry yang rencananya mau gue minum sebelum x-ray check bagasi terakhir tapi gue lupa, setelah gue pikir pesawatnya kan tetap waktu tapi yang mana ini maskapai terkenal ngaret jadi yaudah gue masuk ke ruang tunggu dan lumayan nunggu lama juga, akhirnya gue masuk ke pesawat yang warna kursinya udah sangat familiar itu. Ketika check in gue nggak terlalu memperhatikan nomor kursi gue sampai akhir gue sampai di kursi itu dan surprise. Jendela darurat.

“Apakah ini sebuah petunjuk kalau gue benar-benar akan mati.”

Itu bukan pertanyaan.

Duduk di kursi dekat jendela darurat sebenarnya enak karena lo bisa selonjoran dengan leluasa mengingat jarak antara kursi lo dengan kursi yang ada di depannya cukup jauh. Soalnya kan harus ada jalan yang cukup luas buat evakuasi keluar pesawat lewat sayap. Sebelum duduk lo juga diperbolehkan untuk pindah tempat duduk kalau memang lo nggak bersedia membantu proses evakuasi ketika pesawat berada dalam kondisi darurat. Tapi gue nggak bisa mikir sama sekali saat itu. Boro-boro minta buat pindah kursi. Gue blank beneran deh. Mungkin karena gue sibuk berusaha untuk tidak memikirkan apapun. APAPUN. Gue yang lagi parno ini sudah nggak bisa fokus. Walaupun gue masih ingat kursi gue di paling pinggir. Di sebelah gue ada pasangan Chinese usia 40an kalau dilihat dari wajahnya. Abis ini udah nggak mau apa-apa lagi. Gue mau duduk dan tidur sepanjang jalan. Jadi kalau misalnya nanti gue mati karena pesawat ini terjun bebas karena nabrak burung atau karena nyangkut di benang layangan, gue nggak akan sadar kalau gue sudah mati. GUE TAKUT BANGET TAPI GUE NGGAK MAU MERASA TAKUT. Gue duduk, pasang sabuk pengaman, dan mendadak alim gue buka aplikasi Quran di handphone gue. Ngaji sebentar sebelum akhirnya gue terlelap.

Entah berapa menit persisnya tapi gue mendengar suara ding! dari speaker, mengisyaratkan akan ada pengumuman dari pilot. Sebelum itu terdengar, gue sudah merasakannya. Gue sudah merasakan getaran yang lebih dari sekedar goyangan yang biasa terjadi waktu pesawat masuk ke area yang berawan misalnya. Pesawat itu mengalami turbulence yang kenceng banget. Kursinya bergetar kenceng banget. Badan gue terlempar tapi tertahan sabuk pengaman ke kiri dan ke kanan. Rasanya kayak lagi naik roller coaster banget. Gue akhirnya mendengar pengumuman dari pilot ini. Jelas banget gue denger itu dan gue makin deg-degan. Apakah ini benar-benar saatnya gue akan mati?

“Karena ada turbulence, semua penumpang diharap kembali ke tempat duduk dan mengenakan sabuk pengaman.”

Kaki gue udah nggak bisa rileks lagi walaupun bisa selonjoran. Posisinya sekarang menapak kuat dan terlipat seperti orang duduk di kursi pada umumnya. Entah kenapa gue sesekali nahan napas. Mata gue tertutup rapat. Tiba-tiba badan gue ketarik ke kiri. Sekeliling tempat duduk gue sudah berubah merah. Pesawat itu terbakar! Tapi gue nggak merasa panas sama sekali. Gue nggak mencoba untuk melepas sabuk pengaman atau apa. Gue nggak bisa bergerak bahkan. Badan gue ketarik ke kanan. Mata gue masih tertutup. Berusaha untuk gue buka tapi nggak bisa. Gue berusaha untuk membuka mata lagi tapi tetap saja enggak bisa. Tapi anehnya gue bisa melihat pesawat itu terbakar. Api ada di mana-mana. Bagasi di atas kepala orang-orang ada beberapa yang terbuka dan isinya berserakan. Tapi nggak ada orang-orang yang panik lari-larian. Semuanya masih dalam posisi duduk dan api membakar semuanya.

Tiba-tiba ada yang teriak kenceng banget. Mungkin berusaha membangunkan gue. Dia nggak manggil nama gue tapi gue tahu panggilan itu ditujukan ke gue. Dia manggil gue berkali-kali dan berusaha untuk membuat gue membuka mata. Mungkin dia pikir dengan begitu gue bisa bangun dari kursi dan kabur lewat jendela darurat yang jaraknya cuma dua kursi di samping gue. Sayangnya gue nggak bisa membuka mata semudah itu. Gue masih berusaha tapi nggak bisa. Suara itu makin terdengar kenceng banget di kuping gue. Memaksa gue untuk membuka mata. Dada gue mendadak sesak. Badan gue terlempar lagi ke kanan dan ke kiri lebih cepat dari sebelumnya. Gue merasa capek banget dan ketika gue akhirnya bisa membuka mata, gue terbangun dari mimpi yang benar-benar buruk. Mimpi yang nggak pernah gue harapkan akan gue alami ketika gue sedang ada di dalam pesawat.

Di momen itu gue merasa persis seperti Alex ketika dia mengalami mimpi buruk di film Final Destination. Gue bisa melihat jelas api di sekeliling pesawat itu. Gue bisa mendengar jelas teriakan orang yang membangunkan gue itu. Gue bahkan masih ingat detailnya ketika gue menulis posting-an ini. GUE MAU NANGIS RASANYA. Kenapa semua kekhawatiran gue soal kematian dan kondisi mental gue sebelum berangkat malah berujung ke mimpi buruk ini sih? Kan gue jadi makin parno! Ini baru penerbangan berangkat, masih ada penerbangan pulang. Gimana kalau mimpi itu ternyata pertanda buat penerbangan pulang?! GIMANA KALAU MIMPI ITU PERTANDA BUAT PESAWAT INI KETIKA AKAN MENDARAT?! MAU NANGIS RASANYA.

Gue mendongak sedikit melihat lampu tanda kenakan sabuk pengaman yang kebetulan sudah mati. Turbulence sudah lewat. Mimpi buruk sudah lewat. Gue membuka sabuk pengaman dan jalan gontai ke kamar mandi. Cuci muka dengan air hangat dan mengosongkan semua isi kandung kemih sebelum akhirnya duduk lagi dengan mencoba menenangkan perasaan sendiri. Ini seharusnya jadi perjalanan yang menyenangkan. Ini harusnya jadi pengalaman pertama gue ke Bangkok yang menyenangkan. Bukan justru gue diselimuti oleh mimpi buruk soal pesawat terbakar dan kematian. Dan sialnya ini baru setengah perjalanan dari tiga jam penerbangan. Gue nggak berani tidur lagi meski kondisi gue sangat mengantuk karena semalam nggak tidur dengan benar. Gue juga nggak bisa mendengarkan musik untuk menenangkan diri karena headphone gue sekarang Bluetooth dan gue nggak yakin bisa menggunakannya di dalam pesawat kayak gini. AAAAAAAAAARRRRGGGHHHHHH.... Gue berusaha menenangkan diri gue dengan membuka galeri foto dan melihat foto-foto lama lalu di-edit di Lightroom. Sampai akhirnya kantuk menyerang lagi dan gue tertidur lagi sampai akhirnya pesawat itu mendarat di Don Mueang International Airport.

Alhamdulillah. Gue nggak mati.

Alhamdulillah. Gue belum mati.


- bersambung -

Bangkok Bagian 2: Selamat Datang di Sukhumvit

$
0
0

Gue lupa naruh sikat gigi dan odol di ransel waktu packing dan malas untuk membongkar koper setelah gue tiba di ruang kedatangan dan menuju imigrasi. Gue paling nggak suka sama rasa di mulut kalau abis terbang dan baru mendarat. Buat lo yang sering atau pernah naik pesawat dan terbang lebih dari sejam atau dua jam pasti ngerti deh maksud gue. Rasanya di mulut tuh lebih nggak enak dari bangun tidur bahkan setelah delapan jam. Biasanya di tas gue ada permen tapi kali ini beneran gue nggak nemu apapun. Mood gue masih belum balik rupanya. Gue masih shock sama mimpi yang tadi. Dengan mata yang masih kriyep-kriyep dan kesadaran masih belum seratus persen, gue berjalan gontai menuju ruang terminal kedatangan. Gue memutuskan untuk ke toilet untuk cuci muka lagi, kumur sedikit supaya mulut agak nyaman, lalu bergegas ke imigrasi yang antreannya sudah mengular. Karena gue tadi ketiduran sampai jelang mendarat, gue nggak kebagian kartu kedatangan yang harus diisi dan diserahkan ke imigrasi sebelum keluar dari Bandara. Gue bengong agak lama memperhatikan orang-orang yang juga sama kayak gue, belum punya kartu, untuk tahu mereka akan menuju ke mana dan minta kartunya ke siapa. Gue lagi nggak mood buat bertanya-tanya sama siapapun soal kartu ini jadi gue hanya bisa mengamati dan memperhatikan saja. Ada satu ibu-ibu yang jalan menghampiri seorang perempuan muda berambut pendek dan berseragam, oh pastilah mbak-mbak ini yang megang kartunya.


“Can I have two?” kata gue dalam Bahasa Inggris. Mbaknya ngasih dua. Gue sengaja minta dua karena gue tahu pasti yang pertama akan ada kesalahan dalam pengisian. Karena seringkali kejadian kayak gitu jadi gue sudah mengantisipasinya daripada bolak balik minta. Mana lagi gue sedang tidak dalam kondisi mental yang stabil hahahaha dan bener aja, ketika gue melakukan pengisian form pertama ada kesalahan yang gue buat di nama gue sendiri. DI NAMA GUE SENDIRI. Gak paham lagi deh. Setelah mengulang pengisian, gue buru-buru antre dan menuju ke imigrasi. Bersyukur banget keluar imigrasi di negara-negara ASEAN enggak terlalu intimidatif. Beda sama UK atau US. Ngeri banget deh feel-nya beneran kayak tertekan banget. Jarang banget ada petugas imigrasi yang bener-bener ngajakin ngobrol gitu. Tapi terakhir gue ke Korea, gue nemu mbak-mbak petugas imigrasi yang kayaknya suka Kpop juga. Soalnya waktu itu dia nyuruh gue buat ngelepas case paspor gue yang di dalamnya terselip satu tiket konser EXO dan banyak sekali stiker karakter EXO dari album EX’ACT yang gue dapat dari Andi.

“You like Kpop?” dia nanya kayak gitu dalam proses gue nempelin sidik jari.

“Yes. That sticker is EXO,” gue tembak aja, in case she is wondering.

“You like EXO?” dia nanya lagi.

“A lot,” jawab gue.

Walaupun obrolan itu cuma sekedarnya, tapi seenggaknya bisa bikin lo jadi santai dan merasa disambut gitu lho masuk ke negara orang. Ih pas gue di London diketusin sama mbak-mbaknya. Padahal udah gue assalamualaikum gegara dia pakai jilbab. Sebel. Ya intinya harus santai aja. Kalau ditanya ya dijawab. Kalau disenyumin (tapi mostly sih enggak) ya senyum balik. Setelah gue buka kacamata dan buka topi anjing bertelinga yang gue pakai, paspor gue dicap dan gue bisa keluar dengan sentausa.

Sebenarnya gue lapar banget dan ingin cari makan dulu. Tapi gue urungkan niat itu karena gue ingin segera sampai di hostel. Seharusnya gue Jumatan hari itu tapi gue nggak yakin akan keburu untuk keluar dari bandara menuju masjid terdekat, jadi yaudah nanti dzuhur aja di hostel. Sebelumnya gue sudah pesan traveler’s SIM Card di Klook dan harus diambil di loket yang ada di dekat pintu kedatangan. Gue langsung menuju ke sana karena gue butuh WiFi untuk mencari informasi soal bus dan sebagainya. Beruntung gue dapat promo dari Klook cuma sekitar Rp 50 ribuan untuk SIM Card ini. 3GB untuk 4 hari 3 malam gue rasa cukuplah. Enggak semahal di Singapura dan Korea Selatan deh pokoknya. Setelah urusan SIM Card selesai dan terhubung ke internet lagi, gue akhirnya bisa cari informasi soal bus yang harus gue naiki untuk menuju ke hostel.

Sebenarnya rutenya gampang banget sih dari Don Mueang. Cuma harus naik bus A1 sekali dan turun di stasiun BTS Mo Chit (dekat Chatuchak Weekend Market), kemudian dari situ lanjut ke stasiun BTS Phrom Phong dan jalan kaki beberapa menit sampai ke hostel.

Mencari tempat naik bus di Don Mueang juga nggak terlalu susah. Gue sendiri cuma bermodalkan petunjuk jalan yang ada di Bandara aja dan udah nemu deh itu tempat nunggu busnya. Sediakan uang kecil pecahan 50 Baht atau 100 Baht untuk bayar busnya. Soalnya kata temen gue kalau bayarnya pake uang gede kayak 1000 Baht atau 500 Baht suka diketusin. Mana gitu kan kalau mereka ngomel pakai Bahasa Thailand gue juga enggak ngerti ya. Jadi mendingan bayar pake uang kecil aja.


Ongkos dari Bandara Don Mueang ke Mo Chit 30 Baht. Busnya sendiri nggak sebagus Damri. Kayak MetroMini yang ada di Jakarta tapi ini versi bagusnya aja karena pakai AC. Lumayan bersih juga kok jadi enggak yang sekotor MetroMini gitu. Gue tidak mau melakukan banyak komunikasi dengan siapapun termasuk kenek bus-nya yang ternyata mbak-mbak hari itu. Jadi gue kasih uang pecahan 100 Baht dengan tampang yakin (karena gue udah tahu tarifnya berapa) dan dia pun menerimanya dengan tampang yakin juga seolah-olah mengisyaratkan bahwa gue udah terbiasa naik bus ini di Bangkok. Gue salah fokus dengan cara unik kenek bus di Bangkok ketika menerima uang, menyimpan uang, mengambil kembalian, dan merobek tiket di dalam bus. Mereka membawa sebuah wadah uang berbentuk tabung kecil agak panjang gitu terus uangnya dilipat dua melintang terus dijepit di tangan. Kalau udah banyak jadi kayak kipas gitu di tangannya.

Tapi abis itu mereka nggak langsung nari kok.

Perjalanan dari Bandara Don Mueang ke pusat kota Bangkok tepatnya di Stasiun BTS (bukan boyband KPop yang terkenal sedunia itu) Mo Chit memakan waktu kira-kira 20 menit karena lewat tol. Sepanjang perjalanan di bus itu gue nggak bisa membedakan apakah ini Bangkok atau Tangerang Selatan. Soalnya nggak kelihatan terlalu berbeda. Tapi yang jelas, yang gue suka, langitnya bersih biru dan bersih banget. Gue enggak tahu kapan gue harus turun dari bus ini dan lupa ngitung ini bus sudah berhenti berapa kali sejak tadi gue naik dari bandara. Tapi karena ada banyak orang yang bawa koper juga gue berasumsi semuanya akan turun di Mo Chit. Eh ternyata ketika sudah sampai Mo Chit, mbak-mbak yang tadi teriak juga “Mo Chit! Mo Chit!” gitu walaupun pakai aksen dan pake nada khas sana. Gue turun sambil memperhatikan sekitar. Gue lihat ada stasiun BTS di tengah jalan, di atas, tapi enggak yakin bagaimana cara ke sana. Gue melihat satu orang berwajah oriental yang geret koper dan berjalan menuju eskalator nggak jauh dari halte tempat tadi gue turun bus, gue ngikutin dia aja. Dan hey, kita sampai di stasiun BTS Mo Chit! Nah sekarang, how to get to Phrom Phong?

Gue lihat ada banyak orang mengantre di loket tapi gue nggak tahu apakah sebenarnya orang-orang ini sedang pesan tiket atau isi ulang kartu transportasi mereka. Karena di dekat loket tiket ada vending machine juga yang setelah gue perhatikan nggak menerima uang kertas. Sementara gue nggak punya koin yang cukup, hanya ada 20 Baht aja kembalian dari bus tadi. Lagipula gue nggak tahu berapa ongkos ke Phrom Phong berapa. Gue muter-muter lama banget di situ. Sambil ngeliatin ada makanan apa aja yang dijual di sana, ada minuman apa aja yang dijual di sana, dan tentu saja orang-orang juga mulai ngeliatin gue karena topi anjing yang gue pakai. Gue malas bertanya. Jadi gue hanya bisa memerhatikan apa yang dilakukan orang-orang (lagi). Gue berdiri di dekat loket tiket dan melihat orang beli tiket di sana barulah gue yakin kalau gue nggak butuh vending machine. Akhirnya gue ikut antre di depan loket dan bilang kalau gue mau ke Phrom Phong. Ongkosnya sekitar 40 Baht dari Mo Chit dan nggak harus transit, untunglah. Kalau udah punya tiket kan tinggal naik aja. Pasti nggak akan jauh beda sama naik Subway dan MRT di Seoul dan Singapura.

“One ticket to Phrom Phong please,” kata gue ke petugas loket.

“Forty Four,” katanya mengisyaratkan harga. Gue kasih uang 100 Baht dan dia balikin sisanya plus kartu yang harus di-tap untuk masuk ke area penumpang BTS. Hari itu Jumat siang, gue kira nggak akan terlalu ramai. Tapi ternyata lumayan juga. Kondisi gue sedang bawa ransel dan koper begini kadang-kadang takut mengganggu penumpang lain. Jadi gue berusaha untuk tidak membuat koper gue menghalangi jalan. Gue agak kesulitan untuk menangkap pengumuman kereta sudah sampai ke stasiun mana karena itu pertama kalinya gue mendengar suara dengan nada bicara seperti itu. Jadi gue sesekali lihat aplikasi BTS di hape untuk memastikan gue sudah berhenti berapa kali sejak naik di Mo Chit. Sesampainya di Phrom Phong, gue sempat salah aksi ketika keluar palang penumpang hihihi. Kalau biasanya di Jakarta di tap, di Bangkok kartunya harus dimasukin kayak masukin kartu ATM. Gue tap berkali-kali enggak bisa! Terus malu sendiri pas ternyata dimasukin. Buru-buru kabur dan geret koper berjalan ke Lamurr 41 Sukhumvit, hostel gue.


Keluar dari stasiun BTS Phrom Phong itu harusnya udah nggak jauh lagi menuju ke hostel gue. Sempat salah arah ketika lihat Maps karena harusnya dari tangga turun gue putar balik tapi gue malah lurus. Suasana di situ nggak jauh beda sama suasana keluar dari Stasiun Tebet atau Stasiun Duren Tiga. Bedanya mungkin ya pinggir jalannya nggak banyak ojek parkir atau kerumunan orang-orang di dekat pedagang kaki lima yang akan sangat menyusahkan pendatang dengan koper yang harus digeret kayak gue gini. Cuma butuh lima atau tujuh menit untuk menuju Lamurr di jalan Sukhumvit 41. Bangunan hostel ini ada di dalam gang yang cukup sepi. Suasana di lingkungannya nggak bisa gue bilang friendly juga sih karena kalau siang aja sepi gimana kalau malam ya? Ada beberapa tempat makan dan minum kecil di sekitaran hostel, juga ada satu hotel yang lebih fancy. Di dekat tempat fancy itu ada rumah jompo.

Gue menekan bel dan salah satu bule perempuan yang sepertinya adalah tamu membukakan pintu buat gue. Gue bilang terima kasih dan dia balas tersenyum. Gue masih tidak bisa berpikir mantap bahkan sampai ketika Ai, resepsionis hotelnya nyapa gue dan nanya nama gue siapa. Ini nih yang selalu susah dilakukan kalau misalnya lagi check in di hostel kayak gini. Soalnya nama gue agak susah ditangkap mungkin sama pendengaran orang asing. Sebenarnya kan bisa aja gue ngasih paspor gue langsung jadi dia bisa lihat dan baca sendiri ya, tapi dia terlanjut nanya sih.

“ATMI. A-T-M-I,” kata gue. Dia nyari-nyari kertas reservasi dan pas nemu dia heboh sendiri.

“Can I have your passport?” tanya dia.

Tuh kan bener harusnya tadi gue langsung kasih aja nggak usah pake eja nama gue yang orang-orang Indonesia selalu mikir itu nama cewek.

Biasanya kalau tinggal di hostel mereka akan minta yang deposit. Kalau-kalau terjadi kerusakan fasilitas atau kalau misalnya ada sesuatu dan lain hal yang terjadi sepanjang lo menginap. Uang ini nantinya akan dikembalikan sih setelah check out. Di hotel-hotel besar biasanya minta kartu kredit by the way. Jadi better lo siapkan uang lebih dari budget belanja hari itu. Gue sendiri sebenarnya lupa soal deposit ini, jadi gue harus memotong uang makan dan belanja gue selama di sana. Lumayan juga soalnya deposit-nya THB 500. Anggap aja nabung buat ongkos balik ke Bandara di hari terakhir. Setelah urusan data check in kelar, Ai ngasih kunci kartu yang bisa di-tap buat masuk ke kamar dan juga buat masuk ke hostel (pintu hostel dibuka 24 jam). Sama satu kunci biasa buat loker.

“Your room is on 3rd floor, right door,” kata Ai lagi. Gue senyum terus bilang thank you, sebelum akhirnya dia nyetop gue lagi dan bilang, “Your shoes.”

“Hehe. Mon maap.”

Setelah membuka sepatu gue langsung menuju ke lantai tiga. Dalam perjalanan ke sana gue melewati ruang tamu kecil dengan undakan tinggi tempat tamu-tamu bisa lesehan di situ. Ada meja kecil di tengah-tengah dan satu televisi besar di satu sisinya. Di dekat televisi ada rak-rak kecil yang berisi majalah, buku, brosur, dan berbagai macam kerta informasi wisata di Bangkok. Sementara di sisi berlawanan dengan televisi ada rak tinggi yang di atasnya ada sederet tempat makanan. Mungkin buat sarapan. Pikir gue. Di belakang rak tinggi itu ada wastafel dan di sisi kirinya ada pintu menuju ke kamar.

Gedung ini mungkin sekitar lima lantai. Soalnya gue nggak sampai naik ke lantai empat atau lima, tapi ketika gue sampai di lantai tiga gue bisa melihat tangga untuk naik ke lantai yang lebih tinggi. Gue lupa jenis kamar yang gue pesan tapi yang jelas sih dormitory room. Nggak inget buat berapa orang dan nggak inget apakah itu khusus cowok atau campur. Gue sama sekali nggak berekspektasi lebih soal kamarnya. Gue juga lupa apakah sudah pernah melihat foto hostelnya di apps booking.com jadi ketika gue masuk, gue agak shock karena ternyata ruangannya nyaman meski space di antara kasur satu dan yang lainnya sempit banget. Lumayan cukup buat solat sih untungnya. Cuma kalau misalnya pintu dibuka (posisi solat membelakangi pintu), jelas akan kena ke gue. Semoga pas nanti solat nggak ada yang masuk deh. Nggak enak soalnya.

Kasurnya sendiri nggak bunk bed yang terbuat dari besi gitu. Lebih ke kayak model kapsul/pod gitu dengan segala colokan dan lampu yang ada di dalamnya. Tapi bentuknya enggak seperti hotel kapsul. Lebih ke kubikel berisi kasur dengan atap dan tirai. Untungnya gue dapat kasur di bawah jadi nggak perlu repot buat naik tangga dan manjat kalau mau tidur dan beraktivitas di kasur. Posisi kasur yang gue dapatkan juga terbilang enak karena sebagian tubuh gue ketutupan dinding. Jadi kalaupun gue nggak tutup tirai yang keliatan paling cuma kaki. Jodoh banget deh gue sama tempat ini. Di bawah kasur ada loker yang cukup besar untuk masukin koper. Bahkan koper dan ransel gue muat masuk ke situ. Gue sih rekomendasikan banget hostel ini. Soalnya buat 4 malam 3 hari, cuma THB 800-an atau sekitar Rp 350 ribuan.


Kasur beres, hape udah dicas, koper aman di loker, benda-benda yang nggak diperlukan di ransel udah dipindah semua ke loker, peralatan mandi udah dikeluarin, waktunya buat kerja sebentar sambil mikir hari ini mau ke mana. Setelah solat dan cuci muka, gue duduk lama banget di kasur sambil ngetik kerjaan hari itu. Gue baru sadar kalau gue sama sekali nggak punya plan ke mana-mana hari ini. Bahkan ketika gue sudah selesai membuat dua artikel pun gue belum tahu gue akan ke mana. Sementara kasur itu rasanya ingin memeluk gue lebih erat dan lebih lama. Mengundang gue untuk berbaring dan tidur saja sampai hari Minggu.

“Oke, mending sekarang turun, terus cari-cari informasi lewat booklet yang ada di ruang tamu. Siapa tahu dapat pencerahan,” gue ngomong sendiri. Setelah semua baterai perelektronikan terisi penuh, gue jejelin semuanya ke dalam tas kuning kecil yang gue beli beberapa hari sebelumnya. Cameron (nama kamera Fujifilm XA3 gue) gue bawa di leher aja karena hari ini nggak mau ribet bawa ransel. Setelah pakai kaus kaki, gue turun ke ruang tamu. Gue mulai merasa lapar dan baru ingat kalau memang dari pagi gue belum makan yang proper. Di saat seperti ini gue butuh nasi, tapi gue juga belum tahu harus beli makanan di mana dan mau makan apa. Riset gue soal Bangkok nol besar banget. Yang kebayang sekarang di kepala gue cuma tauge yang tadi sedang digoreng bapak-bapak pedagang kaki lima nggak jauh dari hostel ini. Temen gue bilang tauge goreng ini enak. Tapi gue sendiri masih sangat ragu untuk mencoba makanan apapun. Gue butuh nasi, tbh.

Kalau sudah ada di hostel kayak gini, tubuh gue secara otomatis bergerak lebih lambat dan pelan-pelan, berusaha untuk enggak menciptakan suara terlalu keras. Tidak berisik adalah peraturan nomor satu di tempat kayak gini. Gue membuka pintu menuju ruang tamu pelan-pelan juga dan berjalan pelan menuju ke undakan, mendekat ke salah satu rak yang berisi banyak map dan brosus, mengeksplor halaman demi halaman brosur itu dengan harapan gue dapat inspirasi mau ke mana dan ngapain hari ini. Di ruang tamu itu gue nggak sendirian, ada satu orang laki-laki dengan t-shirt putih dan kaca mata hitam yang sikaitkan ke bagian tengah kerahnya. Wajahnya agak ketutupan bayangan karena ruang tamu itu memang agak remang-remang. Televisi menyala tapi nggak ada yang memperhatikan. Orang ini juga sedang sibuk dengan ponselnya sementara gue sibuk dengan brosur-brosur yang sedang gue lihat. Walaupun pada akhirnya gue nggak dapat inspirasi apapun dari situ karena kebanyakan isinya cuma menawarkan paket tur Bangkok. Tiba-tiba gue mencium aroma kopi dan baru sadar kalau dari tadi aroma itu menggelitik ujung hidung dan juga otak gue. Gue butuh kopi. Gue ngantuk banget. Tapi gue juga lapar banget. Gue melirik ke kiri dan baru sadar kalau aroma kopi itu dari si laki-laki yang sekarang sedang nyender di dinding ruang tamu. Ada tulisan di dinding tempat dia bersandar itu dengan beberapa huruf hilang karena copot dari lemnya.

“Are you local?” tiba-tiba gue mendengar suara memecah keheningan. Suara agak berat dengan aksen yang familiar, tapi gue enggak yakin untuk menebak aksen itu. Laki-laki tadi menyapa gue dan berusaha membuka obrolan. “Are you from Thailand?” tanya dia lagi. Gue bisa memastikan pertanyaan itu untuk gue karena nggak ada orang lain di ruang tamu itu selain kita berdua.

“No, I’m from Indonesia,” jawab gue sambil tersenyum. Orang ini juga tersenyum bahkan nyaris tertawa. Gue tahu kenapa. Dia melihat topi anjing yang gue pakai. Gue pikir ketika gue menjawab gue orang Indonesia obrolan kita akan berakhir di situ. Gue pikir dia cuma basa-basi aja nanya gue dari mana. Tapi ternyata dia malah tertarik untuk mengobrol lebih banyak lagi.

“Indonesia? Great place. Lots of great people. I had an amazing adventure in Bali not too long ago,” katanya.

“Really?”

(dari sini dan selanjutnya gue akan menulis percakapan kami dengan Bahasa Indonesia).

“Ya. Gue pernah stay di Bali beberapa minggu. Bareng sama beberapa teman. Suasananya luar biasa banget. Kita naik mobil dan gue duduk di atap mobil sambil megang papan selancar. Bener-bener pengalaman yang nggak terlupakan,” ceritanya.

Tadinya gue nggak berniat untuk lama-lama di ruang tamu itu, tapi mendadak rasa lapar gue hilang. Mendadak, gue jadi ingin ngobrol lebih banyak dengan orang ini. Gue merasa agak nostalgia sedikit ke perjalanan pertama gue ke Seoul beberapa tahun lalu ketika gue bertemu Ched dan Sacha di hostel.

“Kedengerannya lo sangat bersenang-senang waktu itu,” kata gue.

“Banget. Gue suka banget sama orang Indonesia terutama di Bali. Orang-orangnya semua ramah. Pernah waktu di Bali gue berniat untuk pergi mancing ke tengah laut. Dan orang ini, usianya mungkin sekitar akhir 30an atau pertengahan 40an, dia bilang dia mau mancing ke tengah laut dan gue tertarik untuk ikut perahunya. Gue pengin banget merasakan pengalaman itu, you know, mancing di tengah laut. Jadi gue tanya sama dia apakah gue bisa ikut atau enggak. Dia bilang boleh. Gue excited banget dan sudah siap deh kalaupun harus disuruh bayar. Tapi pas gue tanya dia gue harus bayar berapa, dia bilang enggak usah bayar. Gue kaget, you know. Kita baru ketemu dan seharusnya kan memang ada harga untuk hal-hal seperti itu. Gue kan turis juga, tapi dia bener-bener nggak mau nerima bayaran. Ya gue tanya aja sama dia kenapa dia nggak mau dibayar? Dan jawabannya bener-bener bikin gue terharu sih. Katanya dia anggep gue kayak temen aja. Masa sama temen harus minta bayaran?”

Gue mendengarkan dengan saksama sambil berusaha menerka-nerka aksen itu. Sekalian gue juga mencerna setiap kalimat yang dia ucapkan karena, hey, ini pertama kalinya dalam setahun terakhir gue berkomunikasi lagi sama orang asing tidak dalam bahasa sendiri. Gue agak bingung bagaimana harus merespons cerita dia.

“He really was a nice guy!”


“He was! I love your people, man,” katanya lagi.

Seneng nggak sih lo mendengarkan cerita orang luar negeri tentang Indonesia dan mereka dapat kesan yang positif tentang masyarakat lokal kita? Gue harap orang-orang kayak gini nggak akan ketemu dengan para provokator yang sering nyebar hoax dan rusuh bawa-bawa agama buat jadi alasan ngerusak.

Gue nggak memulai obrolan ini tapi gue terseret masuk dan mulai merasa akrab dengan si mas-mas berewokan ini. Walaupun gue yakin Bahasa Inggris gue nggak sebagus dia (Bahasa Inggris orang ini bagus banget tapi ada aksen yang terdengar jelas. Dia pasti berasal dari somewhere in Europe). Eh tapi ngomong-ngomong nih ya, kita belum kenalan. Apakah gue harus memperkenalkan diri duluan? Tapi kan dia yang mulai ngajak ngomong duluan. Gue nggak jago di bagian ini. Apakah ada peraturan untuk hal-hal seperti ini? Gue mencoba mengingat-ingat ketika pertama kali gue ketemu Ched di Maru Hostel Hongdae beberapa tahun yang lalu. Dia yang pertama ngajak gue ngomong dan dia yang pertama ngenalin diri. Gue pindah posisi duduk dan nyamperin dia ke meja.

“I’m Ron,” gue menyodorkan tangan. Ya akhirnya gue yang ngenalin diri duluan.

“Adrien,” katanya menjabat tangan gue.

Jujur aja, ini bukan rasis ya, tapi dengan aksennya itu gue nggak menangkap dengan jelas waktu dia menyebut namanya. Gue nggak bisa membaca gerakan bibirnya juga soalnya kan berewokan (yahahahahahah) dan juga di situ agak gelap. Selama beberapa menit gue kira namanya Edwin. Beneran, ketika dia memperkenalkan diri itu, namanya terdengar seperti Edwin. Gue nggak bohong. Gue bego nggak sih? Tapi setelah gue tanya dia dari mana, gue baru mikir, masa Edwin?

“Lo dari mana?”

“Perancis.”


Tuh kan! Ada nggak sih orang Perancis namanya Edwin?

Sebelum gue sempat ber-WOW PERANCIS! Dia buru-buru menambahkan kalau sekarang dia sedang tinggal di Yangon, Myanmar.


Gue kayaknya beneran harus ke THT deh ini dalam waktu dekat. Kalau dia nggak ngomong Myanmar, kalau dia cuma ngomong Yangon, gue nggak akan tahu kalau yang dimaksud itu Yangon, Myanmar. WKWKWKKW. Ini perkara gue aja sih yang nggak pernah mendengar orang asing ngomong Yangon. Kalau kita kan pasti nyebutnya akan ‘YANG-ON’ sementara dia ngomongnya jadi ‘YENG-GOON’. Aslik gue malu banget tapi gue stay cool ajalah. Padahal posisi gue udah semeja sama dia tapi tetep aja gue nggak bisa denger dengan jelas apa yang dia omongin. Ahahaha. Gue nggak mau menyalahkan diri gue terlalu lama, ini pasti karena memang gue baru berinteraksi lagi dengan orang yang ngomong Bahasa Inggris. Jadi masih kagok. Oke, kalem aja Ron. Lupain aja kalau lo budeg. Lupain aja kalau Adrien dan Edwin itu jauh banget ya. Lupain aja kalau lo nggak jago Geografi dan Sosiologi. Ini berarti lo harus melupakan ambisi lo untuk jadi guru Geografi atau Sosiologi di SMA.

“Lo udah pernah ke Bangkok sebelumnya, atau ini pertama kali?” gue nanya dia untuk memecah kecanggungan.

“Nggak. Sudah pernah ke sini beberapa kali. Lo?”

“Ini gue perdana banget deh. Makanya tadi gue coba buat nyari-nyari referensi tempat di situ, tapi nggak terlalu nemu banyak. Sebagai orang yang sudah sering ke sini, apa yang lo suka dari Bangkok?” mungkin dari situ gue bisa dapat referensi gue harus ngapain sambil nunggu hari konser.

“Hmm... Gue sebenarnya orang yang suka sama traveling yang ekstrem. Tapi kalau ke Thailand, gue lebih ke yang menikmati kotanya aja. Karena nggak banyak yang bisa dilihat di Myanmar. Yangon itu kota kecil, enggak terlalu maju untuk urusan entertainment misalnya. Sesimpel film, kita selalu telat kayak lebih dari enam bulan. Bahkan banyak banget film Hollywood yang enggak tayang di sana. Jadi orang-orang kayak gue, expat yang tinggal di Yangon, biasanya akan pergi ke Thailand untuk cari hiburan. Sekedar nonton atau shopping. Karena di sini lebih banyak pilihan daripada di sana,”
katanya.

Gue mulai membayangkan seperti apa Myanmar dari cerita Adrien. Kok kayaknya Jakarta masih better ya? Mataram malah mungkin lebih update daripada Yangon.

“Ya tapi bukan berarti Yangon nggak nyaman untuk ditinggali. Kota ini buat gue nyaman banget karena orang-orangnya juga baik. Setahun terakhir gue tinggal di sini dan gue seneng aja dengan masyarakatnya. Yah kalau soal macet dan segala macem sih yaudah pasti, tapi di luar itu, banyak makanan enak di Myanmar!” kata dia lagi.

“Gimana ceritanya lo bisa sampai di Myanmar, deh?” nah ini udah masuk ke pertanyaan serius. Gue kepo banget nggak sih kesannya? Tapi dia sendiri enggak jawab pertanyaan gue soal rekomendasi tempat sih. Jadi yaudah gue tanya macem-macem aja.

“Awalnya gue kerja di sebuah perusahaan di Paris. Tapi gue sampai di titik di mana gue berpikir kalau gue kerja di sini terus, gue nggak bisa tahu atau menikmati apa yang ada di belahan dunia lain. Gue anaknya suka bertualang, dari kuliah gue ada temen yang bener-bener deket banget dan kita selalu melakukan petualangan bareng. Gue ada rencana buat sailing sama dia nih beberapa bulan lagi. Tapi anyway, gue resign dari perusahaan gue itu dan akhirnya berpikir untuk mengunjungi satu negara. Tapi waktu itu gue belum menentukan pilihan mau ke mana. Sampai akhirnya ada seorang teman menawarkan pekerjaan di Myanmar. Well, ini sebenarnya bukan bagian dari rencana gue. Gue mau berhenti kerja bukan buat pindah ke perusahaan lain. Gue berhenti kerja justru buat mengeksplor dunia. Tapi setelah gue pikir-pikir, Myanmar kayaknya bakal seru dan daripada gue ke sini nggak ngapa-ngapain, mending gue terima tawaran kerja itu jadi gue ada pemasukan. So yeah, here I am now,” ceritanya.

Lewat cerita yang singkat itu gue udah langsung tertarik dengan perjalanan hidup orang ini. Gue nggak tahu usianya berapa tapi kayaknya sih kita seumuran. Dan di usia kita yang nggak jauh beda kayak sekarang, dia bisa gitu memutuskan untuk berhenti kerja dan berpetualang. Meanwhile.... gue.... hahahahahahahha.

“So what about you? Apa yang bikin lo datang ke Thailand? Lo kerja juga atau?”

“Nggak banyak cerita seru soal gue. Hehe... gue tinggal di Jakarta, tapi gue asli Lombok. Mungkin lo pernah dengar pulau kecil di dekat Bali. Kapan-kapan lo harus ke situ dan lo harus kasih tahu gue jadi gue bisa ajak lo keliling. Gue kerja sebagai content writer di forum online di Jakarta. Kerjaannya nggak seserius lo sih kayaknya, tapi gue suka aja dan they paid me well, so, hahahahah....” gue ketawa kenceng banget anjir. Dia juga ikutan ketawa.

“Bagus dong! But you like the job, right?”

“Yeah, sudah mulai nyaman. Dan untuk kunjungan gue ke Thailand ini sebenarnya buat nonton konser Kpop hari minggu nanti. Gue memang suka banget sama entertainment business dan entertainment world-nya Korea Selatan. Artis yang akan gue tonton nanti ini soalnya enggak ke Indonesia, jadinya gue ke sini aja buat nonton dia,” cerita gue berakhir di situ. Tapi obrolan kita belum selesai.“Lo kerjaannya apa deh?”

“Gue konsultan. Perusahaan gue yang sekarang sama beberapa teman, tapi kerjanya seringkali ya kayak weekend gitu sih. Jadi ke sini juga nanti harus kerja dari jauh,” jawab dia. “Tapi gue ke sini sebenarnya buat ngurus Visa di Embassy Myanmar di sini, katanya lagi.

Adrien mulai menceritakan detail soal masalah Visa ini dan kenapa dia nggak ngurus Visanya di Myanmar aja. Kenapa harus di Thailand? Tapi gue nggak bisa ingat detail soal itu. Yang pasti sih, dulu waktu pertama kali dia datang ke Myanmar dari Perancis, Visa kerjanya diurus sama kantor lama. Jadi dia punya Visa yang jangka waktunya lama banget. Ketika dia harus ngurus perpanjangan Visa yang sekarang, dia nggak dapat Visa yang dia mau. Jadilah sebenarnya hari itu dia bad mood banget. Ingin punya teman ngobrol buat marah-marah. Kebetulan dia melihat gue, mas-mas berkumis yang kelihatan kayak bocah pake celana pendek dan baju batik plus topi anjing yang ada telinganya, dia ajak ngobrol buat sekalian marah-marah karena Embassy Myanmar-nya rese.

“Gue tuh kan Apply buat Visa yang tahunan gitu, tapi mereka bilang mereka nggak bisa ngeluarin Visa itu di sini buat gue. Gue harus ngurus lagi ke Myanmar. Sementara pas gue ke Myanmar, mereka merekomendasikan gue untuk ngurus ke Bangkok. What the fuck. Tapi mereka lalu menawarkan gue Visa yang tiga bulan aja. Gila nggak sih? Gue tuh tadi mau marah-marah sama orang Embassy-nya tapi ya nggak bisa juga kan gue marah-marah sama dia. Maksud gue, dia bukan orang yang bikin peraturan. Jadi gue nggak tahu mau marah-marah sama siapa. Kesel banget gue! Untungnya gue ketemu lo nih sekarang kan gue jadi bisa cerita,” dia ketawa.

Sementara itu gue masih mikirin, ini serius nama lo Edwin?

“Bilang makasih lo, ke gue!” gue ketawa juga. “Trus gimana? Visanya lo dapet kan?” Soalnya kalau lo nggak dapet berarti lo harus deportasi dong, men.

“Iya dapet. Baru bisa diambil Senin. Gue juga marah-marah tuh tadi kenapa jadinya baru Senin, padahal kan gue udah ngurusin ini kayak dari kemarin. Tadinya mereka nawarin jalur ekspres gitu yang bisa diambil besok (Sabtu, obrolan ini terjadi di hari Jumat). Tapi mahal banget mereka ngasih harganya. Anjir... gue kayak harus bayar ekstra berapa ratus dolar gitu. jMales banget kan? Mending gue nunggu Senin aka. Lagian gue juga di sini masih sampai Senin. Jadi masih ada waktu lah,” katanya lagi.

Kayaknya emang mood dia lagi misuh-misuh sih. Ini memang dia yang banyak ngomong daripada gue. But it’s okay, lagian gue sangat tidak jago dalam mencari topik obrolan. Sama orang yang satu bahasa aja gue kadang susah buat nyari bahan. Ini lagi sama orang Perancis yang gue masih nggak jelas namanya beneran Edwin atau bukan.

“Tempat ini nice banget, kan?” dia melirik ke gue terus ke sekitaran ruang tamu.

“Yeah. And also cheap. Lo suka ngopi?” gue melirik ke mug putih yang dia genggam.

“Very much. Gue selalu minum kopi setiap hari. Gue nggak bisa memulai aktivitas tanpa ngopi dulu,” katanya.

“Sama dong! Kacau sih. Gue bahkan nggak akan bisa mikir kalau nggak ngopi sebelum kerja. Gue kan seringnya nulis, ide tuh nggak bisa muncul kalau nggak ngopi dulu,” gue ketawa.

“Anyway, lo balik ke Indonesia hari apa? Kalau lo nggak punya plan, mungkin kita bisa makan siang bareng besok atau lusa?”

Penawaran menarik.

“Gue balik Senin malam. Boleh sih, since lo udah sering ke sini jadi mungkin lo bisa ngajak gue ke tempat makan yang lo rekomen banget. Gue minta nomor lo, boleh? Ada WhatsApp kan?”

“WhatsApp ada,” katanya. Gue menyodorkan Jeno dan dia kemudian menulis nomornya di situ. Gue minta dia save nomornya dengan nama lengkap supaya gue tahu siapa nama dia yang sebenarnya. Dan bener aja gue meag bego dan budeg. Pas gue lihat kontaknya, dia save namanya ‘Adrien Lorne’.

EDWIN DARI HONG KONG.

Gue bener-bener harus ke THT.


Gue telepon dia ke WhatsApp. “Itu nomor gue. Mau simpen nama lengkap atau nama pendek aja? Soalnya nama gue panjang banget,” gue ketawa. Dia juga ketawa. Akhirnya dia mutusin buat save nomor gue dengan nama ‘Ron’ di hapenya.

“I eat a lot.” Adrien ngomong sambil ngeliat ke layar hape. Terus dia ketawa.

“Eh?” gue nggak ngeh maksudnya apa. Tapi ketika dia mengarahkan layar hapenya ke gue, gue baru sadar yang dia maksud itu adalah status gue di WhatsApp. “Ah, yeah, ahahahha,” gue ketawa lagi.

“Ada satu tempat makan nggak jauh dari sini, dari kemaren gue lihat rame banget. Pasti makanannya enak deh. Soalnya kalau nggak nggak mungkin kan rame sampai orang pada antre? Kita mungkin bisa ke sana besok atau lusa. Gue akan kabarin lo, ya?”

“Sure! Yaudah kalau gitu gue pergi dulu deh. Takut kesorean. Nggak tahu mau ke mana tapi gue jalan dulu aja. See you, man.”

“Yeah, see you!”

Gue beranjak dari tempat duduk dan berjalan ke lobi, pakai sepatu dan keluar dari hostel. Gue enggak tahu mau ke mana tapi ke mana pun gue pergi hari ini, gue harap gue akan menikmati perjalanannya. Gue menyusuri jalan yang sama dengan jalan ketika gue datang tadi, mampir sebentar ke Family Mart untuk beli air minum dan di situlah gue baru sadar kalau ternyata gue laper banget. Saat itu gue nggak bisa memikirkan akan makan di mana tapi satu tempat muncul di kepala gue: Siam Square.

Enggak tahu kenapa. Random aja itu tempat muncul di kepala. Gue langsung Googling caranya ke sana dan kebetulan masih satu jalur sama BTS gue di sini. Amanlah. Karena gue sudah jago (WKWKWKKW) naik BTS gue nggak perlu lagi nanya-nanya sama orang gimana caranya beli tiket dan sebagainya. Gue sampai di stasiun BTS Siam enggak terlalu lama karena memang enggak terlalu jauh. Mengikuti langkah kaki gue yang seenaknya aja pokoknya jalan. Tiba-tiba aja gue udah ada di food court dan yah, kayaknya memang badan gue lebih paham kalau mereka butuh makan. Seporsi nasi goreng sepertinya akan membuat mereka lebih baik. Gue juga butuh kopi sepertinya karena gue ngantuk banget.

Selama makan dan mengunyah gue kepikiran banyak hal. Tapi yang paling atas dari segala pikiran-pikiran itu adalah sebuah pertanyaan yang mendadak ingin gue cari jawabannya dengan membuktikannya sendiri. Pertanyaan yang nggak ada hubungannya sama perjalanan ini tapi ada hubungannya dengan orang yang gue chat sebelum gue berangkat dan bikin gue galau sampai mimpi buruk di pesawat.

“Kalau orang udah bilang nggak suka sama lo, tapi lo tetap berusaha menunjukkan perhatian lo ke dia, bisakah perasaannya berubah?”

Kadang gue benci jadi diri gue sendiri. 

-bersambung-

Bangkok Bagian 3: City Tour Si Pemalas yang Kesepian

$
0
0

Walaupun gue anaknya sangat suka menyendiri, tapi gue paling benci dengan perasaan-perasaan kesepian dan seperti nggak punya siapa-siapa di dunia ini.

Ketika menyendiri bukan berarti lo kesepian. Memilih menyendiri biasanya ada alasannya. Mungkin lo ingin berpikir. Dalam kasus gue seringkali karena gue merasa lelah harus berkomunikasi dengan orang-orang atau berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Gue pernah nonton video YouTube soal Introverted Person, hal ini wajar terjadi karena sebenarnya orang introvert itu nggak selalu 100% nggak suka bergaul. Mereka hanya kadang-kadang butuh waktu untuk re-charged tenaga mereka dengan diam dan menyendiri. Karena terlalu banyak berkomunikasi dan berinteraksi bisa melelahkan buat mereka. Itulah yang sering gue rasakan.

Perasaan-perasaan kesepian dan merasa nggak punya siapa-siapa ini totally nggak sehat karena bisa memicu perasaan-perasaan lain seperti merasa tidak berharga atau nggak diinginkan dalam pergaulan misalnya. Perasaan-perasaan seperti ini bisa berujung depresi. Ini adalah tanda-tanda depresi buat yang belum tahu. Begitu yang gue baca di Kompas beberapa minggu yang lalu. Tapi sialnya, gue sering merasa seperti itu. Perjalanan ke Bangkok itu adalah salah satunya.

You see, this should be a fun trip. ONCE AGAIN! Tapi gue terkadang nggak bisa mengatur pikiran gue sendiri. Harusnya sore itu gue menikmati kesendirian di Siam Square dengan memperhatikan orang-orang, melihat interaksi antara anak-anak dengan orangtua mereka, berdiri diam di tengah plaza hanya untuk menjadi saksi pasangan-pasangan yang sedang mabuk asmara. Biasanya gue bisa menikmati kesendirian ini dan menggali banyak sekali inspirasi dari situ. Tapi sore itu gue merasa sangat kesepian. Gue kembali menyalahkan chat itu. Chat terkutuk itu. Chat yang harusnya nggak gue kirim. Obrolan yang seharusnya tidak terjadi.


“Dia nggak suka sama lo, Ron. Jadi yaudahlah, kenapa sih harus dipikirin terus?”

Terdengar suara entah dari mana bergaung di kepala gue.

“Tapi justru karena dia udah bilang dia nggak suka sama gue makanya gue jadi kepikiran. Apakah gue nggak cukup baik? Apakah gue nggak cukup perhatian? Apakah gue nggak cukup....”

“UDAH CUKUP AH!”

Gue nyaris teriak ketika akhirnya gue sadar ada ibu-ibu yang sedang memperhatikan gue sedari tadi. Nggak memperhatikan gue sih tepatnya memperhatikan topi anjing yang gue pakai. Topi ini, sejak gue tiba di Siam Square, sudah menjadi perhatian beberapa orang. Di dalam BTS (bukan grup KPop kenamaan itu) tadi gue juga menangkap mata-mata orang sekitar gue sedang diam-diam memperhatikan topi gue. Ada yang diam-diam tertawa. Ada yang terang-terangan tertawa. Untung gue sedang ada di kota di mana nggak ada orang yang kenal sama gue. Jadinya kepercayaan diri gue nggak akan hancur hanya karena respons orang-orang terhadap apa yang gue pakai. Lagipula hari itu gue pakai batik dan warna topinya bener-bener serasi sama batik yang gue pakai. Gue sedang merasa ganteng banget. WKWKWKKWKWKW.

Tapi hati gue tidak tenang. Ini pasti karena belakangan gue jarang ngaji. Astagfirullah. Ampuni aku Ya Allah.

Siam Square jelang matahari terbenam mulai ramai karena ternyata di salah satu sudut plaza itu nanti malam mau ada acara. Ada panggung yang cukup besar dengan poster artis Thailand yang sepertinya terkenal banget. Karena kalau nggak terkenal, nggak mungkin banyak sekali anak-anak SMA berseragam menunggu di sana dan duduk santai di depan pagar jauh sebelum acaranya di mulai. Sedikit ingat sama kelakuan gue waktu mulai menggemari Kpop. Untungnya gue nggak ikut-ikutan beberapa teman yang sedang menggandrungi artis Thailand juga. Kalau iya, gue pasti sudah duduk di depan pagar juga sore itu. Artis Thailand yang gue tahu paling cuma Baifern. Sama Tata Young, kalau dia masih eksis. LOL. Tua banget anjir gue. Di sisi lain Siam Square sedang ada Light Festival. Tapi karena ini masih sore lampu-lampunya belum dinyalain.

Gue masih nggak tahu harus ke mana habis ini. Gue nggak ada ide. Gue memikirkan tempat-tempat potensial yang bisa gue kunjungi jelang malam ini dan Asiatique Riverfront keluar di urutan pertama. Dari foto-foto yang gue lihat di Google, tempat ini bagus buat hunting foto malam hari. Ada banyak lampu-lampu yang pastinya akan bikin fotonya makin meriah. Bolehlah kaki ini melangkah ke situ beberapa saat lagi. Sementara itu, gue menggenggam Cameron dan sesekali memotret random orang-orang yang ada di sekitar Siam Square. Ada satu keluarga bule sedang main-mainin air mancur yang menarik perhatian gue. Anak kecilnya lucu banget jadi gue tungguin sampai ada momen gue bisa motret mereka. Gak terlalu bagus sih hasilnya tapi cukup membuat gue puas. 


Karena itu hari Jumat mungkin ya, jadi semua orang berasa tumpah ruah ke lokasi itu. Mungkin juga karena ada panggung artis. Orang-orang lokal kelihatan ingin menghabiskan waktu mereka menikmati akhir pekan dengan sedikit hiburan. Gue jadi ingat obrolan gue sama Adrien di meja ruang tamu hostel tadi. Dia bilang, di Myanmar cukup susah untuk mencari hiburan kayak konser musik atau bahkan nonton film. Banyak expat kayak dia dan orang-orang lokal memilih buat pergi ke Bangkok untuk sekedar hiburan. Mungkin beberapa bule yang gue temui di sini juga terbang dari Myanmar untuk sekedar menikmati mall. Yang gue perhatiin sepanjang perjalanan dengan BTS hari ini, ada banyak sekali mall di Bangkok. Nggak jauh beda sama Jakarta. Gue jadi inget waktu dulu Mataram masih belum punya mall dan belum punya bioskop. Orang-orang yang doyan shopping cuma punya sedikit pilihan. Orang-orang yang doyan nonton cuma punya pilihan beli VCD/DVD bajakan. Orang-orang kayak gue, yang suka banget Harry Potter dari zaman SD susah banget buat nemu majalah Cinemags atau Tabloid Fantasi. Tinggal di kawasan agak “terbelakang” soal entertainment memang kadang-kadang nggak menyenangkan. Tapi di masa-masa itu, hiburan lain kayak pantai misalnya, jadi favorit sih. Walaupun ya nggak setiap hari juga ku lari ke pantai kemudian berteriak. Setelah punya SIM dan naik motor, gue kadang-kadang random ke pantai sendirian.

Well, Ron selalu suka kesendirian. Tapi nggak suka merasa kesepian.

Makin lama gue berdiri di tengah-tengah keramaian itu gue merasa makin sepi dan gue merasa nggak sehat buat mental gue. Akhirnya gue memutuskan untuk masuk ke mall aja buat lihat-lihat. Tapi sialnya itu keputusan yang salah. Selain mall itu gede banget dan gue kesasar nggak bisa menemukan jalan keluar yang sama dengan jalan masuk gue tadi, gue juga kedinginan karena ternyata di dalam mall-nya nggak seramai di luar. Batik yang gue pakai hari itu bener-bener tipis dan nggak membantu memberikan kehangatan sama sekali. Gue nggak bawa jaket karena gue nggak bawa ransel. Gue pakai celana pendek juga ya salam komplit sekali deh itu penderitaan. Di tengah perjalanan gue mencari pintu keluar, sialnya lagi gue melewati store Converse dan OH MY GOD SEPATU KUNING YANG GUE INGINKAN ITU ADA DI SANA.

“MATILAH GUE.”

Gue ngomong kenceng banget. Gue yang tadinya mau nyari pintu keluar malah berbelok masuk ke store Converse itu dan tangan gue otomatis meraih sepatu kuning yang selama ini gue impi-impikan. Terima kasih untuk Zhang Yixing karena sudah jadi brand ambassador Converse Asia sekaligus membuat gue ngiler dengan sepatu kuning yang dia pakai di salah satu foto di Instagram Converse itu. Kalau bukan karena Yixing, kalau bukan karena Yixing adalah member EXO, mungkin gue nggak akan tertarik dengan warna kuning. Dan kalau bukan karena patah hati mungkin gue juga nggak akan berniat mengganti warna kesukaan.


Sejak ditolak sama orang itu gue jadi suka banget kuning. Dulu, setiap kali gue masuk ke store kayak H&M atau Pull&Bear gitu, gue akan gemeter kalau melihat warna merah. Gue pasti akan langsung tertarik untuk membeli apapun yang warnanya merah darah gitu. Ada perasaan meletup-letup seperti popcorn dalam hati gue setiap kali melihat apapun yang warnanya merah. Dan lo pasti udah tahu bagaimana perjuangan gue buat mencari Converse merah di Jakarta, Tangerang, sampai Bekasi dalam satu posting-an blog gue beberapa waktu yang lalu (baca di sini). Tapi sekarang merah udah nggak lagi appealing buat gue. Merah hanya mengingatkan gue pada penolakan-penolakan yang gue rasakan. Meski penolakan-penolakan itu hanyalah sebagian kecil dari hal yang gue rasakan dan pengalaman yang gue alami selama menggunakan si sepatu merah.

Tapi sekarang gue sangat mencintai kuning. Sepatu kuning itu sudah di tangan gue dan mata gue sudah berbinar-binar melihatnya. Spontan gue melihat ke sepatu merah gue dan tersenyum mengejek. Gue bawa sepatu itu ke sofa pendek tempat duduk ornag-orang yang berniat untuk mencobanya. Kebetulan ukuran yang dipajang itu sama dengan ukuran yang gue pake. Dan pas gue cobain sepatunya, gue merasa seperti Cinderella waktu dipakaikan sepatu kaca oleh hulubalang raja. WAKAKAKAKKAAKKA. BANGSAT LEBAY BANGET RON. Gue merasa bahagia banget walaupun sebenarnya gue sangat ragu karena kalau gue beli sepatu itu berarti gue akan makan tanah kuburan bulan depan. Sepatu ini lumayan mahal dan jauh dari budget sepatu yang sekarang gue tetapkan untuk diri gue sendiri. Tapi sepatu ini sudah gue impi-impikan banget sejak lama. Terlebih lagi karena sepatu ini nggak ada di Jakarta.

Setan-setan mulai berbisik untuk boros dan menggesek kartu kredit. Sementara Ron yang pikirannya masih bercabang antara chat bangsat itu, kemana harus pergi abis ini, di mana pintu keluar mall, kenapa mall ini dingin banget sih anjir, sekarang ditambah lagi dengan pikiran-pikiran tentang sepatu.

“Lo kan masih mau jalan nih hari ini. Gausah beli dulu. Nanti repot bawa-bawanya. Mending belinya besok aja pas udah mau pulang. Siapa tahu lo lupa. Siapa tahu lo berubah pikiran. Jadi nggak boros deh.”

Ada suara-suara lagi yang berbisik di telinga gue. TBH gue ngomong sendiri sih itu kenceng banget sampai ada orang yang lagi nyobain sepatu di sebelah gue mutusin buat pindah kursi akhirnya. Tapi gue mengikuti saran bisikan itu dan melepas sepatu Yixing yang indah banget itu, meletakkannya lagi ke rak, dan keluar dari store Converse tersebut untuk mencari pintu keluar dari mall ini dan melanjutkan perjalanan ke Asiatique.

Gue mungkin memang cuma butuh ketenangan pikirannya aja hari itu. Karena setelah memejamkan mata sejenak dan berpikir positif kalau gue akan menemukan jalan keluar dari mall dingin ini, gue benar-benar menemukannya. Di tengah perjalanan itu gue juga menemukan pameran seni karya Yayoi Kusama yang bisa dimasuki gratis. Di saat seperti ini gue agak sedih aja karena pergi sendirian. Soalnya nggak bisa minta tolong foto-foto estetik gitu di depan karya seninya. Yayoi Kusama kan selalu punya karya-karya yang Instagramable. Kalau gue minta tolong fotoin sama orang yang juga datang ke situ gue nggak enak. Soal foto gue anaknya sangat perfeksionis. Kalau jelek nanti gue suruh mereka ulang terus sampai fotonya bagus. WKWKWKWKKW. Temen-temen gue pasti sudah merasakan sifat menyebalkan gue ini di satu titik. Untungnya mereka masih mau temenan sama gue.


Matahari nyaris tenggelam. Gue sudah menemukan jalan keluar dari mall itu dan sekarang sudah ada di stasiun BTS. Kebodohan yang gue lakukan sore itu adalah salah melihat arahan Google Maps-nya. Seharusnya ada BTS yang mengarah langsung ke stasiun terdekat dari Asiatique, tapi gue malah melihat petunjuk yang menggunakan bus. Alhasil gue nunggu bus ada kali setengah jam di pinggir jalan di kawasan Silom. Gue pernah dengar soal tempat ini dari beberapa teman dan katanya ini adalah kawasan LGBTQ paling populer di Bangkok. Ada banyak gang-gang dengan bar-bar dan tempat makan LGBTQ friendly di sini, kata mereka. Gue jadi ingat waktu ke Seoul buat Asian Cultural Young Leaders’ Camp 2017, beberapa teman yang datang (cewek-cewek) sempat membahas soal club atau gay bar di Seoul.

“Menurut gue dari sudut pandang cewek, gue lebih merasa nyaman datang ke situ karena orang-orangnya ramah,” kata salah satu teman dari Mongolia.

“Ya, bener banget! Dibandingkan dengan ‘straight club’, di situ lebih chill,” timpal teman dari Australia.

Pikiran itu selewat aja di kepala gue sampai akhirnya bus yang gue tunggu datang dan gue naik; beruntung dapat duduk karena sudah ngantuk banget.

Macetnya Bangkok di hari Jumat nggak kalah sama macetnya Jakarta. Gue jadi inget jaman-jaman masih jadi wartawan dan masih rutin naik MetroMini 75 jurusan Pasar Minggu – Blok M waktu naik bus itu. Agak ngeri membayangkan diri gue naik MetroMini 75 lagi karena waktu itu pernah pas zaman-zaman jalan layang jalur busway di Tendean masih dibangun, Blok M ke Warung Buncit bisa 3 jam sendiri saking macetnya.

Gue nggak tahu berapa lama perjalanan dari Silom ke Asiatique karena jujur aja, segera setelah gue naik ke bus itu dan bayar ongkosnya, gue langsung ketiduran dengan posisi kamera di pangkuan. Waktu gue cerita ke salah satu temen gue di DM Instagram dia langsung marah-marah. “LO GILA YA NANTI LO BISA DIJAMBRET!” Tapi Allah memang Maha Baik deh. Gue diselamatkan sampai di Asiatique Riverfront. Gue terbangun persis ketika bus itu berhenti di seberang lokasi yang gue tuju. Bener-bener kalau nggak bangun, gue akan sangat kebingungan deh itu. Karena itu aja udah turun di tempat yang benar, karena baru bangun tidur, jadi bingung harus melangkah ke mana.

“I-jjogeul-eulo geol-eo juseyo!”

Gue yang tadi ngantuk banget tiba-tiba melek. Mendadak seger mendengar suara laki-laki yang bicara Bahasa Korea. Suara itu terdengar jelas oleh kuping sebelah kiri gue jadi otomatis gue noleh ke kiri dan melihat bapak-bapak berbadan tegap tinggi pakai topi hitam dan baju kaos hitam juga, sedang berusaha mengarahkan beberapa orang Korea (kebanyakan lansia) untuk menyebrang jalan. Kebetulan gue yang belum sadar 100% tadi juga sedang mencari lewat mana sih menyebrang jalan menuju ke Asiatique Riverfront ini? Orang-orang Korea ini menyelamatkan gue karena gue bisa ngekor mereka. Setelah sampai di bagian depan Asiatique Riverfront, perasaan familiar mendadak muncul. Semacam gue pernah ke sini tapi nggak pernah. Atau semacam gue pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya?

OH SHIT. THAT LONELINESS FEELING AGAIN.


Loneliness is always looking for a friend;
It found me once and it has been around since then...
Loneliness knows everything I keep inside;
My endless thought in the silence of the night...

Mungkin karena gue sudah lapar. Tapi di tempat dengan banyak sekali jenis makanan seperti ini malah bikin gue bingung dan pada akhirnya laparnya hilang. Yaudah, malam itu, dengan kondisi kesadaran yang masih belum 100% bahkan ketika gue sudah sepuluh atau lima belas menit ada di Asiatique Riverfront, gue pun berkeliling tempat yang penuh cahaya itu. Sedikit banyak tempat ini mengingatkan gue pada Myeongdong. Gue nggak ada niatan buat belanja sama sekali karena pasti di sini mahal-mahal semua. Ketika gue memperhatikan menu-menu makanan yang ada di gerai-gerai penjual makanan, semuanya di luar budget gue banget. Bisa-bisa besok gue beneran cuma makan sarapan sereal di hostel doang kalau gini ceritanya. Kunjungan itu berakhir hanya dengan foto-foto saja akhirnya. Foto-foto orang yang ada di sekitar sana. Foto-foto patung karakter One Piece yang kalau fans pasti akan seneng banget sih tapi karena gue sukanya Sailor Moon jadi gue biasa aja. Ya satu dua selfie cukuplah sebelum cabut dari situ. Rasanya perjalanan malam ini nggak terlalu bisa gue nikmati. Sekali lagi gue kadang benci diri gue sendiri kalau udah kayak gini.


Sudah hampir jam sembilan malam jadi memang sepertinya sudah harus pulang ke hostel. Harusnya gue nggak memaksakan diri juga buat jalan hari ini setelah mimpi buruk di pesawat itu. Seharusnya gue istirahat aja di hostel sampai benar-benar fit dan besok baru mulai perjalanan buat city tour-nya. Gue merasa ini adalah city tour paling mager gue sepanjang pengalaman gue jalan sendiri. Waktu di New York gue nggak semager ini. Gue excited banget bahkan sampai bangun subuh-subuh cuma buat menikmati jalan sendirian dari satu blok ke blok lain. Cuek bebek sama penerbangan nyaris 24 jam dari Jakarta – Doha – New York. Sekarang kok rasanya gue cepet banget capek sih? Apakah ini karena faktor usia? WKWKWKWKKWKWKW. Di saat seperti ini biasanya gue selalu mencari sesuatu untuk disalahkan. Dan malam itu yang harus disalahkan atas semuanya adalah orang yang gue chat kemarin.

#TETEP

#HARUS_ADA_YANG_DISALAHKAN

#MANUSIA

Gue naik bus ke arah sebaliknya untuk turun di stasiun Phrom Phong dan dari situ nanti lanjut BTS ke stasiun dekat hostel. Ada momen gue bengong cukup lama setelah turun di pinggir jalan. Memperhatikan keramaian. Melihat mobil lalu-lalang. Melihat bus yang barusan gue tumpangi pergi menjauh.

(YA ALLAH SEMOGA NGGAK ADA JAMBRET AJA SIH)


Kenapa gue bisa sesuka itu sama orang ini sampai-sampai gue kepikiran terus?

Kenapa gue bisa sesuka itu sama orang ini sampai-sampai gue jadi nggak konsen ngapa-ngapain?

Kenapa setelah sekian lama gue nggak bisa juga lupa?

Kenapa harus dia sih?

Kenapa harus sekarang dipikirin kan lagi jalan-jalan?

Gue menarik napas panjang lalu melanjutkan perjalanan ke stasiun SkyTrain. Pikiran gue kembali melankolis.

Other girls will come along, they always do;
But what’s the point when all I want is you?
---
“Kenapa sih harus gue?”

“Ya memangnya kenapa kalau lo? Kalau gue maunya lo, ya kenapa nggak?”

“Tapi kan banyak orang lain yang lebih baik dari gue.”

“Tapi gue maunya lo dan gue nggak mau orang lain.”

“Tapi gue nggak suka sama lo. Gue sukanya sama orang lain. Daripada lo terus mikirin gue kan lebih baik lo sama orang lain.”

“Gak ada yang bisa gantiin lo.”

“Pasti ada!”

“Nggak ada.”

“Pasti ada. Pasti banyak orang di luar sana yang tertarik sama lo. Gue harap lo bisa dapet....”

“Udah nggak usah dilanjutin. Cukup sampai di situ aja. Seperti gue nggak bisa memaksa lo buat suka sama gue, walaupun gue sudah berusaha sekeras mungkin, lo juga nggak bisa memaksa gue untuk nyari orang lain. Sori...”
---

Cause I want it all or nothing at all;
There’s nowhere left to fall when you reach the bottom it’s now or never
Is it all? Or are we just friends?
Is this how it ends with a simple telephone call you leave me here with nothing at all?
 
Bangsat memang.

Gue makin benci diri gue sendiri hari itu.

Kebencian gue itu semakin menjadi-jadi setelah gue tahu gue salah naik kereta. Harusnya setelah eskalator tadi gue pindah jalur, bukannya lurus aja dan naik kereta yang baru sampai itu.

“Ah taik.”

-bersambung-
 
 

Bangkok Bagian 4: Akhirnya Lihat IU di Konser 'dlwlrma' Tour!

$
0
0

Gue selalu membayangkan seperti apa nonton konser di Bangkok. Kata temen-temen gue yang sudah sunbaenim untuk urusan konser-konser Kpop di Bangkok, kota ini adalah salah satu yang paling seru dan heboh. Yang gue lihat dari fancam-fancam dari dulu juga kayak gitu. Selalu ada sesuatu yang seru dan kadang bikin iri soal konser Kpop di Bangkok. Gue sendiri nggak pernah nonton EXO di sini. Atau grup apapun. Karena saking serunya konser di Bangkok, seringkali tiketnya juga susah didapatkan kalau dibandingkan dengan tiket di Malaysia dan Singapura. Tapi ini sebenarnya asumsi gue doang karena gue sendiri belum pernah mencoba ticketing online untuk konser di Bangkok. Tapi pas di Malaysia dan Singapura, gue pernah beli tiket EXO dan gue dapat. Makanya gue bilang ticketing di dua negara itu nggak terlalu susah. Malah kata gue lebih convenient daripada sistem ticketing di Indonesia yang servernya selalu lemah. Benci banget sih sama ticketing Westlife kemarin. Sucks abis.

Ketika akhirnya gue dapat kesempatan nonton konser di Thailand, gue pun nggak sabar untuk berada di antara penonton yang katanya seru itu. Penonton yang katanya heboh itu. Gue nggak sabar mau teriak dan seru-seruan sama mereka meski gue nggak kenal mereka. Gue nggak sabar mau menggila dengan baju Pikachu yang sudah gue bawa dari Jakarta ini.

Ya, tapi, itu hanya imajinasi gue. Karena ternyata penonton yang ada di sekitar gue sama sekali nggak seru. Diem semua kayak lagi dengerin ceramah ustad di pengajian. Nggak ada yang nyanyi sama sekali bahkan ketika IU lagi nyanyi lagu paling populer yang pernah dia rilis.

APA APAAN INI?! 


Hari kedua di Bangkok, hari Sabtu, bisa dikatakan sangat membosankan. Gue bener-bener nggak ada mood buat ngapa-ngapain hari itu jadi gue habiskan sepanjang hari hanya untuk muter-muter di Platinum Mall buat nyari oleh-oleh buat orang rumah. Walaupun orang-orang di rumah bukan tipe orang yang komplain soal oleh-oleh, tapi kali ini gue sudah niat buat membelikan mereka paling nggak satu item dari Thailand sebagai cenderamata. Hitung-hitung bayar utang karena beberapa kali gue ke Korea, gue nggak pernah beli apa-apa buat mereka. Hihihi... Ada kali empat atau lima jam gue muter-muter nyari baju anak-anak di Platinum buat tiga ponakan gue. Dua di antaranya masih umur dua/tiga tahun gitu sementara satu yang paling tua udah mau naik kelas tiga SD. Yang agak susah sebenarnya nyariin item buat si ponakan yang paling tua ini. Karena dia bukan tipe anak kecil pesolek gitu, tapi sudah pake jilbab, jadi gue nggak mungkin beliin baju-baju gemes dan lucu kayak anak-anak seusianya. Paling banter cuma bisa beliin jaket dan itupun susahnya.... Mungkin karena Platinum terlalu banyak pilihan, jadi gue yang labil ini suka kesulitan buat milih. Tapi gue dapat baju gambar semangka sebagai dedikasi gue untuk Irene. Lumayan lah.

Setelah belanja dan makan tomyum rekomendasi teman gue di Platinum, gue lanjut hari itu dengan jalan kaki ke Siam Paragon yang ternyata nggak terlalu jauh dari Platinum. Sekitar 2 km doang. Di situlah secara tidak sengaja gue melewati Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Thailand yang ada di Bangkok. Awalnya gue nggak ngeh kalau nggak ngeliat ada tiga orang sedang berdiri di depan tulisan Embassy dan foto-foto di sana. Yang bikin gue ngeh juga adalah karena ibu-ibunya berjilbab dan mereka bertiga pakai baju batik.

Gue juga mau foto!

Jiwa pelancong gue mendadak menggebu-gebu. Gue memberanikan diri buat menyapa tiga orang itu dan minta tolong buat difotoin. Sekaligus gue juga butuh update di Instagram karena hari itu baju yang gue pake adalah baju ‘EXO; quintuple million seller’ yang sempat gue buka PO dan baru jadi beberapa hari sebelum gue berangkat ke Bangkok. WKWKWKWK MAU PAMER CERITANYA. Untung banget orangnya ramah dan dia juga sempat bilang kalau hari itu dia sekeluarga ada acara di Embassy. Seperti pameran seni resmi dari kedutaan gitu. Dia juga bilang kalau dia kerja di Kementerian Agama di Jakarta. Mana tahu dia sebenarnya bapak Menteri Agama? Apa sih yang gue tahu tentang pejabat-pejabat negara gue sendiri? Gue anaknya pemalas. Mending ngapalin nama-nama member NCT yang banyak banget itu. Gue yang hari itu niatnya cuma belanja doang akhirnya punya foto sebadan-badan untuk pertama kalinya dalam 48 jam terakhir setelah perjalanan ini dimulai! Betapa bahagianya gue. Terima kasih bapak-bapak Kementerian Agama RI! Jasamu tidak akan aku lupakan meski aku tidak mengenalmu, pak. Semoga bapak selalu ingat dengan anak alay dengan topi anjing yang minta tolong difotoin waktu bapak berkunjung ke Bangkok.


Karena gue merasa nggak punya banyak waktu lagi di Bangkok, since pastinya hari Minggu nanti gue akan selesai malam banget dan Senin mungkin gue nggak akan punya banyak waktu juga buat belanja lagi, akhirnya hari itu gue mengumpulkan nyali untuk kembali ke store Converse di Siam Paragon dan membeli sepatu kuning itu. Nggak butuh babibu sama sekali karena gue memang harus cepat-cepat pulang ke hostel. Gue mau tidur cepat supaya besok bisa seger dan kuat buat nonton konser. Gue berusaha mengingat-ingat di mana lokasi store Converse yang kemarin gue datangi secara tidak sengaja itu. Setelah ketemu, gue langsung ambil sepatunya, minta ukuran yang sesuai dengan ukuran sepatu Converse merah yang sedang gue pakai, dan langsung nyerahin kartu kredit.

ZAP! ZAP! ZAP!

Secepat itu uang Rp 1,3 juta melayang buat sepatu.

Baru kali ini gue beli sepatu semahal itu.

Gue mengelus dada pelan-pelan. Inilah yang dinamakan dengan pemborosan yang membuat bahagia. Ada perasaan menyesal tapi di saat yang sama juga ada perasaan bahagia yang aneh gitu. Campur aduk deh! Maklum, gue jarang banget belanja barang mahal buat “fashion” gini. Makanya jadi agak-agak kepikiran. Padahal kan barangnya udah dipengenin sejak lama ya? Harusnya mah nggak usah berlebihan.

“Dasar kau perhitungan sama diri sendiri, Ron!”

Perasaan yang persis sama setiap kali masukin nomor kartu kredit ke situs ticketing konser. Apalagi kalau konser di luar negeri. Sudah bisa membayangkan bulan depan nggak akan bisa terlalu banyak nongkrong atau nyemil-nyemil fancy karena harus berhemat untuk bayar tagihan kartu kredit. Ya tapi yang bulan depan dipikirinnya bulan depan ajalah ya. Masih ada dua hari lagi di Bangkok dan tujuan utamanya juga belum kesampaian ini.

Sekarang di tangan gue sudah ada banyak sekali kantong belanjaan. Hari masih sore dan matahari masih terang-benderang. Tapi gue sudah nggak punya tujuan buat ke mana-mana lagi. Mungkin nanti malam? Tapi entah kalau mood. Sumpah ini adalah perjalanan paling nggak jelas deh. Jadi yaudah, mending pulang ke hostel dan tidur. Atau mungkin nanti ketemu Adrien dan dia lebih tahu mau ke mana?

Gue jadi ingat obrolan kemaren yang dia bilang mau ngajakin makan siang. Tapi sampai selesai makan siang hari ini, dia nggak ngabarin gue. Mungkin dia juga lagi jalan sama temennya atau mungkin lagi ngurusin Visa? Tapi hari Sabtu gini? Memangnya Embassy buka? Nggak tahu juga. Ya gue juga nggak harus tahu kan dia ngapain. HAHAHAHA. Mungkin saking gue nggak punya rencana mau ke mana-mana, jadi gue nungguin kenapa ini orang nggak ngabarin deh. Anjir gue merasa minta diajak banget. Eh tapi akhirnya dia WhatsApp juga. Besokannya.

Malam itu gue tidur sangat lelap. Ternyata yang gue butuhkan bukan jalan-jalan. Ternyata yang gue butuhkan hanya tidur yang lama dan nyenyak. Soalnya, hari Minggu pagi gue bangun gue sama sekali nggak mikirin apapun lagi soal chat itu. AKHIRNYA SETELAH BERHARI-HARI YA, BANGSAT KAU OTAK. Gue meraba-raba dinding kubikel tempat tidur gue untuk mencari stop kontak lampu. Agak panik karena rasanya gue tidur kayak lama banget takut ini udah siang banget. Buru-buru nyari Jeno dan lihat jam, ternyata masih pagi buta. Masih bisa salat subuh dulu karena gue yakin orang-orang juga masih tidur. Semalam gue seperti mendengar ada suara gradak-gruduk gitu di kasur di atas gue. Sepertinya baru ada yang check in. Semoga dia nggak bangun terlalu pagi dan semoga orang-orang ini tetap terlelap sampai gue selesai salat subuh. Soalnya memang ruang kosong di antara kubikel-kubikel itu sempit banget. Apalagi kalau pintunya mendadak dibuka sama orang pasti deh kejedug pas lagi duduk tahiyat atau pas lagi berdiri baca Al Fatihah. Untungnya pagi ini lancar.

“Gue penasaran, gimana perasaan lo setelah berada di Bangkok selama beberapa jam,” dia pakai emoji titik dua buka kurung; emoji yang kalau sama teman-teman satu lingkaran gue selalu diidentikkan dengan senyum fake. “Kita bisa makan siang hari ini kalau lo mau,” kata Adrien dalam WhatsApp-nya.

Hell yeah, gue mau lah since gue juga nggak ada plan apa-apa. Konser IU dimulai agak malam. Habis salat maghrib. Gue sendiri nggak tahu butuh berapa jam perjalanan dari tempat gue ini ke IMPACT Arena karena kalau kata masyarakat keypap sekitar, lokasi ini jauh dari mana-mana. Ya kayak ICE BSD-nya gitulah. Gue sendiri sebenarnya sudah sempat browsing-browsing soal bagaimana menuju ke IMPACT Arena ini. Tapi karena ini adalah pengalaman pertama, gue nggak mau yang terlalu take it for granted informasi itu, gitu lho. Kalaupun internet bilang kalau ada shuttle bus dari titik A menuju ke IMPACT Arena, gue selalu mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk kayak macet, atau misalnya tiba-tiba gak ada hujan nggak ada angin hanya karena Ron sedang sial saja, shuttle bus-nya nggak ada sama sekali. Semacam itulah pokoknya. Tapi kalau perhitungan gue nggak meleset, gue masih bisa jalan setelah makan siang dan masih bisa sampai di IMPACT Arena sekitar jam empat sore kira-kira.

“Brunch at 12?” gue balas chat itu dengan mata agak kriyep-kriyep. Gue mendadak kepikiran sama dua artikel freelance yang belum gue kerjain. Mata gue langsung melek dan terbangun. Langsung ambil laptop dan ngebuka meja lipat yang ada di dinding kubikel.

“Perfect!” jawab Adrien. Satu setengah jam kemudian. Gue mulai curiga ini orang semaleman kayaknya party di mana gitu dan belum sober. Dua artikel gue sudah selesai ketika dia balas chat gue itu.

“Yay! Kita mau ke mana? Kalau makan di dekat Chatucak gimana? Soalnya gue mau naik bus dari situ nanti ke lokasi konsernya,” kata gue.

“Hmm... Gue sih nggak rekomendasikan di situ. Soalnya gue pernah beberapa kali di sana dan nggak enak. Hahaha,” katanya.

“Oh gitu? WKWKWK. Yaudah ke mana aja deh. Yang penting gue bisa makan yang nggak ada babinya ya!”


“Ada tempat makan murah ala Thailand gitu kok dekat sini, sekitar tiga menit jalan kaki dari hostel. Ke sana aja gimana? Nanti setelah itu gue juga mau ke arah Chatucak jadi kita bisa jalan bareng lagi setelah itu,” katanya. Gue lupa-lupa inget dia kemaren pernah ngasih tahu tempat itu kayaknya deh.

“Great. Let’s go!” balas gue.

“Jam 11:30 kita ketemu di depan resepsionis ya. Butuh ngopi dan mandi dulu nih,” katanya.

“Ya, take your time!”
balas gue. Dalam hati lanjut nyanyi “Waneji dugundaero bamiya~ nananana~ nananana~”

Tulisan depan kamar hostel gue bener-bener ya menyindir gue banget.

Karena semua pekerjaan sampingan sudah selesai juga, gue pun siap-siap keluar kamar dan ke kamar mandi. Pakai baju EXO Overdose merah yang sudah gue siapkan untuk hari ini, pakai sepatu merah yang juga sudah paketan sama bajunya. Pakai kaos kaki baru yang gue beli di Platinum kemaren warna putih dan gue suka banget. Pakai celana pendek abu-abu yang gue beli belum lama ini di Jakarta. Nggak lupa juga gue nyiapin segala perlengkapan kayak powerbank dan perkabelan buat kehidupan Jeno selama di sana. Gue nggak bawa ransel hari itu tapi gue bawa satu tas selempang yang gue isi dengan kostum Pikachu yang juga sudah tersimpan begitu lama belum pernah dipakai lagi. Gue agak deg-degan sih mau pakai kostum ini. Takut diusir. Benda-benda penting kayak dompet dan powerbank gue taruh di shoulder bag Visval warna kuning yang gue beli beberapa minggu lalu.

Ketika gue turun ke depan resepsionis, Adrien sudah nunggu di sana dengan secangkir kopi yang masih panas. Uapnya keliatan dan aromanya udah kecium. Aduh gue juga harusnya bikin kopi! Anyway soal Adrien, gue dari kemarin nebak-nebak usia dia berapa dan agak yakin sebenarnya dia nggak jauh lebih tua dari gue. Mungkin malah lebih muda dua atau tiga tahun. Tapi karena badannya bongsor dan jauh lebih besar dari gue, gue jadi merasa dia kayak abang-abang aja gitu. Hari itu di pakai celana pendek dan baju kaos putih dengan kaca mata hitam yang tetap diselipkan di leher bajunya.

“Good morning!” sapa gue.

“Hey, morning!” katanya.

Gue duduk di kursi kosong di sebelah Adrien dan dia langsung nunjukin foto-foto yang baru dia cetak. Foto-foto dari kamera monolog yang dia punya.

“Ini baru gue cetak. Bagus-bagus hasilnya. Ini foto-foto dari perjalanan di Myanmar beberapa bulan lalu. Dari kamera monolog lama gue. Ya nggak se-fancy kamera lo lah,” dia merujuk ke Cameron, kamera Fujifilm XA-3 warna pink yang dia lihat gue bawa ketika kita pertama kali ngobrol kemarin. “Tapi oke banget deh hasilnya,” kata dia. Adrien mulai menjelaskan satu per satu foto-foto itu dan sesekali komplain soal posisi foto yang dimasukkan terbalik ke dalam album khas cetak foto zaman dulu itu. “Di Myanmar kalau cetak foto kayak gini mahal, makanya gue selalu nyempetin waktu ke cetak foto di Bangkok karena ongkosnya jauh lebih murah,” katanya.

“Enggak tahu deh gue kapan terakhir ngeliat ginian,” kata gue sambil ketawa.

“Lo tahu nggak? Gue baru menyadari sesuatu yang selama ini sering gue denger tapi baru ngeh artinya apa!” kata dia. Ekspresinya agak malu-malu tapi bangga gitu. Dia senyum lama banget dan memamerkan deretan giginya yang rapi dan kecil-kecil.

“Apa?” tanya gue sambil ketawa kecil.

“Waktu lo WhatsApp gue ngajakin brunch tadi? Gue baru sadar lho kalau ternyata brunch itu singkatan dari breakfast dan lunch!”
katanya bangga.

HAAAAAAAAAAAAAAAH?!?!?!?!?!?!?!?!?!?!?

HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHHA YA ALLAH GINI AMAT ORANG PERANCIS.

Pengen gue tabok tapi nggak enak takut dibilang sok akrab. Tapi akhirnya gue tabok juga dan dia malah makin ketawa kenceng, lebih kenceng dari gue.

“LO KEMANA AJA?!”

“Serius gue selama ini kirain brunch itu apa. Kok orang-orang ngomong brunch gitu gue kira kayak memang artinya ya makan siang aja gitu. Tapi ternyata gabungan breakfast sama lunch. Amazing, eh?”

“AMAZING PALALU PEYANG. KATROK. BODO AMAT MZ! Yuk jalan gue laper!”

Dia udah bawel banget ngejelasin tempat makan yang mau kita tuju ini sepanjang perjalanan eh ternyata tempat makan yang dia rekomendasikan itu belum buka. Jadilah gue sama Adrien cuma jalan mondar-mandir tanpa tujuan selama beberapa belas menit setelah kita keluar dari hostel. Gue sama sekali enggak tahu apa-apa soal daerah itu dan dia juga kayaknya bingung karena harus berpikir cepat mau makan di mana. Kita nyebrang, balik lagi, nyebrang lagi, kayak orang bingung. Sampai akhirnya ada di satu gang di daerah Sukhumvit kita belok dan dia bilang, “Are you ok with Japanese food?” dan gue bilang “I am ok with anything yang penting nggak ada babi.” Tapi gue nggak tahu juga gimana cara ngomong untuk memastikan apakah makanan itu ada babinya atau enggak ke penjualnya since gue gak yakin orang-orang Thailand ini bisa Bahasa Inggris. Kalau di Korea gue udah fasih nanya soal makanan ada babinya atau enggak. Kalau di sini paling banter gue cuma bisa bilang “Ini ada babinya nggak ka? Nggak ada ya ka? Oke ka.” Yang mereka ngerti cuma bagian ‘Ka’-nya yang bagian lain gue diludahin.

“Well ok, let me see. Let me try my Thai, but, I don’t think I can speak Thai, so let’s fine something safe for you,” dia ketawa sendiri.

Bismillah aja deh ya. Semoga Allah selalu mengampuni dosa-dosaku.

(Ada banyak obrolan seru dan cerita kocak dari Adrien di sepanjang sisa kunjungan gue di Bangkok yang akan gue tulis di bagian kelima. Sekarang loncat dulu ke IMPACT Arena! Hop! Hop! Hop!)


---


“Lo bilang lo harus ketemu orang dulu sebelum berangkat ke venue. Mau ketemu di mana?” tanya Adrien waktu kita on the way ke stasiun SkyTrain.

“Oh itu, nggak jadi. Akhirnya kita ketemu di sana. Soalnya dia lagi nemenin ibunya belanja apa gimana gitu. Gue nggak bisa nunggu dia karena gue tuh anaknya parnoan. Gue nggak pernah ke venue ini sebelumnya dan gue nggak mau datang mepet-mepet gitu. Jadi mending sekarang aja deh,” kata gue.

“Terus tiket dia?” dia nanya lagi. Wah dia perhatian juga sama omongan gue kemarin.

“Oh ternyata tiket itu bentuknya pdf gitu, jadi gue bisa kirim lewat WhatsApp,”

“Oh gitu. Yaudah, gue harus balik ke restauran yang semalam gue datengin sama temen-temen gue ini sekarang,” kata dia.

“Hah? Ngapain? Kan udah makan?”

“Bukan makan hehe, gue agak malu nyeritainnya. Hehe,”

“APAAN SIH?! HAHAHAHAHA,”

“Hehe, jadi semalem gue ketemu sama beberapa temen gue, ya kita kenalan pas jalan-jalan juga sebenarnya. Terus ngobrol dan makan malam di restauran ini dan, hehe, hape gue ketinggalan di sana, hehe,”


Gue ketawa dong. Kenceng banget. Soalnya dia juga ketawa dan malu karena kebodohannya sendiri.

“Kok bisa sih! Kan lo tadi WhatsApp gue? Itu beda hape lagi?”

“Jadi gue ada dua hape, yang itu hape yang sering gue pakai kalau lagi jalan-jalan gini. Isinya kontak temne-temen deket aja gitu,” kata dia. “Jadi gue baru sadar kalau hape gue ketinggalan pas udah sampe hostel, pas gue mau balik ke sana semalam udah tutup. Tapi gue udah telepon ke sana dan katanya hape gue disimpenin sama pegawainya. Lucky me,” kata dia lagi.

“Wah kalo di Indonesia sih itu udah ilang ahahhaha,” mohon maap.

“Ya gue juga suka heran sama keberuntugan gue. Ini makanya mau balik ke sana buat ambil,” kata dia.

Kita sudah sampai di peron ketika dia selesai cerita dan sebenarnya masih ada cerita yang lebih kocak lagi dari itu tapi gue simpen di posting-an selanjutnya aja deh. Kita pisah di peron karena ternyata tujuan kami beda arah.

“Well I see you tomorrow then. We can go to airport together,”
katanya.

“Yeah sure, see you!”


Kita pisah kayak sekitar jam setengah 2 siang. Gue belum salat zuhur jadi gue harus nyari tempat salat dulu. Pas gue cek di Google ternyata lokasinya di tengah-tengah Chatucak Weekend Market. Aduh sebenarnya gue nggak ada niatan buat ke sini karena pasti rame banget “DAN BANYAK COPET HATI-HATI!” kata temen gue. Tapi gue butuh salat dulu biar enak berangkatnya. Jadilah gue ngikutin peta dan ya seperti biasa Ron selalu bodoh kalau udah urusan Google Maps. Selalu salah melangkah. Butuh sekitar dua puluh menit sebelum akhirnya gue bisa menemukan musala itu yang benar-benar ada di tengah-tengah pasar. Kalau nggak nanya sama anak kecil yang jualan mungkin gue akan buang-buang waktu muter-muter tempat itu. Setelah salat zuhur plus asar, gue merasa masih ada waktu buat muter-muter sedikit di sana sekalian lihat-lihat. Karena gue belum ngopi, gue cari jual kopi karena haus dan juga hari itu panas banget. Ada banyak benda-benda menarik yang ingin gue beli tapi momennya nggak pas karena gue nggak mungkin bawa kantong belanjaan ke IMPACT Arena. Setelah lelah berkeringat gue akhirnya memutuskan untuk kembali ke Mo Chit Station.

Sekarang gue harus kembali fokus mencari bus menuju ke IMPACT Arena. Sejak tadi gue sama sekali lupa untuk mencari informasi ini. Gue melipir sebentar untuk Googling di samping jual Waffle yang aromanya Masya Allah enak banget. Daripada nggak fokus akhirnya gue beli aja itu Waffle dua buat bekal nanti sore kalau-kalau laper. Gue sebenarnya mau menghindari makanan-makanan sejenis ini karena seringkali makanan-makanan kayak gini akan bikin gue mules. Pernah pas konser EXO di Malaysia gue diare dan nahan boker anjir pas konser karena siangnya gue minum susu dan makan roti dari Seven Eleven. Aroma kacang dan aroma madu yang kecium di stasiun Mo Chit itu bikin gue lemah.

Akhirnya setelah Googling beberapa menit (sambil ngunyah satu Waffle yang gue beli tadi), gue menemukan arah menuju ke IMPACT Arena naik shuttle bus yang ngetem di halaman parkir besar di sebelah stasiun SkyTrain Mo Chit. Gue kira akan sulit untuk menemukan shuttle bus ini ternyata enggak. Memang sih, hari itu gue cuma tebak-tebak berhadiah aja. Gue sendiri enggak tahu pasti mereka parkirnya di mana. Tapi gue memperhatikan ada banyak mini bus semacem van gitu yang mondar-mandir di sekitaran halaman parkir itu. Beberapa ada label IMPACT Arena-nya juga. Dan pada hari itu untungnya ada banyak banget event di IMPACT Arena. Di hari konser itu ada event Miss Universe, terus ada event wisudaan, jadi kayak ada banyak orang yang menuju ke lokasi yang sama. Gue buka telinga lebar-lebar dan mendengar ada beberapa cewek yang juga mau ke IMPACT Arena dan nanya ke abang-abang yang duduk di dekat bus itu. Gue nggak babibu, tapi langsung aja gue naik setelah gue bayar 35 Baht.

Shuttle ini melayani penumpang PP dari parkiran stasiun Mo Chit itu ke IMPACT Arena mulai jam 6 pagi sampai jam 9 malam bus terakhir. Tapi gue nggak yakin kalau nanti malam gue akan bisa dapat bus ini lagi, jadi yaudah yang nanti dipikirin nanti aja. Setelah duduk nyaman di kursi paling belakang, nggak lama bus itu berangkat dan gue pun mengantuk. Sempat ketiduran beberapa puluh menit dan baru kebangun ketika bus itu sudah masuk ke area IMPACT Arena.

Jadwal Shuttle Bus dari Mo Chit Station Bangkok ke IMPACT Arena

Berdebar banget karena akhirnya hari ini tiba juga. Dalam beberapa jam lagi gue akan melihat IU! Gue turun dari bus, buru-buru menuju toilet karena kebelet, buang air sebentar, lalu bersih-bersih dan siap menuju ke venue konser untuk nukerin tiket. Ingat obrolan gue sama Adrien soal orang yang gue kirimin tiket pdf tadi? Namanya Intan dan dia terbang dari Bali buat nonton IU di Bangkok. Gue janjian sama dia tapi dia sendiri masih nggak tahu mau ke sini jam berapa.

“Nanti ramean kok kak sama temen-temen Uaena dari Indonesia juga ada beberapa orang,” katanya. Wah gue nggak kepikiran sama sekali buat nyari ramean bener-bener gue kira gue akan sendirian aja. Untung ada Intan yang juga dapat tiket dari orang yang sama dengan orang yang ngasih gue tiket itu. Kita pun janjian buat ketemu segera setelah dia sampai di lokasi.

“Gue tunggu ya Intan! Gue mau pake kostum Pikachu-nya kalau sendirian deg-degan juga jadi gue butuh teman,” kata gue dan dibalas dengan “APAAHHH KOSTUM PIKACHU DEMI APA LO?!” wkwkwkwkwkkwkw. Gue nggak tahu deh apakah dia abis ini masih mau temenan sama gue atau enggak soalnya kostum Pikachu ini memang agak malu-maluin sih. Tapi since gue ada di Bangkok dan nggak ada yang kenal juga sama gue ya kan gak terlalu masalah.

Nggak terlalu sulit untuk menemukan jalan menuju ke hall tempat konser IU karena petunjuk jalannya sangat jelas banget. Yang gue suka sebenarnya karena IMPACT Arena ini tuh kayak MEIS. Venue konsernya nyambung sama mall jadi nggak perlu takut kelaparan kalau ada event kayak gini. Dulu MEIS udah yang paling the best banget buat konser. Sekarang kalau di ICE BSD agak jauh ke AEON dulu kalau mau beli makan. Ya nggak jauh-jauh banget sih sebenarnya, tapi bukan lokasi yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki lima menit gitu. Lagipula kalau nyambung kayak MEIS/IMPACT Arena gini kan nggak perlu panas-panasan ke luar dulu.

Tipe fans heboh kayak gue, kalau pergi sendirian juga ternyata tetap bisa behave. Ya... gue akan heboh kalau ada teman di sebelah gue. Walaupun dia nggak heboh-heboh banget, nggak apa-apa. Yang penting gue ada temen. Gue jadi inget waktu BTS pertama kali ke Indonesia beberapa tahun yang lalu, gue liputan sama temen gue dan waktu mereka perform lagu ‘I Need U’ gue heboh banget dah sementara temen gue yang flat face abis.

“TEMENIN GUE HEBOH DONG DI LAGU INI!” kata gue.

“GUE GAK SUKA BTS!” kata dia.

HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA Begitulah kalau jadi wartawan ya harus liputan grup yang kita nggak suka juga kadang-kadang.

Kondisi di luar hall masih adem-ayem. Gue berusaha untuk mencari informasi tentang penukaran tiket digital ke tiket fisik. Mungkin dikasih gelang atau apa gitu. Katanya penukaran baru bisa sekitar jam setengah lima atau jam lima gitu sementara itu baru jam setengah empat atau jam empat. Ya masih ada waktu untuk nyari freebies dulu dan foto di wall of fame. Untungnya waktu gue sampe ke lokasi, orang-orang juga belum ramai jadi antrean buat di wall of fame pun nggak terlalu banyak. Serunya lagi, di Bangkok tuh ada petugas konser yang dedicated buat motoin orang-orang yang mau foto di wall of fame. Jadi orang yang nonton sendiri kayak gue gini nggak akan kebingungan minta tolong orang buat motoin.

Gue belum pernah menemukan yang seperti ini di Jakarta. Setidaknya di konser yang gue datangi.



Waktu gue berdiri di depan wall of fame itulah gue baru benar-benar dapat feel-nya. Gue baru benar-benar sadar kalau inilah momen yang gue tunggu-tunggu sejak, entah kapan. Sejak gue kenal IU. Sejak gue di-bash sama ELF karena nge-ship IU dan Eunhyuk ratusan purnama yang lalu.

Memang sih gue nggak ngikutin IU sejak dia debut, gue baru kenal dia tuh kayak pas awal-awal masuk kuliah deh di tahun 2009 gitu. Denger-denger dari temen juga dan sempat nonton cut-cut video dia di YouTube, tapi belum benar-benar kepo. Di awal-awal itu kan yang namanya orang baru kenal Kpop ya pasti akan mengklaim dirinya suka walaupun belum ngikutin sama sekali. Gue pun demikian. Gue dengerin beberapa lagu di awal karier dia kayak ‘You Know’ sama ‘Missing Child’ dan baru mulai bener-bener ngepoin banget tuh pas ‘Good Day’, seperti kebanyakan orang-orang Korea juga pasti tahunya lagu ini ya kan. Setelah itu gue nonton ‘Dream High’ dan makin suka sama dia. Gue pun mulai mendengarkan lagu-lagu di albumnya; dan ternyata memang beda ya kalo mendengarkan IU yang solo sama mendengarkan girlband gitu. Waktu konser Kpop mulai ramai masuk ke Indonesia, walaupun mustahil terjadi karena fans IU jelas nggak sebanyak fans SNSD atau Super Junior gitu, gue berharap dia akan konser di sini dan gue bisa nonton. Siapa yang menyangka, nyaris 10 tahun kemudian gue akhirnya akan bisa melihat penampilan dia live di depan mata gue, meski nggak di Indonesia.

Mungkin kenangan-kenangan lama nungguin IU konser di Jakarta itu yang bikin gue bisa tersenyum oke di foto depan wall of fame itu. Biasanya foto gue akan kelihatan awkward banget kalau difotoin sama orang yang enggak dikenal, tapi hari itu semuanya baik-baik saja dan okelah. Entah apakah ada orang-orang di situ yang ngeh kalau gue lagi pakai baju EXO. Kalau aja mereka tahu gimana gue nge-ship IU sama Baekhyun ya HAHAHAHAHAHA. Tapi gue seneng bisa pakai baju itu nggak cuma di konser EXO tapi juga akhirnya ke konser IU. I feel blessed. Alhamdulillah.




Di situ juga gue merasa bahwa ketika akhirnya kita melakukan sesuatu yang sudah kita nanti-nantikan sejak lama itu kebahagiaannya semakin luar biasa. Gue jujur aja sangat deg-degan hari itu. Selain karena gue takut melihat reaksi orang-orang ketika nanti gue sudah berubah wujud jadi Pikachu, gue juga udah nggak sabar melihat IU tampil di atas panggung. Ketidaksabaran gue itu dihajar mati-matian dengan suara-suara dari sesi rehearsal yang kedengeran sampai luar. Wah! Berarti itu dinding pembatasnya emang nggak jauh dari panggung. Memang panggungnya persis di balik dinding persis kayak di ICE BSD bangetlah pokoknya. Sambil mendengarkan sesi rehearsal itu, gue antre buat menukarkan tiket digital dengan tiket fisik berbentuk kartu kayak ATM gitu dan dicap juga sebagai tanda sudah punya tiket. Setelah itu gue berburu freebies deh. Sesuatu yang nggak pernah gue lakukan kalau gue nonton konser di Jakarta.



Intan bilang dia sudah dekat sampai dan sedang ngumpul sama anak-anak dari Indonesia yang lain. Hari semakin sore dan gue rasa sudah waktunya untuk siap-siap salat maghrib juga. Yang gue baca-baca di salah satu hall di IMPACT Arena ini ada musala. Jadi mending segera nyari sekarang kalau-kalau susah ditemukan jadi nanti nggak telat masuk ke konsernya. Ya sebenarnya masuk tepat waktu juga nggak masalah sih karena kan nggak akan berebut tempat. Semuanya numbered seating soalnya. Karena lokasi musalanya di luar gedung tempat gue sekarang itu, persisnya di seberang, gue pun jalan ke sana. Di luar rame banget orang baru bubaran acara wisuda. Gue agak bingung setelah masuk ke gedung tempat musala itu karena ternyata bentuknya kayak hotel dengan banyak lorong gitu. Beruntung pas gue lagi kebingungan, gue papasan sama beberapa perempuan berhijab yang ternyata enggak terlalu jago Bahasa Inggris. Tapi dia ngerti pertanyaan gue ketika gue memeragakan gerakan salat.

“Prayer room, pray,” kata gue. Salah satu dari mereka langsung yang “Ah!” gitu terus ngomong ke temennya. Temennya diminta ngejelasin ke gue arahnya ke mana dan gue harus ke mana. Tapi karena mereka sendiri bingung untuk ngasih petunjuknya, akhirnya salah satu dari mereka bilang, “Follow me!” gitu.

HIHIHIHIHIHI... MAKASIH YA UKHTI.

Petunjuk arah tempat sholat/prayer room di IMPACT Arena Bangkok.

Dia nganterin gue sampai di depan ruangan musala dan kemudian pamit buat pergi. Gue bilang makasih berkali-kali sampai dia nggak kelihatan lagi dari pandangan. Musala di situ luas banget dan pas gue sampai masih kosong gitu. Karena memang belum waktunya salat kali ya? Gue buru-buru wudhu dan nunggu waktu maghrib menurut Google. Setelah masuk waktu langsung salat dan buru-buru balik ke depan hall konser. Udah tinggal beberapa puluh menit lagi dan itulah saat-saat paling mendebarkan: gue harus ganti kostum pake kostum Pikachu.

Oke, oke, sebenarnya enggak ada kewajiban tapi gue harus ganti pake Pikachu. Udah gue bawa berat-berat masa nggak dipake! Yaudah akhirnya gue ke salah satu toilet yang jaraknya agak jauh dari pintu masuk hall konser. Sengaja. Supaya agak sepi. Dan bener-bener sepi toiletnya. Sampai-sampai setiap kali ada yang masuk gitu gue kaget anjir. Padahal gue di dalam bilik juga nggak ada yang lihat. Yang gue takut sebenarnya pas gue keluar dan cuci tangan depan wastafel, ada orang yang baru masuk malah nggak berani masuk. WKWKWKWKWKW. Kaki gue gemeter asli. Degdegan? Luar biasa! Nggak bisa gue jelasin se-deg-degan apa deh pokoknya. Lebih deg-degan dari efek setelah mimpi buruk di pesawat yang gue ceritakan di part satu perjalanan ke Bangkok ini.

Dengan langkah agak goyah gue beranikan diri untuk berjalan keluar dari toilet itu. Mengangkat wajah supaya nggak kelihatan malu. Supaya kelihatannya gue percaya diri banget. Padahal mah sumpah itu malu banget. ASLI GUE BARU PERTAMA KALI MERASA SEMALU ITU HAHAHAHAHAHAHAHAHAHHAHAHA. Padahal pas konser CNBlue gue biasa aja deh! Gue langsung berdiri di antrean yang gue sendiri enggak tahu antrean apa. Pas lagi berdiri, gue WhatsApp Intan dan bilang “NTAN GUE UDAH PAKE BAJU PIKACHU NIH!” gitu dan dia yang “DEMI APA KAK RON KIRAIN BECANDA!” Intan pun cerita ke temen-temen Uaena yang sudah bareng sama dia dan di situlah akhirnya gue ketemu sama anak-anak yang lain. Awalnya karena salah satu dari mereka baru keluar dari toilet dan langsung nyamperin gue karena dia tahu gue pake baju Pikachu.

“Temennya Intan ya?” katanya. Dia ketawa ngeliat gue.

“IYA!!!!! HAHAHAHAHAHAHA Di mana kalian ngumpulnya?” tanya gue.

“Kita di sebelah sana tuh, yuk mau bareng aja nggak?”

“MAU LAH! KENALAN DULU TAPI YA! Gue Ron,”

“Kabisat,”

“Berapa orang sih kalian?” tanya gue sambil casually keluar dari antrean.

“Ada gue, temen gue, Intan, sama satu lagi Joshua. Gue dari Cianjur, Intan dari Bali dan Joshua dari Jogja,” katanya. “Ini lo serius mau pake baju ini?”

“Ya ini gue udah pake masa iya gue mau ganti lagi? Nanggung banget!” kata gue.

Gue kemudian cerita ke Kabisat kalau tadi sebelum dia nyamperin gue ada beberapa orang yang motretin gue dengan baju itu. Beberapa orang di depan gue juga ketawa-ketawa ngeliatin gue dan diam-diam motret gue dengan handphone mereka.

“Sebenarnya gue ngarep ada tim IU TV yang videoin gue sih,” gue ngakak sendiri.

Akhirnya gue ketemu sama temen-temennya Intan yang lain dan mereka juga agak shock ngeliat gue pakai baju Pikachu itu. Nggak lama setelah itu, kita pun akhirnya antre lagi buat masuk ke venue dan ternyata cuma gue sama Intan yang duduknya sebelahan. Yang lain ada di section yang berbeda. Nggak butuh waktu lama di sesi pengecekan. Untungnya juga petugasnya nggak nyuruh gue buat buka kostum itu. Karena gue nggak bawa tas yang isinya macem-macem, jadi proses pengecekannya terbilang cepat. Pas gue masuk ke venue, gue agak terkejut melihat seat plan-nya tbh.



Karena gue dapat tiket gratisan, gue nggak ngecek posisi duduk gue sama sekali. Lagipula gue nggak peduli duduk di mana aja asal gue bisa nonton. Gue udah dapat tiket nggak pake bayar, nggak pake effort berlebihan, jadi gue harus terima apapun yang gue dapat. Pas gue masuk, ternyata kursi gue ada di sebelah kanan panggung (dari sisi penonton) persis di depan layar besar. Jadi nggak bener-bener di tengah gitu. Agak nanggung kalau dibilang mah. Jadi kalo ngeliat ke panggung harus agak miring gitu. Tapi pas gue perhatiin, memang ternyata seat plan-nya semacam dibuat “kalo lo nggak beli VIP lo nggak akan dapat view yang enak” gitu.

Jadi posisi VIP tuh persis di depan panggung. Di belakangnya persis malah dikosongin dan dibuat lorong yang nembus-nembus pintu masuk. Di sebelah kiri dan kanan lorong itulah baru ada kelas-kelas yang lainnya. Kelas tempat gue dan Intan duduk itu di belakang VIP tapi agak ke kanan. Sementara teman-teman yang lain di kelas yang berbeda di belakang gue dan ada leveling gitu. Jadi mau nggak mau memang kalau ingin bisa dinotis ya harus di VIP karena itu deket banget ke panggung, depan panggung banget, dan kamera selalu mengarah ke VIP. Kalau di belakang-belakang gini yaudah pasrah aja. Bangku gue kayak dua atau tiga bangku dari depan gitu deh posisinya memang agak ke tengah-tengah. Nah tapi yang gue bingung adalah yang nonton di dekat-dekat gue ini kayaknya nggak semuanya penggemar. Nanti kita akan masuk ke bagian itu.

Nonton konser ‘dlwlrma’ ini mengingatkan gue ke konser-konser pertama grup/penyanyi yang gue biasin banget. Feel-nya sama. Deg-degannya sama. Waktu pertama kali nonton Super Junior di tahun 2012 dulu, gue nempel pager dan deg-degan banget waktu pertama kali Siwon dan Donghae lewat depan gue. Donghae bahkan notice gue dan ngambil fanboard gue buat dibawa ke panggung dan dikasih ke member lainnya.


Sementara itu EXO-M waktu itu, entah mereka notice atau enggak, tapi gue bawa banner 1 x 1 meter buat dibentangin di depan pager pas mereka perform. Waktu The Lost Planet di Jakarta, gue juga sama deg-degannya dan perjalanan konser itu malah lebih dramatis. Hihihihi... malam ini, berbalut baju Pikachu, gue akan menikmati, like benar-benar menikmati konser ini semaksimal mungkin. Biar kayak zaman-zaman dulu. Biar masuk ke list pengalaman nggak terlupakan.










Ketika lampu sudah mati dan video opening konser diputar, gue langsung merasakan hype-nya menjalar ke seluruh tubuh gue. Orang-orang terdengar berteriak dari section lain sementara di section gue kayaknya cuma gue sama Intan yang heboh. Beberapa sih ada yang tepuk tangan tapi yaudah sekedarnya aja. Intan di sebelah gue diam-diam sudah berurai air mata wkwkkwk beneran nangis karena akhirnya dia bisa nonton IU setelah sekian lama. Gue sendiri belum pernah sih nonton konser sambil nangis gitu, yang ada gue ngantuk dan nguap pas nonton Super Junior dulu saking ada beberapa lagu yang gue nggak terlalu suka dan orang-orangnya nggak pernah lewat di depan gue wkwkwkkw. Nah masalahnya, malam itu semua lagu-lagu yang dibawakan IU adalah lagu-lagu yang selalu gue dengarkan dan selalu ada di playlist gue. Rasanya nggak ada satu lagupun yang gue nggak sing along kecuali mungkin lagu Thailand yang dia cover malam itu. Sementara di sebelah-sebelah gue semuanya kalem banget. SEKALEM ITU GUE NGGAK PAHAM KOK BISA YA?! APAKAH MEREKA SAKING MENIKMATINYA SAMPAI SEKALEM ITU?! GUE JADI NGGAK ENAK BUAT NGAPA-NGAPAIN.

Opening malam itu adalah ‘The Red Shoes’. Ya mana bisa gue nggak heboh ya kan. Gue tuh sampai ngecekin section lain beneran deh sibuk ngintipin bagaimana mereka yang ada di sana apakah mereka heboh atau mereka semua kalem-kalem aja kayak orang-orang yang ada di section gue ini? Meanwhile gue dengan baju Pikachu itu udah nggak bisa menahan diri untuk tidak nyanyi dan tidak menggoyang-goyangkan badan. Itulah yang gue nggak suka dari konser duduk. Gue jadi nggak bisa hiperaktif. Serius deh gue kepikiran buat keluar dari barisan duduk itu dan ingin berdiri aja di pinggiran section gue buat nyanyi sambil goyang-goyang dan berdiri. Gue lebih leluasa rasanya. Tapi mungkin abis itu gue akan diseret sekuriti karena tidak mematuhi aturan. Kan ini konser seating bukan standing. Yaudah dibetah-betahin deh. Karena orang-orang di sekitar gue juga nggak terlalu yang heboh banget, akhirnya gue juga nyanyinya jadi kayak di volume yang hanya gue yang bisa mendengarkannya saja. HEBOH SIH TETEP YA HAHAHA YA MANA BISA NGGAK HEBOH YA KAN.

Ada banyak banget project yang disiapkan oleh Uaena Bangkok hari itu. Mulai dari handbanner di lagu ‘Every End of The Day’, gambar hati warna kuning di lagu ‘BBI BBI’, sampai flashlight di salah satu lagu gue lupa apakah ‘Dear Name’ atau apa. Gue hanya berpartisipasi dalam dua project dari tiga itu karena yang gambar hati gue nggak dapat kertasnya dan gue terlau sibuk memperhatikan si cantik ini sedang beraksi di panggung. Mata kiri gue fokus ke panggung sementara mata kanan gue fokus ngeliatin layar yang menampilkan postur IU lebih besar dan lebih jelas. Yang serunya lagi, ada beberapa lagu yang kita diajak nyanyi bareng dengan lirik yang ditampilkan di layar. NAH DI MOMEN INI BAHKAN YA MASA NGGAK ADA YANG NYANYI SIH DI SEKITAR GUE?! BENERAN INI KALEM AMAT MASA GUE SAMA INTAN DOANG YANG HEBOH?!


Gue yang setiap pergantian lagu aja udah ngumpat-ngumpat lho ya. I mean ngumpat yang kayak “ANJIR LAGU INI LAGI OMG OMG OMG” gitu. Gue kan kalau nonton konser kebiasaan nggak pernah ngeliatin setlist jadi biar surprise gitu. Dan ngaco sih hari itu beneran setiap pergantian lagu gue yang WAAAAAKKKK!!! AAAAAAKKKK! OMG TIDAAAK!!! OH YES LAGU INI!!! HAAAH DEMI APA LAGU INI!!!! Gitulah alay banget pokoknya. Tapi yang paling bikin kicep adalah waktu IU nyanyi ‘Gloomy Clock’ dan dia sedikit membahas Jonghyun meski nggak menyebut namanya. Bahkan untuk persembahan buat Jonghyun dia menukar mikrofonnya dari warna ungu ke warna fandom SHINee. LUV BANGET. Dan gue dalam suara yang pelan sambil ngerekam fanchant “KIM JONGHYUN! SARANGHAEYO KIM JONGHYUN!”



Kita sama-sama tahu ya IU ini kan cantik banget nih, tapi pas ngeliat dia langsung dari jarak beberapa meter aja gitu dan lebih detail lagi waktu dia tampil di layar, edunnnnn, nggak nyangka kalau ternyata emang semenggemaskan itu orangnya. Badannya kecil dan dia nggak berhenti-berhenti senyum dalam setiap jeda antar lagu. Dalam setiap interaksi dengan penonton. ADORABLE!!!!!

Nah yang paling gue suka dari konsernya IU makanya gue pengin banget nonton dari dulu adalah karena dia selalu tampil dengan live band. Itu yang bikin feel-nya jadi beda. Kita jadi dapat pengalaman mendengarkan variasi yang baru dari lagu yang sudah sering kita dengar di Spotify. Kita mendengarkan sesuatu yang lebih grande, sesuatu yang lebih hidup, sesuatu yang eksklusif. Dia pun nyanyi full live tanpa ada lipsync sama sekali. Se-powerful itu dan suaranya sebagus itu gue nggak paham lagi bagaimana gue harus mendeskripsikan enaknya suara dia pas masuk lubang telinga kiri dan kanan. Pokoknya itu adalah konser paling the best yang gue saksikan sepanjang tahun bahkan lebih the best dari Elyxion menyebalkan di Singapura ketika fansite-fansite egois itu merusak suasana! UGHHHH!!!!!

Dan kalau tadi gue bilang konser duduk itu nggak enak, di situlah gue menemukan keenakannya beberapa percik: selain nggak berebut dan nggak desek-desekan, nggak akan ada fansite yang misuh-misuh berisik dengan shutter kamera mereka yang ganggu di kuping. At least kalau duduk, mereka nggak akan seenaknya bikin barikade berasa itu konser yang bayar cuma mereka. Sumpah pengen ngomong kasar tapi takut di-screencapture terus viral di dunia. #HALAH HAHAHAHAHAHHAHA

Seperti konser-konser IU sebelumnya, dia menyiapkan dua kali Encore. Yang pertama dia nyanyi ‘Through the Night’ (yang nyaris bikin gue nangis. NYARIS) dilanjutkan dengan ‘Dear Name’ (YANG SEKALI LAGI NYARIS BIKIN GUE NANGIS). Di situ IU tampil pakai gaun putih macem Cinderella gitu dan YA ALLAH YA TUHAN AKU TIDAK BISA LAGI MENAHAN KEKAGUMANKU DAN INGIN SEKALI RASANYA BERHAMBURAN KE DEPAN PANGGUNG DAN GULING-GULING SEBAGAI PIKACHU. Di Encore kedua, dia kan nanya mau ada request gak nyanyi lagu apa gitu. Soalnya dia denger kalau fans Thailand suka banget lagu ‘Rain Drop’. Dia nanya bener nggak? Tapi itu kentang banget karena nggak ada yang bener-bener menjawab atau sebenarnya mereka jawab tapi IU-nya nggak denger. Anyway dia nyanyi ‘Rain Drop’ juga, salah satu lagu yang secara teknik kalau kata IU memang paling menantang. Dan lagu terakhir IU nyanyi ‘Heart’.



Di momen itulah IU akhirnya, AKHIRNYA, jalan ke area depan section gue. Dia udah nggak pake gaun lagi tapi udah ganti pake baju yang lebih santai dan longgar. Dan di situlah gue akhirnya bisa lihat dia lebih dekat tanpa perlu melihat ke layar. YA ALLAH MENGGEMASKAN SEKALI. SEMAKIN DILIHAT SEMAKIN YAKIN DIA (BUKAN) JODOHKU DAN CALON IBU DARI ANAK-ANAKKU.

Rasanya mau teriak kenceng manggil nama dia tapi karena gue yakin dia nggak akan denger jadi mending gue fokus aja mendengarkan lagu yang dia nyanyikan. Semua yang nonton ikutan nyanyi ‘Heart’ sementara gue mau fokus merekam aja dan nggak mau merusak rekaman ini dengan suara gue. Kameranya gue taruh di depan wajah gue persis, berusaha memfokuskan dulu sebelum akhirnya mata gue berpindah dari layar hape ke IU yang hanya berjarak dua meter kali dari kursi gue. Nggak lama tapi dia ada di sana sebelum pindah lagi ke bagian lain di panggung. Sekejap itu saja rasanya gue bahagia sekali.

Bahagia sekali.

Bahagia sekali.

Bahagia banget.

Terima kasih sudah jadi bagian dari hidup gue selama hampir 10 tahun terakhir dan sudah mengisi hari-hari gue dengan lagu-lagu yang menyenangkan.

Semoga 10 tahun lagi kita bisa ketemu lagi ya!

Setelah ini gue berharap bisa banget nonton konser IU di Korea karena pasti feel-nya akan sangat jauh berbeda dengan melihat penampilan dia di luar negara asalnya. Semoga di suatu musim semi entah kapan, ketika gue akhirnya bisa menikmati indahnya Cherry Blossom di Yeouido atau Namsan, ketika keberuntungan berpihak pada gue dan gue dapat tiket konser IU di sana dengan usaha yang tidak terlalu drama (karena pasti tiket konser dia akan cepat sold out), gue bisa melihat dia lagi dan kali ini di Korea Selatan. Gue bisa mendengarkan dia nyanyi lagu 'Not Love, Spring or Cherry Blossom' secara live di situ.

AMINKAN GAIS!

MAAFIN FOTO GUE MERUSAK SEGALANYA



---



“Aku nangis. Nggak kuat,” kata Intan setelah konser selesai.

“Iya aku liat hihihihi...”

I can feel her happiness.

Setelah kita foto-foto di depan panggung, gue sama Intan kemudian nyusul temen-temen Uaena Indonesia yang lain yang sudah siap mau foto-foto di depan wall of fame. Karena mereka belom foto katanya. Wall of fame kalo bubaran konser gitu kan rame banget. Dan karena sudah malem jadi nggak ada petugas lagi yang standby buat motretin.

“Karena gue udah, kalian aja yang antre, gue yang nunggu di sini buat motoin,” kata gue. Dan ya seperti biasa, setelah orang-orang melihat gue berdiri di depan wall of fame itu, gue pun diserbu masyarakat buat dimintain tolong untuk foto. Tapi gue dengan senang hati melakukannya. HAHAHAHAHA. Sedikit tips kalau lo mau foto di depan wall of fame, suruh temen lo antre dan lo nunggu jadi tukang foto. Setelah itu nanti pasti orang-orang akan minta lo buat fotoin mereka. Dan kalau sudah begitu, lo bisa ngatur deh siapa yang duluan siapa yang belakangan. Jadi lo bisa memprioritaskan teman-teman lo dulu sebelum mereka.

Gue akhirnya jadi tukang foto fans-fans yang datang dari Filipina dan ada juga orang-orang Thailand. Mulai dari berhitung yang ONE TWO THREE sampai HANA DUL SET sampai akhirnya saking banyaknya gue ngejepretin orang gue spontan teriak SATU DUA TIGA dan langsung diteriakin sama Kabisat.

“MEREKA NGGAK NGERTI WOY!”

“HAHAHAHAH YA MAAP LUPA AKU WAKAKAKAKKAKA,”

Setelah akhirnya giliran teman-teman Indonesia yang berdiri di depan wall of fame, orang-orang jadi ngebebasin kita buat foto banyak-banyak. Soalnya tadi gue udah bantuin banyak orang buat motoin mereka. HIHIHI LUV!




Karena kelamaan foto di situ kita pun jadi kemaleman pulangnya dan kehabisan shuttle bus. Intan kebetulan hotelnya nggak jauh dari IMPACT Arena jadi dia nggak akan ikut gue, Kabisat dan temennya, serta Joshua ke pusat kota. Gue kebetulan adalah orang dengan tujuan paling ujung, jadi paling lama di taksi. Kita share uang taksi malam itu dan nggak terlalu mahal ternyata. Nggak macet juga jadi sebelum jam 11 gue udah sampai hostel lagi.

Akhirnya perjalanan ini klimaks juga. SENENG!

Memang harusnya gue nggak usah cepet-cepet ke Bangkoknya ya kemarin. Kalau gue datangnya H-1 mungkin gue nggak perlu repot-repot galau dan kesepian di negara orang. Kalau gue datangnya H-1 kan gue bisa langsung mencuci semua pikiran-pikiran galau itu dengan konser besokannya. Karena di hari konser itu gue sama sekali nggak memikirkan apapun, chat brengsek itu, atau dia yang sudah nolak gue.

Yah, semoga abis ini bisa lupa selamanya dan beneran move on. 

Move on dari dia yang nolak gue. Bukan dari konsernya. Nulis ini malah bikin gue makin kangen konser lagi.

-semacam bersambung-


Halusinasi Di-notice Irene Red Velvet di SM Entertainment Indonesia

$
0
0

“Weekend ini Red Velvet nih, Dit!”

Gue misuh-misuh di kantor ke Dita, temen sebelah meja gue. Partner gue di Podcast KEKOREAAN yang hey sekarang sudah ada di Spotify! (Klik di sini untuk mendengarkan) Hehehe. Seperti biasa, Dita nggak menaruh perhatian penuh ke gue karena dia memang anaknya pekerja keras. Matanya nggak berpaling dari laptop dan kupingnya masih disumbat headset. Jelas dia nggak dengar apa yang tadi gue bilang ke dia. Udah biasa. Dita emang anaknya gitu.

Gue nggak bisa bilang gue 100% siap untuk nonton Red Velvet di lapangan somewhere in BSD ini karena gue sama sekali enggak tahu daerah situ kecuali Stasiun Rawa Buntu dan ICE. Sementara acaranya akan dimulai malam hari dan itu berarti kelarnya pasti jelang tengah malam. Sebenarnya sudah ada rencana di kepala gue. Rencana yang tinggal diamalkan saja dengan perbuatan. Niatnya sudah ada dan sudah terasa matang: gue pesan penginapan dekat situ, datang ke penginapan sekitar jam empat atau jam lima sore, kemudian beres-beres sedikit lalu pergi ke lokasi acara mepet-mepet aja supaya nggak terlalu lama menunggu. Gue yakin akan ramai banget. Bukan hanya karena ini Red Velvet, tapi karena ini konser gratisan. Nggak akan ada yang mau menyia-nyiakan kesempatan emas untuk menonton Red Velvet tampil di atas panggung, menyanyikan lagu-lagu hits mereka, tanpa dipungut biaya.

Tapi Ron adalah Ron. Tingkat kemagerannya melebihi kepercayaan dirinya dan kepastian soal masa depannya.

Penginapan sudah gue book dan satu malam sebelumnya gue udah berusaha untuk tidur cepat walaupun nggak bisa (karena tidurnya baru sekitar jam 2 subuh). Pagi bangun buat salat subuh dan kemudian gue tidur lagi sampai jelang zuhur. Setelah urusan laundry dan makan siang selesai, gue sudah rapi tuh, udah siapin perbekalan juga buat nginep di BSD. Gue turun dari kamar sekitar jam 15:30 setelah salat asar, menuju parkiran motor kosan dan langsung tancap gas motong jalan masuk-masuk gang. Eh tapi baru aja sampai di gang 14 (gang kosan gue gang 13), ujan turun dong; deres banget. Memang sih dari pas gue keluar kosan juga langit udah gelap dan awan hitam bergulung-gulung sudah tampak di arah Selatan. Jadi gue juga udah curiga ini cepat atau lambat gue pasti akan keujanan. Untungnya ujan turunnya pas gue masih di gang sebelah jadi gue bisa balik ke parkiran kosan lagi dan naik ke kamar lagi.

Niatnya sih buat nunggu ujan reda, tapi nyatanya....

MUEHEHEHEHEHEHE RON KETIDURAN SAMPAI ISYA.

Wassalam.

Ya sebenarnya mah kalau niat bisa aja buat jalan abis salat isya sekitar jam 7:30an. Tapi pas gue liat Maps, jalur motor menuju ke BSD itu macet banget dan butuh sekitar 1,5 jam untuk sampai lokasi. Bye aja. Udalah. Gue kubur dalam-dalam untuk melihat Red Velvet di konser gratisan ini.

“Ya kan lo bisa nonton di TV,” kata salah seorang teman.

Memang benar. Di kamar gue ada TV yang kreditnya akan lunas bulan Juni nanti. Tapi masalahnya TV itu nggak ada channel-nya. Selama ini gue pakai TV itu cuma buat nonton film dan serial lewat hard disk.

Oke pasrah. Trus sekarang gimana?

Can we just do something else like.. I don’t know... sleep more? Dan ya, gue pun tidur pulas sampai besokannya.

Tapi sebelum tidur gue sudah bersumpah pada diri gue sendiri. Semales apapun gue ketika bangun besoknya, gue harus memaksakan diri untuk bangun, berdiri, berjalan ke kamar mandi, pakai baju, dan pergi ke fx Sudirman. Ada yang berbisik di kepala gue kalau gue harus ke fx Sudirman. Ada yang meyakinkan gue kalau gue ke fx Sudirman besok, penyesalan gue karena nggak nonton konser gratisan itu semalam akan terhapuskan. Semacam lagu lamanya Marcel yang judulnya ‘Firasat’.

Besoknya, gue terbangun sekitar jam sembilan pagi karena penjaga kosan gue gedor pintu kamar.

“KATANYA MAU GANTI BOHLAM?!”

“GAK JADI BE, SUDAH DIGANTI SEMALAM.” Karena dia teriak gue jadi ikutan teriak. Gue masih di atas kasur.

“OH YAUDAH MAAP YAK!”

“YAK!”

Gue tahu gue sangat malas untuk beranjak dari kasur. Apalagi ini hari Minggu. Mana ada cerita seorang Ron bangun pagi di hari Minggu. Mandi di hari Minggu. Keluar ke mall di hari Minggu sebelum adzan zuhur. Mustahil!

Tapi hari itu Ron melakukannya.

Dengan mata setengah terbuka gue akhirnya mengguyur badan gue dengan air keruh dari keran kosan yang nggak pernah bening sama sekali sejak gue pindah ke sini. Gue curiga selama ini air itu berasal dari Kali Mampang yang kebetulan memang sebelahan sama bangunan kosan gue. Selama ini gue mandi pake air kali. Nggak heran gue jerawatan parah. Selain karena memang faktor manusia keparat itu sih yang bikin gue jerawatan. Hehehe lha curhat.

Gue sudah memutuskan untuk nggak mengendarai Daniel (nama motor matic gue) ke fx Sudirman hari ini karena gue nggak akan sanggup membayar parkir mahal berjam-jam di mall. Men, ini pasti akan makan waktu lama soalnya. Daniel gue parkir dan kunci di parkiran kosan dan gue naik TransJakarta saja. Kepala gue agak pusing karena dipaksa bangun buat mandi dan jalan ke halte. Gue juga baru sadar kalau setelah bangun tadi gue belum minum air putih, gue juga sangat lapar. Perjalanan ke fx Sudirman ini akhirnya berubah dari berharap melihat Red Velvet dari dekat ke makan siang aja terus yaudah pulang. Sebenarnya nggak ada ceritanya sih Ron bangun pagi di hari Minggu dan makan siang di mall. Biasanya juga makan siangnya dirapel sama makan malam. Tapi ini memang hari yang aneh.


Transit di Halte TransJakarta Dukuh Atas gue kaget banget karena ramai sekali. OH IYA HARI INI KAN MINGGU DAN INI BARU ABIS CAR FREE DAY. Yasudah, ini pasti fx Sudirman juga akan ramai banget. Gue nggak berharap sih sebenarnya cuma gue yang berpikir kalau Red Velvet akan datang hari ini. Since mereka ada Live Online Fanmeeting di Shopee juga kan, gue pikir mereka syutingnya akan di kantor SM Entertainment Indonesia yang di fx Sudirman itu. Pas gue turun di Halte TransJakarta Gelora Bung Karno makin berasa ramai. Remaja-remaji yang gue rasa ini pasti juga akan ngejer Red Velvet. Beberapa dari mereka bahkan terang-terangan pake jaket yang tulisannya SEHUN gitu. Tapi ah, yaudah deh, gue biasanya kalo berharap-berharap banget nggak akan kejadian. Nggak akan dapat apa-apa nantinya. Kayak gue berharap sama dia, sudah ngasih segala jiwa dan raga, waktu dan pikiran, dianya nggak suka sama gue. Ya gitu kan kadang-kadang hidup mempermainkan kita dengan semaunya. Tapi ingat bahwa kuasa Allah itu tidak ada cela. #EA #MAUPUASA

Gue makan di Burger King, salat zuhur, abis itu yaudah nothing to lose ya Ron, yuk naik ke lantai lima. Kantor SM Entertainment Indonesia hari ini tutup dan lampunya mati semua. Agak aneh sih since waktu itu pas pemilu kok buka-buka aja. Justru hari Minggu gini kok tutup? I mean... memang secara kantor ya kan bisa tutup. Tapi lobinya kan tetap buka juga nggak apa-apa justru akan lebih ramai kalo weekend gini. Ya nggak sih? GATAU. Waktu gue naik ke lantai 5 setelah salat zuhur itu, nggak terlalu ada banyak kerumunan di depan pintu kantornya. Fans masih nyebar-nyebar. You can tell that they’re fans kok meski mereka berusaha menyembunyikannya sekuat mungkin. Niat gue buat duduk dan makan di Eat & Eat (karena paling dekat dengan kantor ini) gagal karena semua meja di luar sudah reserved. Nggak paham lagi. Akhirnya yaudah, sambil nunggu-nunggu update dari keramaian, gue lihat-lihat buku bekas yang dijual di dekat situ dan dapat beberapa buku buat bahan bacaan di kala sedang niat membaca. Yang bikin gue semakin yakin bahwa Red Velvet akan datang hari itu adalah sekawanan petugas keamanan mendadak ramai di lantai 5.

Maksudnya, kalau memang mau mengamankan event di atrium, ya kan di atrium aja. Kalau mau mengamankan event di teater JKT48 ya kan bisa di depan teater aja. Lha ini di lantai 5 dan mereka berdirinya nggak jauh dari kantor SM Entertainment Indonesia. Oke fix. Ini sih bakalan ada keramaian. Gue sempat duduk agak jauh sambil baca-baca buku yang baru gue beli sebelum akhirnya gue memutuskan untuk mendekat ke depan kantor karena orang-orang sudah mulai ramai dan membentuk barisan. Ok, here we go. Gue akan mencoba ketahanan tubuh gue yang sudah renta ini untuk menunggu, antre, berkumpul bersama fans-fans yang usianya jauh lebih muda dari gue. Beginilah yang dinamakan dengan bucin. Budak Cinta bukan Bubuk Mecin.


Pas gue mau mulai antre, waktu sudah menunjukkan hampir pukul 14:00. Berarti sebentar lagi Live di Shopee akan dimulai. Ketika gue sedang sibuk dengan pikiran sendiri dan menyusun strategi mau berdiri dan antre di mana, seorang perempuan berjilbab nyamperin gue.

“WOY!” katanya.

“EH! NGAPAIN LO?!” kataku.

“GUE JUGA BUCIN! HAHAHAH!” dia mengaku dengan bangga.

Kak Nuri. OMG. UDAH LAMA BANGET KITA NGGAK KETEMU!

Gue sama Kak Nuri dulu bucin EXO dan bucin S4 lol. Tapi udah lama kita nggak ketemu setelah gue nggak lagi ngekos di Depok. Karena sekarang gue ada teman, gue jadi agak-agak lega dan seneng. Kak Nuri bareng sama dua orang temannya yang lain. Salah satunya Nadia (atau Nadya?). Akhirnya gue bareng sama mereka dan kita sempat duduk dulu di kursi Eat & Eat sebelum akhirnya memutuskan untuk mulai nunggu aja di depan kantor SM Entertainment Indonesia. Mumpung orang-orang masih belum ramai. Dan itu bukan keputusan yang salah.

Kita berdiri dengan urutan teman Kak Nuri, Kak Nuri, Nadia, dan gue di paling belakang. Di belakang gue masih ada beberapa orang lagi. Posisi kita di depan kaca persis, deretan paling kanan. Kalau Red Velvet naik ke lantai ini lewat eskalator, sudah dijamin gue nggak akan bisa lihat dengan jelas karena gue berdiri paling belakang. Tapi, sebentar, kan mereka akan masuk ke kantor ini kan. Dan kita ada di samping kaca persis. WAH INI YANG DINAMAKAN DENGAN TAKDIR DAN HIDAYAH ALLAH SWT! Awalnya kita bebas nempel ke kaca. Tapi lama-lama dimarahn sama staf dan juga sama sekuritinya. Akhirnya dikasih pembatas gitu buat jalur mondar-mandir sekuriti. Supaya kita juga nggak nempel sama kaca. Mungkin capek kali ngelapnya atau takut pecah katanya. Nggak masalah sama sekali buat gue. Karena itu masih deket banget. Yang jadi masalah sekarang adalah kita nggak tahu kapan Red Velvet akan sampai di fx Sudirman. Karena terakhir cek, Live mereka di Shopee masih berlangsung. Dan baru tadi gue berharap badan gue akan bisa bekerja sama tetapi gue salah.

Gue ngantuk banget

Dan gue tidur berbantalkan lutut.

Tidur beneran selama kurang lebih lima belas atau dua puluh menit.

Pules banget.

Gue masih punya kemampuan tidur dengan seni melipat tubuh ini rupanya. FYI, di setiap konser yang gue datangi dengan antre kayak gini, pasti ada momen gue akan tidur sambil duduk bersila dan berbantalkan paha atau lutut. Nggak bisa ditahan.

Gue nggak takut akan kebablasan karena selain ada Kak Nuri yang akan mencolek gue, mbak-mbak staf SM Entertainment Indonesia juga sudah ngasih warning kalau Red Velvet mungkin akan datang sekitar satu jam lagi. Yaudah, itu sih gue mendingan tidur aja kan. Sialnya, setelah gue kebangun dari “power nap” itu, kepala gue pusing. Gue masih punya cheeseburger di tas (tadi gue makan siang di Burger King kan) dan gue berniat makan itu. Tapi gue nggak ada air minum.

“Gue ada Coke, mau?” kata Nadia.

“MAU! KEBETULAN GUE SAKIT KEPALA! INI OBAT AMPUH BANGET!”

(Ada gak sih yang kayak gue juga kalau pusing terus minum Coca-cola langsung sembuh?)

Baiknya Nadia huhuhuh. Gue akhirnya minum Coke itu dan ngabisin cheeseburger gue. Tapi sakit kepala gue nggak ilang juga. Hihihihi... Mungkin karena gue deg-degan nunggu. Ketika pada akhirnya ketika Red Velvet muncul, semuanya sembuh begitu saja.


Jadi gini, selain staf SM Entertainment Indonesia, ada juga dari union fandom yang bantu untuk mengingatkan fans yang datang untuk tetap tertib. Nggak boleh berisik dan teriak-teriak. Rupanya, hari itu Red Velvet ada jadwal interview sama beberapa media dan most of them adalah televisi dan radio. Wajar kalau nggak boleh teriak selama wawancara berlangsung karena akan sangat mengganggu. Yang amazed adalah Reveluv yang datang nurut semua. Proud! Walaupun ya, sekali dua kali haruslah diingetin buat nggak dorong-dorongan. Terutama yang berdiri di belakang. Soalnya kami yang sudah ada di depan kaca ini dari tadi memang duduk supaya rapi aja gitu. Gue nggak masalah kalo duduk, tapi sampai kapan kedudukan ini bisa tertib? Gue takutnya pas RV muncul, nanti pasti pada berdiri deh. Ya tapi gapapa sih kalo berdiri, asal nggak rusuh. And guess what, itu jadi kenyataan. HIHIHIHI...

Waktu RV muncul dari eskalator, siapa yang bisa tahan untuk tidak berdiri? Tidak ada. Beberapa orang di belakang berdiri dan teriak kenceng banget. TERIAKNYA KENCENG BANGET GAPAHAM LAGI. Gue masih dalam posisi duduk. Tangan kanan gue sudah terjulur ke atas on position, kamera sudah dalam kondisi merekam, gue nggak fokus ke kamera gue tapi fokus ke wajah Irene yang muncul di antara punggung orang-orang yang berdiri di depan (staf dan sekuriti dan kaka kaka dari union). Irene kelihatan shock banget karena fans udah nunggu di situ. Satu per satu member yang lain mengikuti di belakangnya: Wendy, Seulgi, Joy dan Yeri. Itu nggak berurutan sih sebenarnya. Itu pertama kalinya gue melihat mereka dalam jarak yang sangat dekat, dalam event yang tidak formal seperti ini. Yang istimewanya lagi: DI NEGARA GUE SENDIRI. Alhamdulillah banget, right?

Gue nggak punya kamera bagus. Tapi gue yakin kalau pun gue punya kamera bagus, gue nggak akan bisa dapat foto yang bagus karena gue pasti akan heboh sendiri kemudian panik, kemudian berujung foto-fotonya nggak fokus semua. Jadi hari itu karena pergerakan orang-orang sangat cepat, jadi yaudah ikhlasin saja hanya bermodalkan kamera video dari Samsung Galaxy S10+ gue yang lumayan banget hasilnya ini HIHIHIHIHIHIHI.... Ya mayanlah kalo buat videoin momen-momen kayak gini, masih bisa di zoom dua kali juga udah keliatan jelas orang-orangnya.

Video rekaman gue cuma 22 detik dari mereka “turun” eskalator dan masuk ke kantor. Tapi semua member berusaha untuk tidak mengalihkan pandangan mereka dari fans sambil berjalan. Irene masih terkejut nggak percaya ngeliat banyaknya fans yang nunggu dia. Tapi dia yang pertama masuk ke ruangan jadi dia yang pertama hilang dari “pandangan” kamera gue. Sementara di paling belakang, Wendy yang hari itu pake baju dengan bahu terbuka, YA ALLAH ANGGUN SEKALI INGIN RASANYA AKU TELENTANG LALU DANCE BA BANANA BA BA BANANANANA LALU BERGULING KE LANTAI SATU. With that new hair, Wendy looks SOOOOO PRETTYYYYYYYYY. I mean, IRENE WILL ALWAYS BE MY ULTIMATE BIAS BUT, WENDY OHMYGOSH!!!!!!!



Gue suka banget ngeliat Seulgi kalau senyum. Polos dan tulus. Berasa temen SMA yang sudah kenal lama terus kita ketemu lagi. Joy di satu sisi sangat dewasa dan sangat ingin sekali bertindak geragasan tapi mungkin dia tahan diri. Yeri sekarang jadi cantik bukan kepalang. Jadi lebih ada kesan dewasa. Gue ngeliat dia makin ke sini makin punya vibe kayak Yoona.

Dan selama dua puluh dua detik itu, gue sama sekali nggak teriak atau berekspresi. Gue bener-bener diem. Belajar dari pengalaman selama ini kalau gue manggil-manggil mereka, atau teriakin nama mereka, video rekaman gue akan penuh dengan suara gue dan itu nggak akan menyenangkan. Gue bisa kalem. Entah gimana caranya, gue nggak tahu.

Mereka masuk ke ruangan kantor yang ada tulisan staff only kalau lo datang ke SM Entertainment Indonesia di fx Sudirman ini. Tapi harusnya abis itu mereka akan keluar lagi buat tur bagian depan kantor yang nggak seberapa itu. Mereka juga akan menandatangani foto mereka yang ada di bagian depan, dan dinding putih di dalam Audition Room, tempat Lee Soo Man, Leeteuk, Jeno dan Jaemin tanda tangan beberapa waktu yang lalu. Segera setelah mereka keluar dari ruangan kantor, teriakan kembali membahana. GILA SIH INI ORANG-ORANG JUMLAHNYA NGGAK SAMPAI 500 KALI TAPI SUARANYA KAYAK SE-STADION! KEREN BANGET HAHAHAHAHAHAH!



Seperti yang gue bilang, jadi itu gue datang sambil ngantuk. Boro-boro mau mempersiapkan perintilan fanboying kayak fanboard gitu, nyisir rambut yang bener aja gue nggak sempat. Well, sebenarnya karena memang rambut gue udah nggak bisa disisir lagi. Jujur, gue kepikiran untuk membawa sesuatu hari itu. At least bawa fanboard deh. Lagipula, gue masih punya fanboard Surene yang selalu gue bawa kalau konser EXO itu. Masih ada di lemari meski kondisinya sudah mengenaskan. Tapi gue mikir lagi... dalam kondisi ketidakpastian seperti menunggu di mall gini, segala sesuatu bisa terjadi. Maksudnya, segala keribetan bisa datang dan gue sedang nggak mau ribet. Sebenarnya gue udah minjem kamera gede ke temen gue tapi nggak gue ambil. Pokoknya hari itu gue mau pure santai banget, merekam pake handphone aja. Nggak mau yang ribet-ribet. Makanya fanboard Surene itu nggak gue bawa. Lagipula, konteksnya akan jadi beda kalau gue bawa fanboard Surene ke event“milik” Red Velvet. Karena yang merasa “punya hubungan spesial” dengan Red Velvet kan Suho. Bukan Irene. Jadi gue merasa nggak tepat aja kalau bawa fanboard Surene ke situ. Takut kalau Irene bakalan bete atau apa. Kalau Suho ya seneng-seneng ajalah dia dia hahahaha. Irene paling bakal ketawa sih, tapi kalau ketawanya agak-agak shady kan nggak enak juga. Lagipula, nggak semua Reveluv kan nge-ship Suho-Irene dan gue di situ juga Reveluv abal-abal. Kalau pun nggak semua EXO-L nge-ship Suho-Irene sih gue bodo amat. HAHAHAHAHAHAHAHHA.

Ada waktu sekitar lima sampai sepuluh menit kali ya sejak Red Velvet datang dan masuk ke ruangan kantor sebelum akhirnya mereka keluar lagi dan melakukan tur di balik dindng kaca itu. Di situlah gue baru merasa sangat menyesal nggak mempersiapkan apapun buat dibawa hari ini. I mean, semua orang yang datang bawa slogan yang mereka dapat dari union. Sementara gue cuma datang bawa diri sendiri, laptop yang nggak dipake akhirnya dan berujung cuma berat-beratin tas doang, dan kenangan-kenangan masa lalu dengan dia yang masih berusaha gue buang jauh-jauh. Harusnya gue memang bawa sesuatu. Harusnya gue bawa aja fanboard Surene itu. Harusnya gue cuek aja soal Reveluv yang nggak nge-ship Surene atau Irene yang bakal bete karena foto itu. Soalnya jarak gue sama dia tuh cuma dibatasi sama kaca doang. Deket banget. Bahkan ini lebih deket dari konser. Dia bisa dengan jelas melihat gue dari dalam.

Dia bisa dengan jelas melihat gue dari dalam.



Di situlah akhirnya gue semacam dapat hidayah. Hihihi... Gue kan ada handphone satu lagi. Honor 10 oleh-oleh dari perjalanan ke London tahun lalu yang ceritanya belum selesai gue tulis itu. Memang handphone itu nggak ada internetnya, tapi di mall ini pasti ada Wi-Fi kan? Gue merogoh ponsel itu dan mengeluarkannya dari dalam tas. Untung banget hari itu gue pakai jaket Game of Thrones baru dari HBO yang punya banyak kantong dan semua kantongnya ada retsleting. Jadi gue nggak ribet keluar masukin hape ke tas. Gue bukan orang yang suka menyimpan handphone di saku celana jins. Selain nggak nyaman saat duduk, khawatir hapenya benyek. Gue keluarin handphone itu, gue konek ke Wi-Fi, dan gue cuma punya waktu beberapa menit saja untuk berpikir gue bisa melakukan apa dengan handphone ini.

GIF.

Brilian!

To be honest, gue nggak update sama sekali soal Red Velvet selama setahun ke belakang. Maksudnya mereka konser di mana, apa yang sedang populer di kalangan fans, dan fancam apa yang sedang viral. Gue randomly cuma search‘Irene gif’ di Google ketika gue menemukan satu gif Irene pakai baju putih dengan bibir merona merah, sedang memberikan flying kiss ke penonton. I don’t even know that this fancam and gif is actually gone viral! Gue bener-bener cuma random! Dan karena Irene terlihat cantik bukan kepalang di gif itu, gue pun akhirnya memilih itu untuk diunduh.


Layar handphone itu gue atur ke tingkat kecerahan yang paling tinggi supaya tetap terlihat. Gif-nya agak gue zoom supaya langsung to the point ke wajah Irene. Dan ketika anak-anak di luar dinding kaca mengendus adanya pergerakan dari dalam, gue pun siaga. Tangan kiri sudah siap dengan Honor 10 yang menampilkan gif Irene, tangan kanan sudah siap dengan Samsung Galaxy S10+ dalam mode kamera video dalam posisi merekam. Dan mereka keluar dari dalam ruangan itu, entah Yeri entah Joy yang lebih dulu. Yang pasti di belakang mereka mengikuti Seulgi, Wendy, kemudian Irene.

Wendy agak linglung harus melihat ke mana dulu sementara Seulgi nggak berhenti melambaikan tangan ke fans yang ada di luar dinding kaca. Kamera gue sengaja nggak gue fokuskan ke salah satu member. Sengaja gue merekam dalam mode landscape supaya semuanya bisa kelihatan. Tangan kiri gue mengangkat handphone dengan gif itu agak tinggi supaya Irene bisa melihatnya. Sementara tangan kanan gue mengikuti pergerakan kelima member. Di situlah gue kemudian mendengar teriakan dari Nadia.

“DIA LIHAT!”

Apa yang dia lihat? Dia siapa? Apa yang terjadi?

Gue nggak tahu. Di momen seperti ini, lo nggak akan fokus sama apapun. Gue terutama. Karena mata gue terpaku ke balik dinding kaca, memandangi wajah-wajah menawan yang ada di sana. Mata gue nggak ngeliat ke layar handphone sama sekali jadi gue hanya mempercayai tangan kanan gue akan kuat untuk mengangkat handphone itu. Namanya Keane anyway. Sudah bukan Jeno lagi. Dan tangan kiri gue masih mengangkat si Honor 10.

Kelima member agak mendekat ke arah dinding kaca karena ternyata mereka mau menandatangani poster Red Velvet yang ada di dinding dekat kaca. Di situ sih puas banget udah melihat mereka dari jarak dekat. Masih dengan kamera yang dalam posisi merekam, menguatkan tangan supaya nggak goyang. Anak-anak masih tertib dan nggak ada nuansa dorong-dorongan sama sekali. Walaupun sesekali sekuriti mengingatkan supaya nggak ada yang menyentuh kaca. Itu mungkin adalah momen terdekat gue dengan Red Velvet seumur hidup ngefans sama mereka. Diawali dengan Irene dan ditutup dengan Wendy, sesi tanda tangan di situ pun selesai. Mereka kemudian melanjutkan tur ke sekeliling ruangan depan SM Entertainment Indonesia yang ada di fx Sudirman. Kembali menandatangani sesuatu di meja resepsionis sebelum akhirnya masuk ke ruang audisi tempat mereka menandatangani dinding putih yang sebelumnya sudah ada tanda tangan member SJ, NCT Dream dan juga Lee Soo Man.



Sesi tanda tangan di ruangan ini yang gue nggak dapat sama sekali. Berbagi jatah sama yang berdiri di belakang. Yang lebih rusuh dari yang di depan karena kami duduk dan mereka berdiri. Tapi mereka puas karena di sana Red Velvet menghabiskan waktu lebih lama. Setelah selesai dari situ, mereka kembali masuk ke ruangan kantor untuk bersiap-siap wawancara dengan media.

Wah... kalau masih jadi wartawan Kpop mungkin gue ada kesempatan tuh buat wawancara mereka. Secara perusahaan tempat gue kerja dulu adalah perusahaan yang sekarang bekerja sama dengan SM Entertainment untuk segala hal promosi artis SM di Indonesia. LOL. Tapi hidup sudah berubah dan bergerak maju. Gue cukup puas dalam posisi sebagai fans kayak gini. Karena kalau dalam konteks bekerja kan nggak bisa ngalay. Kalau sedang jadi fans mah bodo amat mau alay juga.

Setelah Red Velvet masuk ke ruangan staf, di situlah gue baru sadar kalau teriakan Nadia tadi ditujukan buat gue.

Maksud teriakan “DIA LIHAT!” Nadia tadi adalah karena Irene ternyata melihat gif yang gue tunjukkan di handphone Honor 10 itu. Ketika adegan itu terjadi, seperti yang gue bilang tadi, gue sama sekali enggak ngeh kalau dia ngeliat ke kamera gue. Ke arah gue. Gue memang melihat dia melakukan flying kiss itu. Tapi gue nggak ngeh sama sekali kalau itu ditujukan ke arah kamera gue dan setelah dia melihat gif dari handphone gue. Wah gila sih.

WAH GILA SIH.

GUE BENER-BENER NGGAK SADAR SAMPAI VIDEONYA GUE PUTAR ULANG. DAN DI SITULAH AKHIRNYA GUE BENAR-BENAR BERTERIAK. GUE BERTERIAK KENCENG BANGET DAN BERKALI-KALI.


View this post on Instagram

So here's my story: . . Kudatang tanpa persiapan apapun karena ngantuk luar biasa. "Harusnya gue bawa fanboard ya?" gitu terus mikirnya. Tapi ternyata gue gak butuh fanboard kali ini karena pas di lokasi pasti akan sangat ribet. Cuma gue pikir, "Gak asik kalo gak bawa sesuatu buat diliatin ke dia? Yagaksih, Ron?" Yaudah akhirnya gue search gif di Google, gif Irene lagi flying kiss gitu dan oke abis ini gue akan kasih lihat ini ke dia. Mungkin dia notice. . . Pas dia keluar dari ruangan, gak babibu kamera gue gak fokus ke satu member tapi semua ajalah. Untung-untungan kalo kayak ginimah. Dan karena posisi gue deket kaca juga, gampang buat dia lihat gif itu. DAN DIA LIHAT! DAN DIA NIRUIN FLYING KISS-NYA! 😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂 . . YA ALLAH GUE MASIH ALAY BANGET YAK. MY FUTURE WIFE WILL BE SOOOOO DISGUSTED. 😂😂😂😂😂😂😂😂 . . #irene #redvelvet #myfandommoment #😘 #withgalaxy #kaoskakibau #bloggers #smtown #smentertainment #wendy #seulgi #joy #yeri
A post shared by RONZZY | FANS KPOP 😏 (@ronzstagram) on



“AAAAAAAAAAARRRRRRRRGGGGGGGGGGGH!!!!!!!!!!!!!!” sambil menutupi mulut dengan jaket supaya nggak terlalu kelihatan spazzing-nya. Beberapa orang di samping gue ngetawain gue sambil sesekali ngintip ke hanpdhone buat ngeliatin videonya. Sementara sekuriti perempuan yang berdiri di depan gue agak kaget mendengar gue teriak. Dia kira gue kenapa-kenapa. Ayan atau gimana.

TAPI MEMANG INI ADALAH SAAT YANG TEPAT UNTUK AYAN, BUKAN?!

Gue lihat lagi videonya dan WOW. BENER-BENER. LEGIT. ITU DIA MELIHAT KE ARAH GUE DAN MENIRUKAN FLYING KISS YANG ADA DI GIF ITU.

APAKAH INI GUE HALU?

APAKAH GUE KEPEDEAN?

Gue bertanya itu berkali-kali. Tapi setelah berkali-kali juga gue ulang videonya dan me-reka ulang kejadiannya, masuk akal kalau memang dia melihat ke arah gue, memberikan flying kiss ke kamera gue. Soalnya cuma gue yang nunjukkin gif itu dan dia lihat gif-nya. Dia ke-trigger untuk melakukan flying kiss itu karena dia melihat gif-nya.

BERARTI GUE NGGAK HALU KAN?!

TAPI KALAUPUN GUE HALU, YAUDAH NGGAK APA-APA. YANG PENTING GUE DAPAT VIDEONYA! IRENE KASIH FLYING KISS KE GUE!

Gue ingat di Seoul Talk Concert dua tahun yang lalu, gue nonton di kursi VIP dan ada momen di mana gue teriak “IRENE NEOMU YEPPOYO!” sampai dilihatin dan diketawain sama orang-orang Korea yang juga duduk di sekitar tempat duduk gue. Tapi saat itu, gue beruntung karena Irene dengar dan dia malu-malu jawab pake mikrofon “Ah, ne, kamsahamnida.” Serius deh gue kira gue juga halu saat itu. Tapi gue inget banget itu kejadian karena gue sudah konfirmasi sama beberapa orang. Dan itu sudah dua tahun yang lalu. Dua tahun kemudian kejadian lagi. Inikah yang kalau kata masyarakat momen “dinotis bias” itu?

Nggak ada satupun member Red Velvet yang nggak cantik, terlebih hari itu, terlebih Irene. Kalau ada alasan kenapa gue makin jatuh cinta sama Irene ya karena kehaluan dinotis bias hari itu. Kalau ada alasan kenapa gue akan makin bucin Irene ya karena kehaluan dikasih flying kiss hari itu. Setidaknya setelah Suho nunjuk-nunjuk ke gue di The Lost Planet Jakarta tahun 2014 dulu, setidaknya setelah Suho ngajak ngomong gue dari atas panggung di konser pertama mereka di Jakarta itu, Irene pun menyusul “menotis” gue, Ron, seorang fans fakir mager yang semalam nggak jadi nonton ke BSD karena hujan. Yang ke fx Sudirman cuma berlandaskan feeling dan firasat. Yang masih berusaha move on dari orang yang sudah nolak dia.



Bae Joohyun, thank you very much!

 

Makan Cantik dan Berkelas di The Edge Kemang

$
0
0
 
Siapa yang nggak tahu kegemerlapan daerah Kemang, di Jakarta. Daerah yang punya nama seperti buah Kemang ini jadi salah satu daerah elit di Jakarta yang biasanya jadi tempat favorit buat menghabiskan akhir pekan bersama keluarga atau bisa juga jadi tempat hangout remaja-remaja masa kini bareng sama temen-temen gaul mereka. Ibarat sebuah kota penuh hiburan, lo juga bisa memilih tempat mana yang ingin lo kunjungi di kawasan ini. Ada berbagao macam tempat tongkrongan tersedia di sini, makanya itu Kemang jadi daerah yang banyak disukai. Salah satu tempat yang gue rekomendasikan untuk didatangi adalah The Edge Kemang. The Edge Kemang merupakan sebuah restauran mewah yang ada di Kemang yang menyediakan banyak banget santapan mulai dari makanan khas Asia, Western, dan pilihan grill pun ada.

Kali ini gue akan membahas apa-apa saja yang bisa lo temukan di The Edge Kemang ini. Penasaran? Cek terus sampai bawah!

Semua Hal di The Edge Kemang

The Edge Kemang beroperasi setiap harinya di hari Senin sampai Minggu. Restauran ini buka di jam 7 pagi setiap harinya dan tutup di jam 11 malam di tiap harinya. Terdapat jam–jam khusus yang ramai didatangi pengunjung yakni di jam–jam menjelang pulang kantor dan jam makan malam sekitar jam 5 sore sampai dengan jam 9 malam.

Kalau lo penasaran dengan The Edge Kemang ini, datang aja langsung ke daerah Kemang di Kemang Icon Building lantai 5, tepatnya di Jalan Raya I, Kemang, Jakarta Selatan. Gampang kok buat ke sini bisa pakai kendaraan umum atau dapat juga menggunakan kendaraan online, kalau memang lo prefer tidak menggunakkan kendaraan pribadi.
 

The Edge Kemang ini bukanlah restoran biasa sebab The Edge Kemang juga menyediakan segala suasana modern dan mewah untuk mendampingi makan lo. Buat makan di sini, sediakan uang sekitar 400 ribu sampai dengan 500 ribu untuk 2 orang pengunjung. The Edge Kemang dikenal sebagai restoran yang memiliki bagian rooftop dengan kolam yang artistik dan pemandangan yang bagus untuk dijadikan spot foto bagi para pengunjungnya.

Fasilitas yang Ditawarkan The Edge Kemang

The Edge Kemang juga menawarkan berbagai fasilitas unggulan, diantaranya adalah menyediakan makan sarapan, bir, tempat parkir, rooftop, tempat makan dengan area VIP, Wifi, tempat duduk di luar atau outdoor, tempat duduk di dalam ruangan, melayani reservasi, musholla yang memadai dan terdapat area merokok.


Selain itu, The Edge Kemang juga merupakan tempat yang tepat untuk anda merayakan hari spesial seperti perayaan ulang tahun, baby shower, atau bridal shower, dan makan malam romantis. Sepulangnya dari The Edge Kemang, lo bakal dapat banyak foto buat di-upload ke feeds Instagram. Gak bakal nyesel sih kata gue. Terlebih, pelayanannya merupakan pelayanan yang sudah terlatih layaknya pelayanan bintang 5

Review The Edge Kemang


Udah banyak orang yang ngasih review The Edge Kemang di banyak aplikasi. Salah satunya adalah review The Edge Kemang di Traveloka. Rata–rata penilaian yang diberikan untuk makanan sekitar 4.3 / 5, untuk suasana 4.5 / 5, dan untuk pelayanan 4.3 / 5. Banyak sekali pengunjung yang menyatakan kepuasannya terhadap The Edge Kemang walaupun memang harganya cukup mahal. Untuk dapat melihat review selengkapnya, Anda bisa melihat review The Edge Kemang di traveloka.

Gara-gara Rossa, Gue Rela Nonton Festival Musik Sendirian!

$
0
0

Belum lama ini gue melihat beberapa orang di Twitter berdebat soal "nonton film sendiri di bioskop". Ada sebagian orang yang merasa nonton sendirian adalah sebuah aib yang seharusnya enggak diumbar-umbar. Apalagi di zaman sekarang ini di mana orang-orang bebas memberikan komentar apa saja buat siapa saja yang mereka temukan di dunia maya. Nggak jarang komentar tersebut menyudutkan, menyalahkan, bahkan memberi kesan kalau mereka yang nonton sendirian itu adalah orang-orang yang kesepian, nggak punya temen, atau seperti yang banyak muncul di kolom komentar Thread KASKUS: jones alias jomblo ngenes.

Pertama-tama gue mau bilang dan mau mengklarifikasi bahwa nggak ada salahnya nonton sendiri. Karena, hey, gue sebagai orang yang mempraktikan kegiatan "nonton film sendiri" sudah merasakannya. Nggak perlu malu atau pun merasa berkecil hati soal itu. Jujur aja, gue nonton sendiri kadang-kadang karena memang gue butuh waktu sendiri. Gue butuh momen menikmati apa yang gue tonton sendiri. Kadang ada waktu-waktu di mana mood-nya lagi nggak mau bersosialisasi dan mau berdiskusi dengan diri sendiri soal apa yang ditonton. Tipikal introvert. Apakah itu membuat gue terlihat kesepian? Ya mungkin aja karena apa yang orang lihat kan cuma berdasarkan penampilan luarnya aja. Hak merekalah buat nge-judge you based on your looks. Tapi deep down inside kan lo nggak kesepian.

Apakah gue nonton sendiri karena gue kesepian? Karena gue nggak punya temen? Karena gue jomblo ngenes?

Jawabannya nggak.

Untuk beberapa genre film kayak animasi atau drama memang lebih seneng kalau nonton sendirian. Gue lebih suka merasakan dan menikmati excitement setiap adegan yang gue tonton sendirian. Karena gue suka banget film drama dan adegan-adegan cheesy, kadang-kadang kalau nonton sama temen gue suka kesel kalau mereka udah mulai komentarin adegan-adegan kayak gitu dengan "Apaan sih!" gitu.

Kalau nonton film horor gue lebih suka sama temen karena rame dan bisa teriak bareng. Kalo nonton horor sendiri gue suka jaim teriaknya. Tapi kalau ada temen jadi ada alasan untuk berteriak lebih kencang. Tapi paling nggak suka nonton horor sama temen yang kebanyakan bahas filmnya daripada nontonnya. Apalagi kalau udah nonton film Indonesia. Setiap adegan dibahas. Kayak nggak ada waktu nanti abis nonton aja gitu. Pernah pas nonton 'Dreadout' temen gue ini bawel banget setiap adegan dikomentarin, dijelek-jelekin, akhirnya karena merasa terganggu gue pindah duduk aja. Dan berujung nonton sendiri di barisan depan yang memang kosong.

Lo memang punya hak buat nge-judge mereka yang nonton sendirian sesuka lo. Tapi lo nggak bisa menyalahkan kalau mereka memang lebih suka nonton sendiri daripada ditemenin sama orang yang nggak satu frekuensi sama mereka. Lo punya hak nge-judge, mereka juga punya hak nonton sendiri. 

Hehe


Tapi beda cerita kalau nonton konser atau nonton festival musik. Well, sebenarnya sih nggak ada masalah juga sama kayak nonton film. Nggak ada masalah mau nontonnya sendirian atau rame-rame. Tapi gue pribadi untuk yang satu ini kayaknya memang harus ada temen yang sama-sama suka genre musik yang ditampilkan dalam sebuah festival atau sama-sama suka grup yang sedang konser deh. Beda hal dengan nonton film yang kita harus kalem aja di bioskop, nonton konser atau festival musik lebih butuh energi. Kadang-kadang energi itu bisa meluap di arena konser dan alangkah serunya kalau luapan energi itu bisa kita bagi sama orang lain.

Sayangnya di sebuah Minggu malam beberapa hari yang lalu, gue benar-benar sendiri, dengan energi yang meluap-luap karena melihat daftar penyanyi yang akan tampil, sekaligus kekhawatiran kalau gue mungkin akan jadi sangat jaim di arena festival. Gue nonton Meranoia Festival yang dipersembahkan oleh Disto Creative dan digelar di Istora Senayan, GBK, Jakarta Pusat, sendirian. 


Sebenarnya beberapa teman yang gue kenal di media sosial datang ke event yang sama. Tapi gue nggak ngeh kalau mereka juga datang ke festival itu sampai mereka mengomentari posting-an gue di Instagram Stories beberapa jam setelah acaranya selesai. Dan lagipula gue juga nggak panik atau repot-repot nanya ke masyarakat siapa yang akan datang ke festival itu supaya gue ada barengan.

Pertama karena gue males. Kedua karena mungkin mereka ngejer artis yang berbeda karena kesukaan kita bisa aja berbeda. Ketiga karena mungkin mereka juga akan sama temen-temen mereka dan gue nimbrung justru mungkin akan bikin awkward (apalagi kalau mereka sama pacar atau gebetan misalnya). Tapi mostly kenapa gue nggak berusaha menghubungi orang-orang karena memang gue malas sih. Jadi yaudah, setelah sesi sharing soal investasi dan tabungan masa depan dengan salah seorang temen gue di sebuah kafe di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, gue meluncur ke Istora Senayan untuk menghadiri Meranoia Festival.

Terima kasih Distro Creative atas undangannya.

Jujur aja ini pekan ketika Meranoia Festival ini digelar bisa jadi adalah weekend paling sibuk gue. Jadi ingat masa-masa masih jadi wartawan gitu. Satu hari sebelum Meranoia, gue harus meliput 3 event di 3 tempat berbeda sejak pagi: interview THE BOYZ, liputan fanmeeting THE BOYZ, dan malamnya masih ada liputan Ha Sungwoon. Di Ha Sungwoon gue udah mulai merasa nggak enak badan banget sampai ketiduran di lokasi konser. Pulang-pulang langsung ke dokter. But anyway, semuanya menyenangkan!
Recap interview THE BOYZ, fanmeeting THE BOYZ, fanmeeting Ha Sungwoon dan fanmeeting Kim Jaehwan bisa didengerin di episode terbaru Podcast KEKOREAAN di Spotify. Klik di sini untuk direct link ke podcast-nya atau bisa play di bawah:


Meranoia Festival adalah sebuah festival musik yang digelar selama dua hari di Istora Senayan yang mengusung konsep Life, Love, Light. Artis-artis yang tampil adalan nama-nama beken di industri hiburan Indonesia sejak zaman dahulu kala, sampai yang digandrungi anak muda masa kini. Sejak tanggal Juni, sederet nama-nama seperti Glenn Fredly, Potret, Jamrud, Maliq & D'essentials, Ran, Yura Yunita, Soulvibe, Senar Senja, Reality Club, Ardhito Pramono, Kunto Aji, Rahmania Astrini, Dengarkan Dia, Sal Priadi, Coldiac dan Ghoss tampil di gelaran Day 1. Sementara di gelaran Day 2 pada tanggal 23 Juni daftar penampil antara lain Kahitna, Padi Reborn, Tulus, Marcell Siahaan, Rossa, Naif, HiVi!, Teddy Aditya, Float, Adhitia Sofyan, Mocca, Visa Talisa, Nadin Amizah RL Klav, Syahravi dan Caste.

Semuanya tampil di tiga panggung berbeda. Panggung pertama adalah MAIN STAGE dengan slogan 'The Best Stage of Our Life', panggung kedua diberi nama SECOND STAGE dengan slogan 'The Stage of Everything', sementara panggung ketiga diberi nama THIRD STAGE dengan slogan 'A Stage To Remember'.

Yang seru dari acara festival kayak gini kan karena penampilnya banyak dan panggungnya juga banyak, jadi lo bisa memilih menyaksikan artis kesukaan lo dengan genre musik yang lo gemari tanpa harus merasa keberatan untuk tidak menyaksikan artis lain karena memang lo nggak terlalu suka mereka. Karena gue datang di hari kedua, gue lihat-lihat penampil yang gue suka semua rata-rata ada di Main Stage seperti Rossa, Marcell, dan Padi Reborn. Gue juga suka Kahitna dan mereka perform di Second Stage di jam yang nggak bentrok dengan tiga penampil di Main Stage. Jadi semua masih under control-lah. Nah yang nggak kekontrol sebenarnya adalah emosi gue nih karena pastinya solois dan grup yang gue tonton ini akan membawakan lagu-lagu yang gue sudah hapal dan gue suka banget. Kalau gue baper, gue mau meraung-raung ke siapa? Kan gue nonton sendiri!

Awalnya gue kayak agak khawatir di bagian itu. Karena pas gue nonton Ramadhan Jazz sendirian, gue bener-bener kayak anak ilang. Apakah hal itu akan terulang lagi di sini?

Gue sampai di Istora Senayan beberapa menit setelah Marcell Siahaan mulai naik panggung. Gue ketinggalan satu atau dua lagi di awal penampilannya. Tapi pas gue masuk, dia lagi nyanyi 'Firasat'. Wah kacau, my 13 years old self semacam menjerit-jerit di dalam hati. Lagu itu sudah nempel di kepala gue sejak pertama kali gue nonton video klipnya di MTV Indonesia zaman dulu dan ketika gue masuk ke venue, kuping gue langsung menangkap melodi yang gue kenal itu dan kepala serta hati gue langsung bereaksi. Gue mengambil posisi yang enak di barisan agak ke belakang karena orang-orang sudah memadati arena festival entah sejak kapan. Kursi-kursi di tribun pun sudah terlihat penuh. Dengan ponsel yang sudah siap untuk merekam untuk materi media sosial pribadi, gue pun berdiri sambil pelan-pelan menggoyangkan badan ke kiri dan ke kanan, sambil menyanyikan lirik lagunya dalam suara pelan.

"Cepat pulang, cepat kembali jangan pergi lagi..." 


Memori masa lalu langsung menyerang gue saat itu hahahahah. Lo tahu kan sensasi perasaan yang mendadak muncul ketika lo mendengarkan lagu yang nostalgik atau memorable banget? Ya itu gue malam itu kayak gitu waktu dengerin Marcell. Gue sudah tahu dia sejak pertama kali muncul sama Shanty membawakan lagu 'Hanya Memuji', dari dia masih kribo sampai botak, gue selalu mendengarkan lagu-lagu yang dia rilis dan malam itu gue merasakan sensasi mendengarkan suara Marcell secara live. Setelah 'Firasat' dia juga nyanyiin 'Semusim', 'Mendendam', dan 'Tak Akan Terganti'. Semua lagu balada yang hits pada masanya dan kind of defined my teenage era deh pokoknya. Aduh kan jadi berasa tua padahal 'Tak Akan Terganti' sebenarnya lagunya nggak lama-lama banget kok. Kayak baru dirilis kemarin-kemarin ini. Waktu Marcell nyanyi lagu 'Mau Dibawa Ke Mana' gue tinggal karena gue gak suka lagu itu, jadi gue mutusin untuk nonton Kahitna aja di Second Stage.

Suasana di Second Stage beda banget sama di Main Stage. Lebih ke gerah banget sih aslik karena Second Stage lokasinya di luar dan masyarakat yang nonton Kahitna nggak kalah banyak dengan yang nonton Marcell. Gue juga ketinggalan opening song-nya Kahitna malam itu karena beberapa menit di awal bentrok sama menit-menit terakhirnya Marcell. Ketika gue menuju ke belakang kerumunan penonton, mereka sudah ada di tengah-tengah lagu 'Cerita Cinta'.

Gue nggak bisa melihat dengan jelas wajah personel Kahitna malam itu karena posisi gue superjauh dari panggung. Agak menebak-nebak yang mana Hedi Yunus, yang mana Carlo Saba, yang mana Mario Ginanjar.

"Hari ini formasi Kahitna lengkap!" kata suara yang gue kenali sebagai suara Hedi Yunus. "Yovie Widianto juga ada!" katanya. Wah momen yang spesial banget sih. Tapi gue nggak bisa lihat Yovie Widiantonya karena gue pendek banget dan pandangan gue paling banter cuma rambut-rambut anak hits festival musik Jakarta. Tapi suaranya kedengeran jelas kok. Jadi ketika mereka minta kita buat nggak ikutan nyanyi di lagu yang akan mereka bawakan selanjutnya, gue manggut-manggut aja, sampai akhirnya gue tahu lagu apa yang mereka maksudkan.


(Terdengar intro lagu 'Mantan Terindah') (Waktu sudah masuk lirik awal lagu, semuanya ikutan nyanyi)

"YAAAAH! Gajadi deh, semua tahu lirik lagu ini!" kata personel Kahitna.

YA. I MEAN. GAMUNGKIN NGGAK TAHU SIH?! KALO DISURUH NGELAKUIN TRY NOT TO SING CHALLENGE DI SINI SIH UDAH BYE BANGET. BENDERA PUTIH BERKIBAR!

"Sebelum nyanyi 'Mantan Terindah', kita mau minta kalian buat nyalain flash light di handphone semua. Mari lupakan mantan. Masih banyak orang di dunia ini. Jadi kalian harus move on dari yang lama," kata Kahitna sebelum akhirnya kami semua nurut dan nyalain flash lalu mereka nyanyi 'Mantan Terindah'.

Setiap artis yang perform di Meranoia Festival ini pasti ada gimmick minta nyalain flash. Tadi di Marcell juga sempat kayak gitu dan sekarang Kahitna juga. Gue pun menyanyikan 'Mantan Terindah' religiously sambil sesekali merekam untuk bahan Instagram Story. Tadinya gue mau nangis pas nyanyi lagu ini, tapi karena inget gue belum punya mantan jadinya batal nangisnya. Ada beberapa lagu yang kemudian dibawakan Kahitna setelah itu, salah satu lagunya dia ajak fans naik ke atas panggung dan berinteraksi langsung sama penggemar (fans cewek gitu). Tapi gue nggak lama-lama di sana setelah 'Mantan Terindah' karena sebentar lagi Rossa akan perform di Main Stage.

Aduh sori banget Kahitna. Sori banget Adhitia Sofyan dan Mocca yang ada di panggung ketiga. Sori banget HiVi! yang akan perform setelah Kahitna di Main Stage. Masalahnya ini Rossa. Nggak mungkin banget gue nggak nonton Rossa. Lagu-lagu dia tuh kayak my go to song in the shower banget. Nonton Rossa itu semaca keniscayaanlah intinya. Gue ke Meranoia Festival ini cuma buat Rossa sebenarnya. Akhirnya gue keluar dari kerumunan orang-orang yang nonton Kahitna dan masuk lagi ke Main Stage yang gilebener udah rame aja padahal Rossa-nya baru mulai perform sekitar dua puluh menit lagi.

Gue dapat posisi agak depan nih pas Rossa karena masih bisa nyelip-nyelip di antara geng-geng gaul Jakarta dan pasangan-pasangan yang dimabuk asmara. Sementara gue sendirian, bawa ransel bergambar Shiro (anjingnya Shinchan) yang nangis karena nggak dikasih makan, pake celana pendek merah warna anak SD, pake Converse kuning dan kaus-kaki Ravenclaw warna biru/hitam. Udah memberi kesan seperti anak ilang belom tuh? Gapapa deh gue ilang sesaat karena Rossa akan muncul sesaat lagi kalau kata video dari panggung. Teriakan mulai terdengar dan lampu mulai dimatikan. Manuver orang-orang juga sudah mulai terasa, yang duduk mulai berdiri, yang sudah berdiri di belakang gue mulai agak dorong-dorongan ke depan.


Ketika band-nya Rossa udah mulai memainkan musik mereka, nggak lama perempuan yang akrab disapa Teh Ocha itu muncul dan dia disambut oleh teriakan riuh dari setiap sudut Main Stage Meranoia Festival di Istora Senayan layaknya seorang diva. Lampu dari panggung keren banget deh malam itu. Berasa bener-bener kayak konser tunggalnya dia banget! Gue sempat memperhatikan sekitar dan yang nonton kayaknya usianya jauh lebih muda dari gue. Bahkan ada remaja yang kayaknya baru lepas kelas tiga SMP atau baru mulai masuk SMA. Tapi gue melihat mereka excited banget menunggu Rossa yang notabenenya adalah penyanyi di zaman gue banget. Di 90-an dan awal 2000-an banget. Excited-nya mereka sama kayak gue. Gue jadi senyum-senyum sendiri. Entah kenapa gue merasa jadi lebih pede buat nyanyi di sepanjang penampilan Rossa malam ini.

Bener aja, Rossa membuka penampilannya dengan lagu 'Terlalu Cinta' dan wow aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyanyi sama sekali. Gue lagi flu dan batuk memang, suara gue lagi bindeng banget, tapi bodo amat karena soundsystem-nya malam itu keren dan menggelegar banget, suara gue tenggelam juga di antara suara ribuan orang yang ada di venue. Jadi gue bernyanyi sepenuh hati dari awal sampai akhir lagu. Istirahat sebentar waktu Rossa nyanyi 'Body Talk' karena gue nggak hapal ini lagu bahasa Inggris dan agak baru dirilisnya.

"Makasih untuk semuanya!" kata Rossa yang malam itu terlihat anggun dengan pakaian yang dia gunakan. Bajunya bikin dia makin kelihatan imut dan memudahkan dia bergerak dari satu titik ke titik lain di panggung. Untuk ukuran Rossa sih sebenarnya mungkin panggung ini agak kecil ya. Secara dia sudah puluhan tahun berkarier di industri musik dan sudah bisa dibilang diva gitulah. Tapi wow sangat terasa sekali dia down to earth dan menikmati panggung juga sambutan dari audience. Rossa juga mengaku kalau ini adalah kali pertama dia tampil di festival.

"Ini pertama kalinya saya tampil di festival dan saya ingin datang ke pensi kalian semua pada nantinya!"kata Rossa. Mungkin dapat bocoran dari penyelenggara kalau yang datang mayoritas anak-anak SMA kali ya. "Budget-nya nanti kita kasih yang paling rendah deh!" katanya sekalian promosi ehehehe bisa aja Teteh. "Saya salut banget buat yang bikin Meranoia bisa memanggil kalian untuk ada di sini, luar biasa banget!" katanya.

Dan setelah speech pendek itu, here comes another lagu galau from Rossa, yang mana gue suka!

Next song: 'Aku Bukan Untukmu'.

Me: AMBYAR HATIKU.


Gue inget pas SMP pernah dengerin lagu ini rame-rame sama temen sekelas lewat radio dan kita semua pada galau berjamaah. Lagu patah hati yang masih relevan bahkan setelah bertahun-tahun berlalu! "Sebetulnya patah hati adalah kesempatan kamu buat ketemu yang lebih baik," sabda Teh Ocha.

Baru sadar Teh Ocha ini terdengar redundant.IYKWIM.

Rossa menghajar kami yang galau-galau dan halu ini dengan lagu-lagu lain seperti 'Kini' dan 'Yang Terpilih'. Dia juga sempat curcol soal minta dibuatin lagu ke Melly Goeslaw soal mantannya, terus nelepon mantannya buat nanya apakah dia sudah denger lagunya karena lagu itu buat dia. Eh pas dia lagi telepon si mantan, dia denger suara cewek di belakang. AMBYAR DUA KALI.

"Moral of the story, jangan telepon mantan pas jam makan siang," kata Rossa.

Siap baik dicatat dibuku curhat geng Cinta ya, Teteh.

Meranoia Festival di Main Stage Rossa masih berlanjut ke lagu 'Jangan Hilangkan Dia' yang kayaknya paling ditunggu-tunggu oleh semua orang. Karena di lagu ini semuanya kayak sangat menikmati, sangat berteriak, dan sangat happy walaupun lagunya sangat mellow. Tapi kemudian setelah deretan lagu-lagu galau itu, Rossa menutup penampilannya dengan tiga lagu up beat seperti 'Ku Menunggu', 'Sakura', 'Pudar' (YANG SUDAH GUE TUNGGU-TUNGGU DAN BIKIN GUE LONCAT-LONCAT SAMPAI BENGEK!) dan 'Tegar' yang di-remix jadi up beat juga.

Rossa masuk panggung dengan grande, turun panggung juga sangat grande. Penampilan Rossa di Meranoia Festival malam itu mungkin adalah penampilan paling berkesan sepanjang pengalaman konser gue tahun ini. I would love to see Rossa in her solo concert sometimes! AND I WOULDN'T MIND TO SEE HER AGAIN IN ANOTHER SMTOWN CONCERT!

Sebagai fans Rossa dari zaman dulu, gue bangga banget karena lagu-lagu Rossa masih bisa relevan dengan anak-anak zaman sekarang. Anak-anak yang nonton Meranoia Festival yang umurnya mungkin bahkan jauh lebih muda dari karier Rossa di industri musik. Entahlah gue seneng banget!

Setelah Rossa, di panggung ke dua ada Naif, tapi di Main Stage akan ada Padi Reborn. Karena gue nggak punya "hubungan personal" dengan lagu-lagu Naif, jadi gue mutusin buat stay aja di festival Main Stage untuk menunggu Padi Reborn. Sekitar tiga puluh menit, yang nggak berasa sudah berlalu begitu saja, venue sudah semakin padat bahkan lebih padat dari pas Rossa tadi. Padi Reborn pun muncul di panggung dengan video perkenalan sejarah terbentuk dan lahir kembalinya mereka. Sebelum akhirnya Padi Reborn membuka penampilan mereka malam itu dengan lagu 'Sang Penghibur'. Lagu bersemangat dengan lirik yang puitis. Salah satu lagu favorit gue dari Padi sebelum mereka 'Reborn'. Setelah itu mereka lanjut ke 'Mahadewi'.


Nggak lupa Padi juga membawakan lagu-lagu lama mereka seperti 'Begitu Indah' dan 'Semua Tak Sama'. Gue merasa nggak ada satupun orang di ruangan itu yang diem aja mendengarkan lagu-lagu ini. Semuanya bernyanyi dengan lantang atau at least mengangkat tangan ke udara sambil menikmati alunan musik yang dibawakan oleh salah satu band legendaris Indonesia ini. Setelah itu mereka sedikit membawakan lagu 'Love of My Life' punya Queen sebelum dilanjutkan ke 'Kasih Tak Sampai'. Lagu yang paling ditunggu-tunggu semua orang. Seolah mau meratapi nasib berjamaah.

Di dua lagu terakhir yang gue sebutkan, gue melihat ada tiga orang cowok di depan gue yang hanyut dan larut banget dalam suasana. Mereka saling rangkul dan bergerak sesuai irama ke kanan, ke kiri. Sepertinya tiga orang ini udah sahabatan lama banget dan sudah deket banget, atau mereka pernah punya kisah cinta yang mirip banget satu sama lain dan kemudian relate dengan lagunya atau gimana, nggak tahu juga. Tapi mereka tampak sangat menikmati sekali momen menyanyikan lagu 'Kasih Tak Sampai' itu. Apa jangan-jangan mereka sebenarnya memendam rasa satu sama lain.

Ya. Apapunlah. Love is love. Siapa gue bukan Tuhan, gak berhak nge-judge.

Gue suka sih 'Kasih Tak Sampai' tapi kalau ada lagu Padi yang bikin gue merinding sejadi-jadinya itu cuma 'Menanti Sebuah Jawaban'. Kalau mereka bawain lagu itu malam ini, bisa-bisa...

(((kemudian sayup-sayup terdengar suara melodi yang sangat familiar)))

MATI GUE.

(((lalu Fadly mulai menyanyikan sepenggal lirik)))

"Aku tak bisa luluhkan hatimu..."

AMBYAR 9999999999X

Gue langsung nyimpen smartphone ke kantong, "Nanti aja rekam reff terakhir!" kata gue. Langsung religiously mendengarkan suara live Fadly menyanyikan OST dari film 'Ungu Violet' itu. Setiap liriknya gue resapi. Kadang-kadang ngumpat kalau ingat kaitan-kaitan antara lirik lagu itu dengan kenyataan hidup yang gue alami (padahal mah dihubung-hubungkan sendiri saja biar kesannya dramatis). Gue nyanyi dari awal sampai akhir sampai tenggorokan gue capek. Yaudah bodo amat lagipula ini adalah penampilan terakhir yang akan gue tonton malam ini karena abis ini ada Tulus tapi gue nggak niat nonton Tulus since lagu-lagu dia nggak ada yang terlalu ngena sama gue. Dan karena gue berencana nonton konser dia bulan Juli nanti, jadi yaudah sekalian aja nanti nontonnya di konser.

"Sepenuhnya aku... ingin memelukmu... mendekap penuh harapan tuk mencintaimu. Setulusnya aku... akan terus menunggu... menanti sebuah jawaban tuk memilikimu..."


Itu kalu misalnya gue nonton sama temen, gue juga akan melakukan adegan yang sama seperti cowok-cowok tadi. Akan otomatis merangkul teman sebelah gue dan meratapi liriknya bersama-sama. Tapi karena gue nonton sendiri, gue hanya bisa hanyut dalam pikiran sendiri dan kenangan-kenangan yang cuma gue yang tahu. Gue senyum sendiri, sedih sendiri, emosional sendiri. Tapi nggak apa-apa. Gue sebenarnya nggak sendiri. Karena banyak orang-orang di sini yang juga sebenarnya relate banget sama lirik lagu Padi ini tapi mereka lebih seru karena sama temen-temen aja.

"Betapa pilunya rindu menusuk jiwaku. Semoga kau tahu isi hatiku. Dan seiring waktu yang terus berputar. Aku masih terhanyut dalam mimpiku."

Ah... lagu ini memang nggak ada matinya. Untung gue nggak pindah stage jadi gue nggak ketinggalan lagu ini! Sudah puas banget sih malam itu karena lagu kesukaan gue udah dibawain semua. Tapi Padi Reborn masih punya 'Sobat' untuk kita semua jingkrak-jingkrak dan dimanjakan dengan permainan drum dari Yoyo yang luar biasa banget. Setelah itu Padi Reborn pamit, gue juga pamit. Karena sudah mau jam 11 malam dan ingat gue masih harus kerja besok. 

Kata-kata terakhir buat Meranoia Festival sebelum gue pulang malam ini: WHAT AN AMAZING FESTIVAL! AKU BUTUH YANG SEPERTI INI SETIAP BULAN SEBAGAI MAKANAN HATIKU YANG GALAU!

Nonton festival musik sendiri ternyata seseru itu! Seseru nonton sendiri! Menikmati waktu sendirian memang nggak pernah salah sih. Gue bahkan nggak pernah tahu kalau ternyata meski sendirian gue tetap bisa menikmati suasana dan musiknya. Bakal sering-sering kayak gini lagi. Thank you Meranoia Festival!

Beberapa stage dari artis yang gue tonton malam itu ada videonya di Highlight Instagram Story gue. Kalau berminat lihat, bisa klik di link ini.
Semua foto dan video diambil dengan Samsung Galaxy S10 Plus. Bukan statement berbayar.
Artikel ini sudah pernah di-posting di KASKUS dengan judul "Awalnya Males Nonton Festival Musik Sendiri, Eh Malah Asyik Sendiri!"Artikel di blog ini mendapat beberapa perubahan dan tambahan.


Hal-hal yang Gue Suka dari Spider-Man: Far From Home [No Spoiler]

$
0
0

Bagus atau jeleknya sebuah film itu tergantung dari siapa yang nonton dan siapa yang menilai. Gue paling nggak suka banget sekarang ngebaca review-review soal film A jelek atau film B bagus, atau berapa skor yang dimiliki sebuah film di situs-situs rating seperti IMDB dan Rotten Tomatoes. Yang orang bilang jelek kadang-kadang menurut gue bagus-bagus aja (kayak Dark Phoenix misalnya). Tapi yang orang bilang bagus kadang-kadang malah gue anggap jelek. Jadi balik lagi ya penilaian orang kan beda-beda ya.

Di hari pertama penayangannya di Indonesia, 3 Juli 2019 kemaren, gue nonton 'Spider-Man: Far From Home' di IMAX Gandaria City. Di antara semua film Superhero yang pernah dibuat Marvel (terlepas dari apapun studionya), Spider-Man selalu jadi favorit gue. Peter Parker udah seperti role model buat gue. Berangkat dari nothing jadi something. Gue bahkan masih suka nontonin film-film lama Spider-Man versi Tobey Maguire dan Andrew Garfield. Sampai sebelum gue nonton 'Spider-Man: Far From Home', Spider-Man favorit gue masih versi Tobey Maguire. Meski banyak yang nggak suka versi Andrew Garfield, gue tetep mengapresiasi Peter Parker versi dia yang lebih banyak drama (bahkan lebih drama dari Peter Parker versi Tobey).

Lalu sekarang, di generasi zaman ini, muncul satu aktor muda bernama Tom Holland yang keliatan banget bocah dan petakilannya. Memerankan Spider-Man versi dirinya sendiri. Dan WOW. WOW DUA KALI! WOW WOW! WOW TIGA KALI! WOW WOW WOW!


Kemunculan pertama Spider-Man di 'Civil War' sudah bikin gue excited buat menunggu 'Homecoming'. Tom Holland muncul dengan feel Spider-Man yang sangat berbeda. Spider-Man yang sangat remaja, terasa down-to-earth, terasa petakilannya, terasa fun banget ketika melihat dia di layar bioskop. Interaksi dia sama siapapun di Avengers membuat film itu jadi semakin punya warna. Jadi semakin menarik menurut gue. Oke mungkin ini gue udah terlalu bias.

'Homecoming' sebagai film perkenalan Spider-Man terasa biasa-biasa aja sebenarnya. Tetap seru, tapi yaudah segitu aja. Film ini nggak membuat gue berpikir untuk mengubah pendapat gue tentang 'the best Spider-Man' itu. Saat nonton 'Homecoming', gue masih tetap suka Peter Parker-nya Tobey Maguire yang culun itu. Lalu kemudian gue nonton 'Spider-Man: Far From Home', semuanya berubah. Langsung pada saat itu juga. Langsung ketika post-credit scene kedua selesai ditayangkan.

Tom Holland is the best Peter Parker. In fact, 'Spider-Man: Far From Home' is the best Spider-Man movie ever, if you ask me.

(Kalau tidak mengikutsertakan Into the Spider-Verse ya). 

1. Akting Tom Holland yang matang


Berakting sebagai anak usia 16 tahun di 'Spider-Man: Far From Home' sepertinya bukan jadi masalah besar buat Tom Holland. Tapi di sini, dia nggak cuma berakting sebagai friendly neighborhood Spider-Man, lebih dari kita diajak merasakan setiap emosi yang dirasakan oleh Peter.

Peter yang masih belum bisa move on dari kematian Tony Stark (AND IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII WILL ALWAYS LOOOOOOOOOOOOOOOOOVE YOUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU), yang matanya selalu merah nahan-nahan nangis setiap kali mengingat Iron man, yang emosinya selalu ke-trigger setiap kali orang-orang membicarakan 'the next Iron Man'. Gue nyaris aja ikutan nangis ngeliat akting dia di situ.


Di saat yang sama dia juga harus menjalani kehidupan anak SMA yang fun dengan temannya Ned yang bisa dibilang "penggembira". Memerankan aspek kehidupan Peter Parker yang ini kayaknya Tom Holland jadi diri sendiri banget deh. Tapi yang gue paling favorit sebenarnya chemistry dia sama Zendaya. Kita akan bahas Zendaya di poin selanjutnya. Yang jelas, sebagai dua anak SMA yang sebenarnya canggung soal asmara, gue pun merasakan kecanggungan itu sambil menahan gemas.

2. MJ versi Zendaya yang menggemaskan



Kita kenal Mary Jane/MJ di Spider-Man versi Tobey Maguire yang diperankan oleh Kirsten Dunst sebagai sosok yang cantik, anggun, dan punya mimpi besar di jalur seni peran. Mary Jane yang satu ini juga terlihat sangat dewasa jadi ketika dia tahu Peter adalah Spider-Man, dia memberikan dukungannya juga dengan sangat anggun dan elegan. Nggak ada komplain soal Mary Jane yang ini.

Di sisi lain, Zendaya memerankan karakter MJ (Michelle Jones) dengan kepribadian yang sangat berbeda. Cantiknya beda, nggak menonjolkan sisi anggun tapi lebih suka terlihat nerd dan dork, pinternya tetap sama dan juga sama-sama punya sisi artsy. MJ versi Zendaya lebih malu-malu dan lebih terasa komikal. Dalam beberapa adegan di 'Spider-Man: Far From Home' becandaan-becandaan yang dikeluarkan MJ buat beberapa orang akan terasa "errrr" tapi sukses bikin gue ngikik pelan.



Zendaya sebagai MJ sangat sangat sangat adorable. Gue nggak sabar melihat perkembangan karakter dia di film-film selanjutnya.

3. Teman-teman sekolah Peter memberikan nuansa yang beda

Peter Parker selalu dilihat sebagai anak cupu di sekolah. Tapi Spider-Man adalah idola semua anak di sekolah. Meski Peter cuma dekat dengan Ned, tapi di film ini ada banyak sekali teman-teman sekolah Peter yang diperkenalkan karena kan jalan ceritanya juga mereka karyawisata kelab sains. Ini yang juga bikin film ini memberikan nuansa yang berbeda.



Ada momen-momen di awal film yang bikin gue lupa kalau ini film superhero. Walaupun gue merasa adegan-adegan ini malah bikin dragging sih tapi tetap memberikan kesan kayak film/serial televisi anak-anak sekolahan gitu. I'm not complaining. You are :p

4. It's not like what you think it is

Trailer bisa sangat menipu. Termasuk trailer film 'Spider-Man: Far From Home' ini. Ada banyak hal yang kemudian menimbulkan spekulasi dan teori tentang Spider-Man dan MCU secara general. Tapi setelah nonton ini banyak dari teori itu mungkin tidak akan terbukti. Mungkin juga ada tergantung apa teori yang lo percayai sih. Makanya lo harus nonton sampai ke post-credit scene yang terakhir walaupun yang terakhir kayak "HAH APA SIH?!" gitu.



Post-credit scene pertama menurut gue justru akan membuka sebuah teori baru tentang karakter dari komik Spider-Man dan film Spider-Man sebelumnya. Gue sangat berharap ini kejadian tapi nggak mau terlalu ngarep sih sebenernya. Sementara ini cukup puas lihat dia si 'Into the Spider-Verse'.

5. Jake Gyllenhaal is a genius actor (INDEED)!



Kita nggak tahu gimana nasib karakter yang diperankan Jude Law di 'Captain Marvel'. Tapi gue berharap dia akan muncul lagi di film selanjutnya dengan sebuah twist yang luar biasa. Twist yang khas Marvel lah gitu. Persis seperti itu juga perasaan gue soal Mysterio yang diperankan Jake Gyllenhaal. Seneng banget akhirnya Jake bisa gabung di MCU dengan pengalaman akting dia selama ini dan memerankan Quentin Beck, lo akan sangat terpukau dengan kualitas akting yang ditampilkan oleh Jake di film ini.

UGHHHH. Karena belakangan ini gue juga kebanyakan nonton video-video wawancara Jake sama Tom, gue jadi sangat mengidolakan dua orang ini dalam satu frame. Walaupun interaksi mereka di belakang layar lebih menyenangkan sih daripada melihat mereka satu scene di dalam film. Tapi gue yakin, bagaimana Jake membawakan karakter Quentin sangat membantu bagaimana Tom bereaksi sebagai Peter dalam setiap adegan mereka berdua.




I would say Jake is a genius actor but so does Tom.

Skor dari gue untuk film ini adalah 9/10. Skor dari lo mungkin akan beda. Tapi sebelum ngasih skor ya mending nonton dulu aja. Jangan kepengaruh sama skor orang terus malah gak jadi nonton. HAHAHAHA.


Tulisan ini sudah di-publish di KASKUS lewat akun moviegangsta di link ini https://kask.us/iBQWe

Gue Ketemu Rich Brian! (Dan Membuat Dia Menunggu)

$
0
0

Minggu siang, 7 Juli 2019, gue sedang goler-goler di kamar sambil kepanasan. Jakarta panas banget hari ini. Kipas angin udah ada di level tertinggi dan kalau lebih tinggi lagi mungkin gue akan meninggal karena masuk angin. Tapi di level tertinggi ini pun gue belum bisa menyelamatkan hawa panas yang masuk dari pori-pori dinding, sela-sela ventilasi, celah di bawah pintu, dan lubang kecil di jendela kamar. Gue nggak ngerti lagi pokoknya hari ini Jakarta panas banget. 

Kondisi kesehatan gue belum membaik. Seminggu terakhir gue sedang mengidap penyakit aneh. Penyakit yang... gue sendiri nggak tahu apakah beneran penyakit atau hanya nyeri otot biasa. Soalnya dada gue sakit banget. Dada kiri. Gue agak parno karena dada kiri kan jantung ya. Jadi pikiran gue tuh suka ke mana-mana. Lagipula, sebelum hari ini, sekitar seminggu yang lalu kurang lebih gue periksa ke dokter dan pada hari gue periksa itu, sakit dada gue tuh kayak berlebihan banget. Dipegang dikit nyeri luar biasa. Bahkan nggak usah dipegang pun udah nyeri bukan kepalang. Tapi dokter meyakinkan gue kalau masalahnya bukan karena sakit jantung atau apapun yang serius. Ini murni karena masalah otot. 

“Iya soalnya saya memang baru mulai olahraga gitu dok,” kata gue. 

“Oh olahraganya apa? Angkat beban?” tanya dokternya. 

“Enggak dok. Hehe. Olahraga saya lari. Hehe,” 

Mungkin kalau dia adalah Dimas, salah satu teman gue yang tahu banyak soal seluk-beluk hidup gue dan segala keluhan dalam kehidupan gue, dia akan rolling eyes sambil bilang “YAELAH!” kenceng-kenceng. Untung dokter malam itu, namanya (pak) Dokter Nada, tidak terlalu berekspresi berlebihan. Dengan pembawaan yang wise dua cuma bilang ke gue kalau “Ini sih kayanya cuma otot aja. Tapi saya kasih aja surat rujukan untuk rontgen. Kalau nanti setelah obatnya habis masih sakit, silakan rontgen aja buat memastikan sakitnya apakah memang terkait jantung atau bagian yang lain,” katanya. 

Amit-amit sih sebenarnya gue kalau sakit jantung.

Gue tuh anaknya jarang banget sakit. Asli. Itu aja malam itu pertama kalinya gue ke Rumah Sakit karena temen gue “memaksa” untuk gue periksa. Jadi sorenya sebelum gue periksa malam itu memang gue tuh abis lari sama temen-temen kantor. Dan hari itu kebetulan gue “memaksakan” diri untuk lari 10 menit lebih lama dari target 30 menit lari gue yang biasanya. Ternyata memang segala sesuatu yang dipaksakan itu nggak enak sama sekali. Itu adalah hari keempat gue lari dalam dua minggu terakhir dan jadi hari paling engap. Dada gue sesak banget. Yang awalnya sakitnya biasa aja jadi WOW SAKIT SEKALI SAUDARA-SAUDARA. Gue merasa dada kiri gue kenceng dan debaran jantung gue terasa sampai ke tenggorokan. Agak berlebihan memang karena gue nggak ngerti bagaimana lagi harus menjelaskannya. Yang jelas gue berdebar parah. 

Malamnya gue ke Rumah Sakit Asri yang ada di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Rumah sakit ini kebetulan “franchise” dari rumah sakit Siloam. Udah kebayang sebenarnya gue harga kontrol dan obatnya berapa. Ternyata, rasa sakit yang gue rasakan di dada nggak sesakit ketika melihat tagihannya gais. Masha Allah. Gue nggak akan lagi sakit dan berobat ke rumah sakit manapun. Nggak akan. Gue akan selalu sehat. 

Tapi memang dalam kurun waktu enam bulan terakhir, gue akhirnya menyerah pada "obat waarung". Gue mulai dihinggapi penyakit-penyakit yang nggak bisa sembuh cuma dengan minum parasetamol. Gue mulai memanfaatkan fasilitas reimburse dari kantor untuk periksa ke dokter klinik dekat kosan gue beberapa kali. Dan di situlah gue akhirnya diyakinkan kalau gue, mungkin, punya anxiety disorder. Gue belum pernah cerita soal panic attack yang gue rasain pertama kalinya dalam hidup gue di blog ini tapi pernah gue ceritain di Podcast gue di Soundcloud. Go check that out if you want to know lol

Oke kita kembali ke hari Minggu 7 Juli 2019 yang panas banget itu. Karena dada gue masih sakit dan gue sudah kontrol ke dokter yang lebih murah lima hari setelah kunjungan ke Rumah Sakit Asri itu, gue dapat obat laun dan obatnya sudah gue minum. Tapi ya gitu deh sakitnya masih ada. Dan sekarang bikin gue susah menggerakkan tangan dan lengan. Setiap pergerakan akan berasa sakit banget di dada. Bahkan mengubah posisi tidur sekalipun. Makanya hari itu gue geletakan aja kayak orang mati di atas kasur. Berniat menghabiskan hari itu dengan binge-watching ‘Stranger Things 3’. Nah di situlah tiba-tiba temen gue WhatsApp dan minta gue buat liputan Rich Brian di salah satu restauran di kawasan Rasuna Epicentrum. Acaranya hari Senin. 

Serius nih, gue rada-rada mager sebenarnya karena men Senin tuh kayak wow pasti akan banyak hal yang bisa dikerjakan sambil duduk di depan laptop. Tapi di saat yang sama gue juga tidak mungkin melewatkan kesempatan untuk bertemu dengan Rich Brian. MEN INI TUH RICH BRIAN!! Teman gue itu berdalih bahwa gue adalah yang paling jago Bahasa Inggris jadi gue aja yang berangkat. Meanwhile gue sendiri enggak tahu sebenarnya ini Rich Brian ngapain sih ke daerah Epicentrum? Mau ikutan lari juga di GOR Sumantri? But anyway, gue pun setuju untuk datang. 

“Jangan kaosan (maksudnya pakai baju kaos/t-shirt) ya! Soalnya yang datang banyak bos-bos,” kata bos gue. Dia sendiri nggak datang ke situ berarti yang dia maksud adalah bos-bos besar. 

Oke, gue kebetulan udah lama nggak pakai kemeja pink yang dikasih Dito pas ulang tahun gue beberapa tahun yang lalu. Ini waktunya membongkar lemari dan mencari kemeja itu sebelum ditumbuhi jamur dan lumut di dalam lemari lembab itu. 

Gue berhasil menghabiskan delapan episode ‘Stranger Things 3’ (MIKE WHEELER YOU JERK! KASIAN BANGET WILL DICUEKIN! DASAR BUCIN!) sambil terkapar dengan dada sakit hari Minggu itu dan bangun di Senin pagi dengan mata yang susah dibuka. Weekend gue kebanyakan begadang, jadi tidur gue sama sekali nggak memadai. Niatnya Senin itu gue mau berangkat jam setengah delapan atau paling nggak jam delapan udah di jalan. Tapi apa daya gue baru bangun jam sembilan (setelah tentu saja tidur kedua sehabis salat subuh yang sama sekali tidak dibenarkan secara agama). Biasanya gue nggak butuh waktu lama buat mandi dan siap-siap. Tapi hari ini gue harus keramas, sabunan dua kali, sikat gigi berkali-kali, dan memastikan nggak ada congek yang mengintip di kuping gue. Abis itu gue harus mengeringkan rambut dan nyatok rambut gue yang superberantakan ini untuk mendapatkan efek rambut lepek yang semakin membuat wajah gue terlihat besar. 

Anyway, gue memang harus catok sih karena biar rapi aja nanti pas acara nggak kelihatan gembel. Walaupun pada kenyataannya gue tetap terlihat gembel karena muka gue berminyak banget. Jakarta masih panas na’udzubillah. Mungkin ini karena gue kebanyakan dosa dan sesekali nonton film porno. Just kidding. 

Or maybe not. 

Gue tiba di lokasi dengan baju kemeja pink yang nggak dimasukin ke dalam celana, celana semi bahan semi jeans, sepatu Converse merah. Bersiap dengan handphone dan kamera mirrorless gue untuk bekerja hari itu. To be honest, gue sendiri nggak tahu ini sebenarnya acara apa. Awalnya gue kira ini adalah acara press conference untuk album baru Brian atau semacamnya. It turns out that this event is a private event yang dibuat oleh kantor gue sendiri untuk klien dan sponsor. So... ok... Gue nimbrung sama beberapa teman dari divisi lain sambil menunggu Brian. Karena dia adalah bintang kita hari ini dan dia juga alasan gue bawa kamera hari itu kan. 

Lo tahu kan kalau gue tuh anaknya Kpop banget dan nggak hip-hop banget. Lha terus kenapa gue excited ketemu sama Rich Brian? Apakah gue diam-diam sudah berubah jadi anak hip-hop? 

Hehe. 

Sebenarnya gue beberapa kali pernah mendengarkan lagu Rich Brian. Apalagi album pertamanya yang hype banget sampai masuk berbagai chart. Beberapa teman gue juga sering ngomongin soal Brian. Salah satu teman gue, namanya Irza, sempat spazzing soal 88rising waktu gue pulang kampung pas Lebaran kemarin. Dia nggak secara spesifik bilang kalau dia suka Brian, tapi dia lebih suka Joji. But still, dua orang ini kan ada di manajemen yang sama. Dan kita biasanya cenderung akan menyukai orang-orang yang tergabung di manajemen yang sama, right? Kayak gue suka SMTOWN aja gitu misalnya. 

Dan secara kebetulan, entah sih ini kebetulan atau emang karena ini makanya temen gue milih gue buat datang ke event hari ini, Rabu minggu lalu gue ada sesi round-table interview sama NIKI (baca hasil wawancaranya di sini, di sini, dan di sini). Penyanyi dari 88rising juga. Ya semuanya seperti connected gitulah. Waktu gue wawancara NIKI, gue cerita sama Irza. Anyway (GUE KEBANYAKAN ANYWAY GAK SIH) pas gue ketemu sama Irza di Lombok gue juga bilang kalau kantor gue ada partership sama 88rising. “Mungkin nanti gue bisa ketemu Joji,” kata gue. Ngayal. Tapi ketika gue bisa ketemu NIKI dan akhirnya Brian, gue rasa ngayal ini akan bisa jadi nyata. 

Kayaknya. 

Ya anyway(TUH KAN ANYWAY LAGI), karena belakangan gue juga mulai mengenal 88rising dan artis-artisnya, lalu gue juga abis wawancara NIKI, dan kebetulan Brian baru rilis single baru ‘Yellow’ yang ketika gue dengerin gue suka dan aneh aja kok bisa hip-hop kayak gini masuk ke kuping gue, semua hal yang terjadi selama beberapa bulan terakhir seperti leads to this moment. Today. Di tempat itu. Gue akan ketemu dengan Rich Brian. Oke gue mungkin masih di level fans yang cetek banget, but still, ini Rich Brian. Gue tetap ingin ketemu dia. He’s like the role model of kids in this generation, right? Gue tetap ingin ketemu dia.


Nggak berselang lama setelah kedatangan gue ke lokasi acara, Brian datang dengan pakaian santai. Baju kaos hitam, celana jins, dengan model rambut yang sudah biasa kita lihat di video-video. Di momen itu gue sempat merasa “is this even real?” karena rasanya memang tidak nyata. Kayak nih orang udah debut di Amerika dan seterkenal itu tapi ketika gue lihat dia hari itu, nggak ada sama sekali vibe superstar-nya gitu lho. Kayak biasa aja gitu. Kayak lo ketemu orang biasa aja. Men, gue ketemu Afgan aja gue masih bisa merasa ini orang artis. Tapi pas gue lihat Brian kayak biasa aja. 

Satu hal yang pasti: dia senyum terus. 

Gue sudah menyiapkan sederet pertanyaan buat Brian. Beberapa pertanyaan yang gue ajukan ke NIKI dan nggak sempat dijawab NIKI juga gue tulis lagi tapi konteksnya kali ini untuk Brian. Mengingat wawacara dengan NIKI tempo hari adalah round-table dengan sembilan media lain, gue cuma bisa nanya dua pertanyaan. Tapi ini Brian kayak eksklusif banget gini jadi gue rasa gue bisa dapat insight lebih banyak dari dia. Tentu saja gue penasaran dengan bagaimana awal kariernya, bagaimana dia menyikapi perbedaan selama di Amerika, bagaimana akhirnya dia bisa memilih untuk jadi penyanyi, apa tantangan yang dia hadapi, bagaimana rasanya jadi role model buat anak muda, ya yang kayak gitu-gitu. Pertanyaan-pertanyaan ala wartawan lah. Walaupun gue bukan. 

Jujur aja itu pertanyaan juga gue tulis di notes handphone waktu gue sampai di lokasi. Gue nggak prepare sama sekali since gue dapat tugas ini juga kan baru H-1 jadi yaudah bikin pertanyaan di hari-H rasanya nggak terlalu minus-minus amatlah. 

Dan ya, waktu bergulir, satu per satu tamu undangan datang dan pergi. Mereka makan. Kami ngeliatin mereka makan. Sampai akhirnya kami makan juga karena sudah waktunya makan. Mereka foto-foto. Gue fotoin mereka foto-foto. Mereka ketawa-ketawa. Gue dan temen-temen ngeliatin mereka ketawa. Sesekali kami juga ketawa, menertawai harga makanan yang ada di menu yang sangat di luar daya beli kami, untungnya hari itu ditraktir kantor. Dan ya sampai akhirnya sudah mau setengah tiga dan... 

“Wawancaranya nggak jadi,” 


Sebentar. 

Dulu. 

Kenapa? 

Oh mungkin buru-buru ke schedule selanjutnya? Bisa jadi sih. Kan ini juga orangnya memang sedang promo single baru kan ya? Mungkin memang sibuk banget dan jadwalnya kebanyakan. 

Hiks. Sedih. Padahal gue pengin banget semua rasa penasaran gue dan pertanyaan gue dijawab dan terjawab hari itu mumpung nggak ada media lain gitu lho. 

“Foto-foto aja,” kata temen gue. 

Yaudah gue bantuin deh temen gue buat ngerekamin dia foto-foto Brian. Salah satu teman gue, namanya Ira, sebenarnya ngefans juga nih dan mau minta foto juga. Tapi karena di situ dia tugasnya sebagai megang video (gue nggak megang video gue cuma datang untuk nanti memproduksi konten tulisan), jadi dia nggak bisa buru-buru lepas dari pekerjaannya. Sementara gue, setelah Brian selesai dengan sesi foto, masih punya waktu. 

Sedikit. 

Sangat sedikit. 

Untuk minta foto sama dia. 

Oke, sebagian orang mungkin berpikir kalau minta foto sama artis itu gampang. Ya apa susahnya? Tinggal nyamperin, bilang mau minta foto, jepret, udah. 

Artis Indonesia okelah. Mungkin bisa tuh kayak gitu kalau mood mereka lagi bagus. Kalau mereka memang konteksnya juga lagi promo. Jangan ujug-ujug ketemu di mana terus minta foto pas mereka sedang tidak menjalankan kehidupan sebagai artis gitu maksudnya. Pasti kan terganggu juga. 

Artis Kpop? Ya sesuai amal dan ibadah aja. Kalau mereka mau alhamdulillah. Kalau mereka nggak mau ya sudah biasa ya nggak ada yang harus disesali. 

Lalu Rich Brian? 

Kalau gue lihat dari tadi sih dia orangnya santai banget. Ramah banget. Tipikal down-to-earth banget. Kira-kira kalau gue kejar dia sebelum dia masuk ke mobil, dia mau nggak ya foto bareng gue? 

Gue berdiri di belakang pintu restauran itu. Pintunya pintu kaca. Gue berdiri di tangga paling atas dan dari situ gue bisa melihat punggung Brian dan dua rekannya sedang berjalan menuju mobil. Kaki gue seperti kaku banget. Seperti biasa. Setiap kali Ron mau mencoba untuk minta foto bareng sama artis, mau artis manapun juga dia akan bereaksi seperti itu. LAMBAN! 

Mata gue tertuju ke arah sebaliknya, mencari teman gue yang namanya Ira tadi karena dia juga katanya mau foto. Tapi dia terlalu jauh dari pandangan dan kayaknya masih kerja. Gue melirik lagi ke arah Brian dan entah gimana, dia nggak jadi ke mobil dan kembali ke meja luar restauran itu yang jaraknya nggak jauh dari pintu. 

OKE RON. JANGAN LAMBAN. JANGAN BEGO. KELUAR AJA MINTA FOTO APA SUSAHNYA SIH?!

Kaki gue kayaknya nempel sama lantai nggak tahu kenapa langkah gue berat banget. Kayak orang abis naik gunung terus kakinya sakit nggak bisa digerakin. Kayak efek kelamaan nggak bergerak terus dihajar lari keliling GOR Soemantri non-stop 30 menit. Kaku banget. INI ADALAH REAKSI BODOH YANG SELALU TERJADI DENGAN TUBUH GUE SETIAP KETEMU BIAS. ASLI. 

Gue tarik napas dalam. Brian sedang ngobrol sama temannya cuma tiga meter dari tempat gue berdiri. Gue mengembuskan napas lalu mendorong pintu restauran itu, berjalan keluar dan menghampiri Brian. 

“Brian, hey, can I take a picture with you?” 

GUE GAK TAHU APAKAH GUE BENERAN BILANG ITU ATAU GUE BILANG ITU DENGAN BAHASA INGGRIS YANG KACAU TAPI YA GUE MUNGKIN BILANG ITU SOALNYA BRIAN NGERTI. 

“Oh yeah sure,” katanya. 

GEMETER. 

Gue buka aplikasi kamera dengan satu swipe, lalu gue angkat kamera itu agak tinggi dengan posisi agak miring aneh pokoknya itu posisi kameranya, lalu gue tersenyum canggung di jepretan pertama. 

Gue tahu hasil fotonya akan jelek banget. Muka gue, kayak tadi gue bilang, berminyak najis. Dan entah kenapa di momen seperti ini, lo akan terlihat lebih jelek dari biasanya. Apalagi ini lo lagi foto sama artis. Gue sama dia sama-sama jerawatan, tapi jerawat dia lebih elegan. Jerawat dia made in America. Gue made in asap knalpot jalanan Jakarta. Karena gue tahu foto pertama hasilnya jelek, gue minta buat foto ulang kedua kalinya. 

“Can I take one more?” gue tanya dia. 

“Of course,” katanya. 

Atau entah dia menjawab dengan apa gue nggak tahu gue udah nggak fokus. Di kepala gue cuma THIS IS RICH FRIGGIN BRIAN. THAT SUPERSTAR! 

Ketika gue angkat hape gue buat foto lagi, gue ngeliat rambut lepek gue dan sangat sangat jelek banget asli kenapa sih gue harus merasa rambut gue jelek di saat seperti ini. Gue paham, emang jelek rambutnya, mau diapain juga. Muka juga nggak bisa dibagus-bagusin. Tapi gue entah kenapa masih mau usaha supaya rambut gue bisa kelihatan bagus. Entah gue kerasukan apa deh saat itu, gue bahkan lupa kalau Brian tuh mau masuk mobil, tapi sempat-sempatnya gue ngomong gini: 

“Sorry, but can I fixed my hair first?” 

TOLOL. 

GBLK. 

BIADAB. 

“Haha... yeah...???” kata Brian. 

Gue acak-acak rambut gue pake tangan kiri dan nggak pula ada perubahan dari sebelum gue acak-acak TBVVVVVVVVVVVVVFFFFFFFFFFH. Dan akhirnya gue foto sama dia untuk kedua kalinya. Dan kali ini, entahlah, jelek kek bagus kek bodo amat. Gue nggak mungkin minta foto ulang sampe hasilnya sesuai dengan ekspektasi gue. Memang gue gajago kalo selfie gini. Sebaiknya memang minta difotoin. BISA AJA SIH GUE MINTA DIFOTOIN SAMA TEMENNYA TAPI GAYA BENER ANJIR LU SIAPA ANJIR. 

“Thank you, Brian,” kata gue. Thank you for waiting gue benerin rambut dulu maksud gue. “Good luck for the new album,” gue jabat tangan dia. 

Dia senyum nyengir dan jabat tangan gue terus dia masuk ke mobil. 

Kalem. 

Kalem. 

Kalem. 

LONCAT. 

GUE DAPET FOTO BARENG RICH BRIAN. 

OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOH MYYYYYYYYYYYYYY GOD!!!!!

Ok. 

Gue tahu ini lebay. 

Gue tahu ini berlebihan. 

Gue tahu lebay dan berlebihan itu maksudnya sama. 

Tapi gue seneng banget. SENENG BANGET. 

Walaupun pas gue lihat hasil fotonya, muka gue, kelihatan aneh banget. Kayak buah nangka. 

Tapi yaudah. 

Ikhlasin aja. Tuhan sudah baik menciptakan muka seperti ini. 

Yang penting poinnya adalah muka seperti ini bisa foto sama Rich Brian. 

Nggak semua orang bisa kan. 

Gue menghibur diri sendiri. 

Tiba-tiba gue sadar satu hal: dada gue udah nggak sakit lagi. Semoga sakitnya beneran ilang sampai nanti-nanti. 

Dan gue juga sadar hal lain: kayaknya mas-mas penjaga pintu restauran tadi ngeliatin gue dengan pandangan mencela. 

Hmmm.... 

Maafin.


View this post on Instagram

😂😂😂😂😂 pekan lalu interview NIKI dan hari ini ketemu Rich Brian. Makasih banget kamera depan Samsung S10+ yang bisa mode wide jadi pas foto bareng gak muka semua gini (meski tetep aja mukaku lebih mendominasi ya). Luv banget tapi kamera depan S10+ tuh! Jadi gak kagok kalo mau unggah-unggah foto sama musisi sekelas Brian. Eh anyway lagu 'Yellow' udah bisa didengerin di Spotify. 😂😂😂😂😂 (slide kedua ada momen-momen ketika foto ini diambil. Terekam otomatis oleh aplikasi Samsung Camera dengan mode Motion Photo). . Yang ngakak adalah sebelum foto ini gue minta izin dulu ke dia, "Can I fixed my hair first?" LMAO. ORANGNYA LAGI BURU-BURU MAU MASUK MOBIL MON MAAP GAUSAH SOK NYISIR RAMBUT DEH RON 😂😂😂😂😂😂😂😂😂 SEBEL BGT SAMA DIRI SENDIRI. . . . #SamsungMembersID #LoveforGalaxy #galaxys10plus #withgalaxy
A post shared by RONZZY | KPOP BLOGGER (@ronzstagram) on


Terima Kasih Afgan, Sampai Jumpa Tahun Depan!

$
0
0

Gue sedang ada di salah satu McDonald’s di kawasan BSD, Tangerang, waktu gue dapat email undangan ke konser ‘Dekade’ Afgan yang bakalan digelar hari Jumat 9 Agustus 2019 di Istora Senayan. Hari itu gue sedang cuti karena mau nonton Westlife di Indonesia Convention Exhibition, tapi gue nggak bisa nggak membalas email itu dengan singkat, padat, dan jelas “Gue mau!”.

Memang sih, gue nggak bisa dibilang seorang ‘Afganisme’, sebutan buat fans berat Afgan. Tapi gue cukup mengikuti perjalanan karier dia mulai dari ‘Terima Kasih Cinta’ sampai ‘Sadis’ yang tentu saja jadi hits di kalangan pecinta musik Indonesia pada masanya. Afgan adalah salah satu dari sedikit solois cowok dengan segmen remaja yang melejit namanya di tahun 2009. Dengan image ‘boy next door’-nya kala itu, teman-teman cewek gue kayak nggak pernah berhenti ngomongin penyanyi yang satu ini. Tapi memang lagu-lagu dia dan suaranya sangat khas. Beberapa tahun berselang, musik Afgan pun berkembang dari balada-balada galau ke sesuatu yang lebih dancey. Sederet kolaborasi pun dia lakukan bersama beberapa penyanyi muda lainnya seperti Isyana Sarasvati dan Rendy Pandugo. Nah di sini nih gue udah mulai sekip banget sama lagu-lagu dia. Kadang-kadang denger sih kalau nggak sengaja keputer pas lagi di Alfamart gitu. Walaupun gue nggak tahu judul lagu yang dia bawain, tapi gue tahu itu Afgan dari suaranya yang khas.

Jadilah hari Jumat itu gue nggak ada ekspektasi apapun soal penampilan panggung Afgan di konser ‘Dekade’ ini. Gue juga sudah siap pasrah kalau dia cuma nyanyiin lagu-lagu barunya dia doang. Tapi kemudian gue berpikir lagi, ini kan konser ‘Dekade’, perayaan 11 tahun karier dia di industri musik. Pastilah dia bakalan bawain lagu-lagu hits lamanya. Agak mustahil kalau nggak dibawakan. Yakin, pasti paling nggak dia bakalan nyanyi ‘Sadis’ deh. Kalaupun itu satu-satunya lagu yang gue tahu di konser ini, gue nggak akan komplain.

Eh tapi ternyata lebih dari itu. Bahkan satu lagu yang gue suka banget dari dia (yang gue sendiri lupa kalau dia punya lagu itu) juga dibawain!

Konser dijadwalkan mulai jam 8 malam tapi agak ngaret jadi sekitar 8:40 malam kira-kira baru mulai. Gue masuk ke venue sekitar sepuluh menit sebelum akhirnya lampu dimatikan dan semua penonton mendadak membisu menunggu apa yang akan ditampilkan Afgan di atas panggung sebagai pembuka. Gue nggak nyangka kalau Istora Senayan malam itu akan ramai dan padat banget. Setengah bagian tribun kursi-kursinya penuh. Festival juga padat. Dan gue nggak nyangka juga kalau ternyata panggungnya akan megah banget. Enggak kayak panggung konser festival atau konser Tulus yang gue tonton di Kota Kasablanka akhir bulan Juli kemarin. Yang ini panggungnya bener-bener gigantic ala-ala konser Kpop gitu.

Overall panggungnya kebagi jadi tiga bagian: depan, tengah, dan runway memanjang ke bagian depan. Di panggung tengah ada sekitar 40-an lebih pemain musik yang sudah siap mengiringi Afgan sepanjang konser ini. Ini pun jadi salah satu hal yang di luar ekspektasi gue. Gue suka banget live band dan live orchestra dan malam ini kayaknya bakalan grande banget deh. Begitu gue membatin. Dan bener aja, waktu musik sudah mulai mengalun dan Afgan sudah muncul di panggung utama—mengenakan busana berwarna putih yang membuat dia mencolok di antara lampu-lampu warna biru—gue bener-bener terkesima dengan musik sekaligus performa vokal Afgan di lagu ‘Jalan Terus’ yang jadi pembuka konser itu. Kombinasi suara Afgan, tata lampu yang megah, orchestra yang luar biasa banget suaranya enak banget di kuping gue ALLAHU AKBAR!!!!!!! bikin gue mangap sekaligus merinding. Selama beberapa menit gue nggak bereaksi apapun saking shock-nya. Nggak nyangka pembukaannya akan sebegitu kerennya.

Gue kira bakalan udahan tuh sampai di situ, tapi ternyata penampilan lagu kedua ‘Katakan Tidak’ malah makin kece! Afgan nggak sendirian lagi di panggung utama tapi sekarang ada beberapa dancer yang datang dan mengapit di sisi kiri dan kanannya membawakan lagu yang up beat ini. Kayak yang tadi gue bilang, ada jeda yang cukup lama sejak gue ngikutin lagu-lagu Afgan sampai sekarang gue ada di konser ini. Jadi gue nggak tahu kalau ternyata Afgan yang terkenal dengan lagu-lagu ballad-nya ini bisa dance juga. DAN BAGUS! Waktu membawakan ‘Katakan Tidak’ feel-nya semacem Afgan ini jebolan salah satu boyband Kpop yang sekarang debut solo dan sudah punya basic dance sejak lama. Luwes banget gitu dan nggak nyangka aja kalau seorang Afgan bisa dance seluwes itu. Ahahaha...! Biasanya kan di pembukaan konser, penyanyinya akan nyanyi tiga lagu sebagai pembuka. Nah setelah lagu ‘Katakan Tidak’ Afgan lanjut nyanyi lagu lain yang gue sendiri nggak terlalu yakin judulnya apa. Awalnya gue kira ini lagu ‘Panah Asmara’ soalnya mirip-mirip, tapi ternyata bukan. Setelah nyontek portal berita sebelah, gue akhirnya tahu lagu ini judulnya ‘Pesan Cinta’. Gue familiar sama lagu ini tapi gue nggak tahu judul lagunya. Di sini Afgan kembali menampilkan kebolehannya dalam menari. It feels so grande. Gue nggak bisa lagi mendeskrispikan bagaimana megahnya stage act dia malam itu.

Foto ini nyomot dari IG-nya Afgan

Gue mulai bertanya-tanya kapan kira-kira Afgan akan mulai menyanyikan lagu yang gue tahu. Soalnya sebelum masuk ke venue tadi gue menghabiskan satu botol air mineral since kita nggak boleh bawa minum masuk ke venue jadi sekarang gue mulai merasa ingin ke toilet. Setelah lagu ‘Pesan Cinta’ itu Afgan lanjut nyanyi dua lagu yang gue nggak tahu judulnya apa. Gue merasa ingin segera bangkit dari kursi itu dan ke toilet saja mumpung lagunya gue nggak tahu. Tapi gue ragu, kalau abis ini dia nyanyi lagu yang gue tahu kan gue kelewatan satu momen. Ya bener aja, Afgan lalu menyanyikan lagu ‘Wajahmu Mengalihkan Duniaku’ yang sudah lama banget gue nggak denger dan ‘Lenggang Puspita’ yang baru tadi siang gue dengerin karena emang baru dirilis. Setelah ikutan nyanyi satu dua bait, gue akhirnya mutusin buat ke toilet di verse kedua lagu. Buru-buru supaya nggak ketinggalan lagu berikutnya yang bisa jadi adalah lagu yang gue tunggu-tunggu.

Eh... ternyata beneran kejadian.

Setelah selesai di toilet gue denger samar-samar melodi lagu ‘Sadis’.

GUE NGUMPAT KENCENG BANGET.

Abis itu buru-buru lari balik ke kursi (tas gue titip ke temen gue jadi kursinya masih tetap aman). Untung masih kebagian verse kedua dan masih kebagian nyanyi “SEMOGA TUHAN MEMBALAS SEMUA YANG TERJADI” karena itulah bagian yang paling gue ingin nyanyikan di konser ini tbh. IT WAS LIKE "I CAME FOR THIS!!!!!"

Kalau dipikir-pikir gue lama juga tadi di toiletnya. Kambing Kudisan!

Oke, karena abis ini gue nggak mungkin akan ke kamar mandi lagi, jadi seharusnya lagu-lagu berikutnya gue akan aman dan akan bisa mendengarkan dari awal sampai akhir.

Oh iya, karena ini konser merayakan 11 tahun Afgan berkarier di industri musik dia banyak banget menyebut nama-nama orang yang penting buat perjalanan karier dia. Mulai dari teman-teman seperti BCL, Rossa, Sherina, GAC, sampai ke mentornya seperti Bebi Romeo misalnya. Malam itu banyak juga penyanyi Indonesia yang datang buat menyaksikan Afgan. Dari kejauhan gue bisa melihat Vidi Aldiano. Terus juga ada Erwin Gutawa di kursi VIP yang dicengin Afgan dengan bilang “Kalau pakai orkestra Mas Erwin, budget kita nggak cukup.” Dalam hati gue ngebatin, ini pakai orkestra bukan Erwin Gutawa aja udah sebagus ini gimana kalau Erwin Gutawa beneran. Mungkin kalau tadi di awal gue mangapnya 1,5 cm kalau Erwin Gutawa jadi 3 cm kali tuh mulut gue.

Nah selain nama-nama yang tadi disebutkan, beberapa penyanyi juga duet bareng Afgan di atas panggung. Marion Jola dapat kehormatan untuk nyanyi bareng Afgan menggantikan Raisa di lagu ‘Percayalah’. Lalu Afgan juga mengundang teman kolaborasinya yaitu Rendy Pandugo untuk menyanyikan lagu ‘Heaven’ yang mereka bawakan bersama Isyana Sarasvati. Isyana nggak hadir malam itu tapi videonya muncul di layar seolah-olah ikutan nyanyi bareng mereka. Meski gue nggak pernah benar-benar mendengaarkan dua lagu itu, tapi dua lagu tersebut adalah tipikal lagu yang lo nggak ingin denger pun orang-orang akan putar atau tiba-tiba kedengeran di radio atau di Discover Weekly Spotify lo misalnya. Karena lagu kolaborasi ini kan cukup populer, sayangnya gue nggak mengikuti hype-nya.

Foto ini juga nyomot dari IG Afgan.

Justru yang bikin gue hype banget (dan baper banget) adalah waktu Afgan ngebawain lagu ‘Bawalah Cintaku’. Ini yang tadi gue bilang di awal, lagunya Afgan yang gue suka banget tapi gue lupa kalau dia pernah rilis lagu ini. Gila gue bersyukur Alhamdulillah banget sih tadi pipisnya pas kepotong ‘Sadis’, karena ternyata efek menyentuh ‘Bawalah Cintaku’ jauh lebih dalam daripada ‘Sadis’. Gue suka lagu ini karena liriknya bagus dan sederhana. Manalagi malam itu dibawakan secara live dengan suara Afgan yang sudah gausah diragukan lagi, dan iringan orkestra yang luar biasa indahnya.

Sempurna!

BANGET!

Daaaan... ada satu lagu lagi yang gue bener-bener seneng banget dibawain Afgan malam itu: ‘Masih Ada’-nya Dian Pramana Poetra.

Ini adalah lagu yang udah gue dengerin dari lama, udah gue suka dari lama, tapi sudah terlalu lama gue nggak dengerin jadi gue lupa kalau lagu ini pernah ada di muka bumi.

Afgan sendiri sempat curhat di atas panggung kalau sosok Dian Pramana Poetra adalah salah satu musisi yang benar-benar memberikan dukungan buat dia memulai kariernya. “Ketika nggak ada yang percaya sama aku, dia satu-satunya orang yang yakin kalau I’m gonna make it,” katanya. Sepersonal itu sosok DPP buat Afgan, sepersonal itu lagu-lagu DPP buat Afgan termasuk ‘Masih Ada’ ini, sepersonal itu juga lagu ini buat gue.

Legit cry.

Lupain deh lagu-lagu lain. Gue sudah puas ketika Afgan menyanyikan lagu ini dan kalau konser malam itu berakhir di lagu ini, gue akan tetap cerita ke orang-orang kalau konser Afgan malam itu adalah konser solois Indonesia terbaik yang pernah gue saksikan sepanjang hidup gue.

Walaupun...

Yah gak banyak sih konser solois Indonesia yang gue saksikan.

Sejauh ini baru Afgan dan Tulus, dan oh, Rio Febrian once in (idk) 2014 atau 2015.

Dan kalau dibandingkan dengan konser Tulus dan Rio Febrian, dua-duanya kebanting banget lah!


Tentu saja Afgan nggak berhenti di lagu ini. Masih ada beberapa lagu hits yang lain yang dia bawakan termasuk di antaranya ‘Kala Cinta Menggoda’, ‘Dia Dia Dia’, dan ‘Panah Asmara’ (yang tadi sempat salah gue kira ini udah dibawain ternyata bukan). Hanya saja tiga terakhir yang disebutkan lagu itu nggak terlalu mencuri perhatian gue seperti lagu ‘Bukan Cinta Biasa’ dan ‘Jodoh Pasti Bertemu’.

Ini adalah “salah dua” dari lagu Afgan yang kayaknya semua orang tahu dan semua orang akan nyanyi bareng kalau lagu ini randomly keputer di mana aja. Dan malam itu dia juga membawakan lagu ini dengan powerful sampai ke nada tingginya. Sesuatu yang benar-benar layak untuk diabadikan tapi juga jadi momen yang langka banget dan nggak akan terulang lagi. The way he sing the song and the way he swoons people in the venue... nyerah deh gue. Ini sudah mendekati akhir konser dan waktunya untuk ikutan nyanyi kenceng-kenceng.

“CINTAAAAKU BUKANLAH CINNTAAA BIIIIAAAASAAAAA~~ JIKA KAMU YANG MEMPUNYAIIIIIIIIIIIIIIIIIIII~~~~~”

“JIKA AAAKUUUU BUKAN JALAAAANMU~~~~~ KUBERHENTIIII MENGHARAPKAAANMUUUUU~~~”

Seperti halnya konser-konser artis luar dan konser Kpop, Afgan juga menyiapkan sesi encore meski hanya dengan satu lagu. Tapi lagu terakhir ini benar-benar jadi penutup yang sempurna sih buat konser ‘Dekade’ Afgan: ‘Terima Kasih Cinta’. Lagu yang mengawali karier Afgan di industri musik dan yang akan menutup perjalanan kariernya tahun ini karena Afgan berencana untuk hiatus sementara dan istirahat dulu dari panggung musik. Afgan sudah pamit di atas panggung dan berjanji akan kembali lagi tahun depan dengan sesuatu yang baru dan fresh. Afganisme pasti akan merindukan lagu-lagu hits dari sang penyanyi. Gue pun mungkin akan excited menunggu kembalinya sang solois dengan suara khasnya. Seiring dengan konfeti yang berjatuhan dari langit-langit Istora Senayan malam itu, Afgan mengucapkan kata-kata perpisahannya buat fans.

It was a very great concert, Gan! (AKRAB).


Terima kasih dan sampai jumpa tahun depan!


Blogpost ini sudah diterbitkan juga di KASKUS dengan judul yang sama dan beberapa perubahan. 

Konser Westlife Jakarta, Air Mata, dan Kejutan-kejutan

$
0
0

Hidup itu penuh dengan kejutan. Dan seringkali kita nggak siap menghadapinya.

Gue sudah jadi fans Westlife seumur hidup gue dan jadi salah satu orang yang sedih ketika mereka memutuskan buat bubar. Gue pun nggak bisa menyembunyikan excitement gue ketika mereka mengumumkan reuni sekaligus konser perayaan 20 tahun debut mereka dan album baru yang akan dirilis 2019 ini. Wow, rasanya terlalu banyak hal yang harus diproses dalam satu hari. Meski mereka melakukan semuanya secara bertahap, tetap saja informasi yang datang bersamaan itu bikin gue mencak-mencak sendiri. Berasa anak kecil sedang tantrum.

Pagi itu gue sedang ada di kantor, seperti biasa dalam posisi duduk di kursi yang sudah beberapa kali membuat gue terjungkal karena nggak mampu menahan kehebohan gue dalam beberapa situasi, tangan sudah siap di atas keyboard untuk bekerja dan mencari kira-kira apa yang bisa gue tulis hari ini, ketika Westlife merilis video klip comeback mereka ‘Hello My Love’ berbarengan dengan semua pengumuman yang sudah gue sebutkan sebelumnya.

Westlife adalah satu dari sekian banyak grup di industri musik yang gue suka tapi sampai usia gue menginjak 28 tahun di 2019 ini, gue beum pernah sama sekali melihat performance mereka live secara grup.

Apakah gue siap untuk melihat konser mereka?

Pikiran gue melayang ke tahun-tahun awal ketika gue jadi wartawan dulu. Walaupun gue nggak ditempatkan di desk musik, tapi gue beruntung bisa liputan dan wawancara langsung dengan Shane Filan beberapa kali. Shane nggak pernah jadi bias gue di Westlife sampai ketika gue ketemu langsung sama dia di Hari Batik Nasional di tahun 2013 dan kita foto bareng. Gue sebagai anak baru di dunia jurnalistik, sebagai wartawan newbie, terlihat sangat kaku. Kalau lo ada di sana, lo pasti bisa melihat muka cemas cenderung panik gue hari itu, menahan deg-degan karena untuk pertama kalinya mengalami apa yang disebut dengan round-table interview. Tapi dari pengalaman pertama itu gue belajar banyak hal (ya termasuk bagaimana round-table interview itu), bagaimana wawancara dengan artis bule, dan bagaimana mulai menjadikan Shane sebagai bias gue karena member Westlife yang lain nggak aktif bermusik dan Nicky nggak mungkin ke Indonesia dalam waktu dekat. Fun fact, setelah penampilan malam itu Shane nge-posting foto yang gue jepret ke Instagram dia.







A post shared by Shane Filan (@shanefilanofficial) on

Beberapa kali kunjungan Shane ke Jakarta (dan bahkan Bandung) bisa gue tonton dengan gratis karena pekerjaan. Tapi untuk Westlife ini, rasanya nggak akan spesial kalau gue menunggu ditugaskan buat liputan.

Sebagai fans mereka sejak gue bahkan belum ngerti apa yang mereka nyanyikan, tepatnya waktu gue duduk di kelas tiga SD, gue merasa punya keharusan untuk duduk di bangku paling depan dan melihat mereka dari dekat menyanyikan lagu-lagu yang sudah akrab di telinga gue. Menyanyikan lagu-lagu yang dulu sering dinyanyikan oleh kakak perempuan gue. Membawakan track dari album yang pernah bikin gue merengek minta dibelikan waktu zaman SD. Tapi di saat yang sama, kalau sudah berurusan dengan uang banyak biasanya gue akan berpikir seribu kali.

“Udah nonton yang paling murah aja deh! Nanti Oktober siapa tahu lo mau nonton Backstreet Boys juga. Soalnya gue pengin juga nih Backstreet Boys,” kata Deasy yang mendadak nge-chat gue dan bilang kalau dia pun tertarik buat nonton Westlife. Tadinya gue sudah berencana buat pergi sendiri, eh akhirnya dapat teman juga. Deasy ini adalah teman baik gue sejak kuliah. Di balik keseriusan kita dengan pekerjaan masing-masing, kita berdua sebenarnya adalah mahasiswa yang nggak cemerlang-cemerlang banget. Seringkali kita tuker-tukeran tugas pas kuliah dulu dan itu selalu jadi topik obrolan yang diulang-ulang tapi kita selalu ketawa kalau mengingatnya.

Deasy bener sih. Mungkin aja nanti gue akan nonton Backstreet Boys, kan siapa yang tahu? Meski pun gue ingin banget melihat Westlife dari dekat, tapi...

“Gak masalah juga menurut gue di belakang, kita tetap bisa sing along, ya kan?” katanya lagi.

Bener juga. Lagipula Westlife nggak akan se-dancey itu penampilannya. Ya nggak sih?

Akhirnya gue setuju buat beli tiket termurah untuk konser The Twenty Tour-nya Westlife. Dengan dalih bahwa mungkin nanti gue akan butuh duit lebih buat apapun yang akan datang setelah itu. Kita kan nggak pernah tahu kebutuhan mendadak, kan? Mendadak dalam hal ini konteksnya sih konser. Gue selalu nabung setiap bulan, menekan pengeluaran setiap bulan (walaupun belakangan ini gue sering banget menghabiskan waktu di McDonald’s untuk menyelesaikan pekerjaan dan tulisan-tulisan), dan semua itu pasti akan berguna. Yasudah nggak usah muluk buat beli tiket termahal deh.

Untuk urusan konser kayak gini gue biasanya mandiri. Ya beli tiket sendiri, ya nonton pun bisa jadi sendiri. Kalau nanti di venue ketemu sama orang yang gue kenal atau kemudian setelah beli tiket (tapi kelasnya beda) gue tahu temen gue yang lain juga nonton, ya ramah-tamah kami paling hanya sebatas foto bareng di venue. Itu aja.

Deasy bilang kalau dia sudah memaksa pacarnya, Sultan, buat ikutan nonton ini. Gue ketawa. Sultan bukan tipe orang yang nonton boyband, sudah jelas. Gue sendiri sebenarnya nggak pernah tahu Deasy suka banget Westlife. Sama seperti gue nggak pernah benar-benar tahu kalau dia juga suka Harry Potter. Perjalanan ke Jepang 2020 nanti bakalan jadi seru banget karena kita sama-sama menyimpan keinginan untuk datang ke Universal Studio Japan di Osaka. Deasy juga mengajak adiknya, Lili, yang sering banget gue dengar namanya tapi belum pernah sama sekali gue ketemu sama dia.

Sampai di sini mungkin lo ngerasa nggak ada yang terlalu mengejutkan, bukan?

Ya. Gue pun merasa begitu.

Sampai akhirnya promotor konser Westlife mengumumkan kalau tiket konser itu sold out dan kemudian mereka akan menambah hari konser.

Kesel banget.

Indonesia tuh selalu aja kayak gitu! Kalau konser sudah sold out, bisa nggak sih nggak usah tambah hari? Bisa nggak sih nunggu tur yang berikutnya aja gitu?

(Egois).

Pengumuman penambahan hari ini bikin gue kesal karena tiket konser yang gue beli akhirnya jadi konser hari kedua. Gue dapat basian doang dong, gitu? Nyebelin banget. Nggak tahu kenapa gue bawaannya kesel aja. Bawaannya suuzon aja. Seolah-olah gue tahu kalau hari kedua ini nggak akan sebagus hari pertama. Seakan-akan gue dapat firasat kalau pasti ada deh sesuatu yang akan terjadi di hari kedua yang bikin konsernya nggak seseru hari pertama.

Surprise: beneran kejadian.

Tapi bagaimana gue bisa tahu dan membandingkannya dengan konser yang pertama?

Oke, lanjut dulu.



Tiket konser Westlife buat tanggal 7 Agustus 2019 sudah aman di akun situs ticketing gue. Meski itu juga belinya penuh dengan usaha karena server situs ticketing itu ternyata nggak kuat buat menampung ratusan ribu pengakses dalam satu hari yang sama untuk membeli tiket konser ini. Tentu kalau konser grup besar yang akan menyerbu situs penjualan tiket nggak cuma fans, calo pun akan bahagia meluangkan waktu mereka meski mereka nggak ngerti-ngerti banget ini konser apa. Yang penting untung. Terima kasih karena sudah merugikan fans.

Jarak antara pembelian tiket ke hari konser cukup jauh. Buat gue masih ada waktu untuk mengembalikan pundi-pundi Rupiah yang gue gunakan buat beli tiket konser ini dengan menambah load kerja sampingan dan juga mengurangi pengeluaran sehari-hari. Beruntung gue kerja di tempat yang menyediakan makan siang dan makan malam (meski sekarang hanya makan siang saja) jadi gue sama sekali nggak pernah mengeluarkan uang untuk makan di weekdays. Weekend pun makan kalau inget dan kalau butuh saja.

Nggak deng, lebay amat.

Kejutan lain yang datang sebelum konser Westlife ini adalah undangan liputan untuk konser NCT 127 di Singapura.

“Mau?” begitu tanya Mas Welly, singkat, di chat WhatsApp.

Singkat tapi bikin begajulan semaleman.

Mas Welly, bosnya Creative Disc, punya tim kecil buat liputan-liputan event Kpop dan salah satu di antaranya adalah gue. Untuk tawaran-tawaran seperti ini, apalagi buat artis SM Entertainment, gue nggak akan bisa nolak. Karena gue nggak bisa nolak, berarti gue harus mengeluarkan uang untuk tiket pesawat dan akomodasi selama di Singapura untuk konser itu. Di saat yang sama, secara kebetulan juga Dimas ngajakin gue buat jalan-jalan ke Singapura.

“Ada sesuatu yang mau aku beli buat pacarku dan cuma ada di sana,” katanya.

Dimas adalah satu dari sedikit teman laki-laki yang gue punya. Satu dari sedikit yang dekat sama gue. Karena kami nggak tinggal di satu pulau lagi yang membuat kami jarang ketemu, ajakan ke Singapura itu pun gue okein.

“Tapi nanti ada satu hari aku liputan ya Dims, jadi kamu bisa jalan sendiri atau ke mana dulu selama beberapa jam aku liputan itu,” kata gue.

“Iya santai aja,” katanya.

Ya dan semua lancar. Tiket PP Jakarta-Singapura-Jakarta, akomodasi, dan uang saku sudah tersedia. Pertemuan kita di Changi Airport pun penuh dengan suka cita karena gue kangen banget sama dia. Sampai akhirnya di hari konser, kejutan lain datang: ada yang salah dengan badan gue.

Gue nggak ngerti apa yang terjadi. Sama sekali nggak ngerti. Apakah ini adalah akumulasi dari rasa capek selama beberapa bulan terakhir? Apakah ini masih efek dari salah olahraga yang gue rasakan beberapa bulan yang lalu? Apakah memang badan gue sudah terlalu tua sampai-sampai gue gampang sekali pegal dan sakit badan? Entahlah.

Yang jelas ini aneh karena sepanjang konser itu gue baik-baik saja. Memang gue merasakan sakit di bahu sebelah kiri karena basian itu tadi, efek salah olahraga yang gue bilang (dan gue sudah ke dokter untuk ini kata dokter gue memang sedang mengalami cedera otot), tapi setelah konser selesai sakitnya parah. Parah banget sampai-sampai setiap kali gue melangkah rasanya nyeri. Setiap kali gue napas dada sampai punggung gue rasanya sakit banget. Sampai-sampai malam itu gue tidur dengan beberapa koyo yang tertempel di badan gue.

Konser NCT 127 di Singapura itu bulan Juli dan sakitnya bertahan sampai Agustus.






Post-Concert Syndrome! . 1. Setelah berbulan-bulan nungguin akhirnya confirmed dapat liputan. Thank you @creativedisc buat kesempatan ini. Tidak ada ekspektasi apapun karena selama tur NCT 2019 ini aku gapernah lihat fancam kecuali fancam Taeyong ngerusakin lightstick. Akhirnya aku tiba di #NEOCITYinSINGAPORE sendirian pake baju Overdose merah dan bersiap-siap lihat WinWin. . 2. Eh aku lupa WinWin kan gak di NCT127 lagi. Eek. Tapi gapapa aku balik ke bias lamaku Doyoung. . 3. Salah satu performance Doyoung yang aku suka meski aku gatau itu judul lagunya apa. Maafin. Aku lupa. . 4. Lalu ada my favorite boy, Mark Lee, yang malam itu pas Fire Truck dia semangat sekali. Ingin rasanya kubantu pijit kalau salah urat. Tapi ternyata bukan dia yang salah urat. Malah aku. Huft. Sakit banget badanku. . 5. Ini penampilan Mark favorit aku. Dia malam itu juga emosional banget during his speech at the end of the concert. Also Haechan sih. Since semalam adalah penutup dari segala tur NEO CITY ini. . 6, 7, 8. Sebisanya aja aku moto-moto dengan Keane. Bagus juga lumayan. Jangan di-zoom karena akan jelek. . 9, 10. Ending pose salam perpisahan. Sayang banget sama mereka. Semoga SM gak macem-macemin lagi grup ini setelah WayV deh. Huft. See you in other circumstances! . . #samsungmembersid #galaxys10plus #withgalaxy @nct @nct127
A post shared by RON | RONZZY (@ronzstagram) on

Tidur gue nggak pernah nyenyak sejak balik dari Singapura itu. Bahkan untuk berbaring aja rasanya sakit banget. Kalau udah berbaring gue nggak akan bisa bangun lagi. Gue mencoba untuk nggak terlalu memikirkan rasa sakitnya. Orang bilang mungkin gue kecapekan, tapi semakin lama gue tidur semakin nggak bisa gue bangun. Badan gue rasanya baik-baik saja tapi emang ada titik-titik yang sakitnya luar biasa. Lalu apa yang harus gue lakukan?

Nggak ada.

Gue nggak ke dokter lagi setelah itu karena suasana rumah sakit dan klinik bikin gue tertekan dan gue nggak suka banget perasaan tertekan kayak gitu. Akhirnya gue tahan-tahanin aja sampai waktunya nanti harus ke ICE BSD buat nonton Westlife. Semoga gue bisa bertahan dan kuat.

Give me strength, parasetamol-nim.

---

Untuk konser Wetslife 7 Agustus 2019 itu gue sudah khusus ambil cuti sehari. Soalnya gue nggak mau terburu-buru berangkat dari kantor ke lokasi konser sorenya. Gue nggak suka berhadapan dengan sesuatu yang nggak bisa ditebak seperti macetnya kota Jakarta. Gue sedang tidak ingin mendapatkan kejutan lain dalam hidup ini jadi mendingan gue cuti aja. Dengan begitu, gue bisa berangkat ke BSD agak pagian di hari Jumat itu dan bisa lebih santai kalau udah ada di sekitaran sana.

But then... baru aja gue bilang kalau gue nggak mau mendapatkan kejutan lain, tiba-tiba kejutan itu benar-benar datang, meski yang satu ini rasanya seperti mimpi saja.

“Buat Westlife yang tanggal 6 Agustus, anak-anak pada berangkat pakai tiket semua. Ada satu ID liputan dan nggak ada yang pakai. Mau?” kata Mas Welly di WhatsApp. Lagi-lagi sebuah tawaran yang akan membuat gue merasa tolol kalau gue tolak.

“Serius?” gue agak-agak nggak percaya. Separo deg-degan, separo cemas, separo lagi meledak-ledak.

“Iya. Ron jalan, ya?”

“DENGAN SENANG HATI!”

Dan dengan begitu akhirnya gue baru saja resmi menerima tiket nonton buat konser Westlife di hari tambahan, 6 Agustus 2019. Itu artinya gue akan nonton dua hari.

DUA HARI.

DEMI APAPUN GAK MUNGKIN GUE SEBERUNTUNG INI.

Lo pasti akan mengumpat kenceng. Tapi bodo amat. Gue nggak pernah merasa seberuntung ini dalam hidup gue soal Westlife. Grup yang sudah jadi bagian dari hari-hari gue selama dua puluh tahun terakhir ini. Gue tumbuh bersama lagu-lagu mereka. Kenangan ketika pertama kali gue mendengarkan Westlife dari kaset tape yang entah dibeli atau dipinjam kakak gue dari teman SMA-nya pun langsung muncul di benak gue saat itu. Kalau aja pada hari itu gue nggak ikut nimbrung dengan cewek-cewek SMA itu, gue mungkin nggak akan tahu grup ini dan nggak akan seingin ini nonton konser mereka. Kalau aja dulu kakak gue nggak doyan banget nonton MTV gue mungkin nggak akan tahu ‘Flying Without Wings’ dan ‘If I Let You Go’. Untungnya kakak gue hijrah ke nasyidnya pas udah kuliah, jadi masa-masa SMA dia habiskan dengan lagu-lagu barat dan itu pun menular ke gue.

Kalau ada orang yang harus diberi ucapan terima kasih selain Mas Welly hari itu, ya kakak perempuan gue. I love her so much.



Terlepas dari ketidaksiapan dan ketidakmauan gue untuk menerima kejutan apapun lagi dalam hidup saat itu, ini adalah kejutan yang nggak pernah gue tunggu-tunggu tapi benar-benar bikin hati gue merasakan excitement yang nggak ada habisnya. Deg-degannya gue hari itu seperti deg-degannya gue waktu pertama kali ciuman.

Dengan gue menerima liputan di tanggal 6 Agustus 2019 itu berarti gue akan ada di BSD selama dua hari: 6 dan 7 Agustus 2019. Kalau begitu ceritanya, daripada gue bolak-balik mending gue nginep di sana sekalian, kan? Akhirya hari itu ketika gue sudah mengkonfirmasi ke Mas Welly bahwa gue akan liputan di konser hari tambahan, gue langsung cari penginapan lewat aplikasi booking.com, aplikasi andalan gue kalau udah kepepet nyari tempat murah. Gue nemu satu kamar kosan yang jaraknya sekitar 15 menit naik ojek dari ICE BSD dan kamar itu kasurnya ada dua terus murah banget cuma Rp 100 ribu saja per malam. Gue nggak ada rencana buat menginap lebih lama sih, karena di konser tanggal 7 Agustus nanti gue akan ketemu Deasy, pacarnya, dan adiknya. Berarti gue bisa balik ke Jakarta bareng dan bayar Grab-nya bisa patungan.

Fix: nginep dari tanggal 6 Agustus ke tanggal 7 Agustus di BSD. Tanggal 7 Agustus nanti ngaso-ngaso aja sekitaran sana karena gue sedang cuti anyway.

Jadilah hari Selasa 6 Agustus 2019 itu gue datang ke kantor bener-bener pagi. Untungnya kantor gue juga jam kerjanya bisa fleksibel. Bisa masuk jam berapa aja mulai dari jam 6 pagi, dan pulang jam berapa aja asal sudah 9 jam kerja. Makanya hari itu gue datang pagi lalu bisa pulang setelah salat Ashar dan gue langsung cus ke BSD naik KRL lewat Stasiun Palmerah.

Rasanya seperti diburu waktu sebenarnya karena konser dimulai jam delapan malam sementara gue mungkin bakalan sampe area BSD sekitar jam 6 sore. Itu pun setelah harus ke penginapan buat check in dan naroh tas segala macem (karena males banget kan gue bawa laptop ke tempat konser). Enggak tahu apakah ini memang semesta sedang mendukung banget atau gimana, tapi hari itu konsernya mulai telat dan gue pun agak lebih bersantai. Gue bisa salat maghrib dulu, bahkan gue bisa pesen McDonald’s dulu dan makan di belakang Hotel Santika sebelum akhirnya gue antre buat masuk ke lokasi konser.

Ngaretnya luas biasa sih. Soalnya pas gue antre pun itu jam udah menunjukkan jam delapan tapi sama sekali belum mulai. Ya seneng sih jadi gue nggak ketinggalan satu lagu pun. Tapi kalau konsernya mulai telat, berarti selesainya kan juga bakalan telat. Tapi yaudahlah, anyway ini kan liputan dan gue di sini gratisan juga jadi mari bekerja senikmat mungkin dan mari menikmati konser ini dengan sepenuh hati.

Dan lo tahu kejutan apa lagi yang gue dapatkan malam itu? Gue nggak nyangka kalau gue akan nangis.

Tipikal gue, kalau lo ngikutin gue di Instagram misalnya, lo akan tahu kalau gue emang orangnya nggak pernah jaim soal nangis atau sedang merasa down. Buat gue mengutarakan perasaan ke siapapun lewat platform manapun itu adalah sebuah privilege karena nggak semua orang bisa seterbuka itu soal perasaan mereka. Menulis atau mengungkapkan perasaan gue lewat lagu yang gue dengerin atau lewat quote-quote galau yang gue tulis di akun @quotesbynugu adalah cara gue untuk mengosongkan apa yang sedang menumpuk di dada dan di kepala. Meski nggak selalu apa yang gue tulis itu adalah perasaan gue pada saat itu karena bisa jadi itu juga narasi-narasi yang muncul dari sebuah cerita-cerita lepas dan patah yang harus gue tulis sebelum gue lupa.

Dan tipikal gue juga kalau datang ke konser, gue nggak mau tahu apa saja lagu yang mereka akan bawakan sampai saat gue ada di dalam venue.

Kebayang kan, bagaimana shock-nya gue ketika lampu sudah dimatikan dan konser sudah dimulai?



Apa yang orang-orang ributkan di Twitter soal kursi kondangan dan seat plan yang sucks itu memang benar adanya. Tapi hari itu gue sama sekali nggak memikirkan banyak hal soal ini karena, hey, tiket yang gue dapat hari ini adalah tiket gratisan jadi gue nggak mau mengeluhkan banyak hal (padahal gue juga akan duduk di section yang sama di konser besoknya yang tiketnya gue beli pakai uang sendiri, but we’ll get into that later). 6 Agustus 2019 itu gue dapat kursi paling belakang di kelas yang paling murah. Jauh banget dari panggung. JAUH BANGET.

JAUH BANGET.

JA

UH

BANG

ET.

Karena itu adalah kursi paling belakang, nggak ada siapa-siapa di belakang gue yang akan terhalangi oleh gerak-gerik gue. Gue sebenarnya orang yang seneng breaking the rules tapi juga takut memulai. Jadi gue nunggu orang-orang yang duduk di barisan yang sama dengan gue (mostly juga sedang liputan) untuk bertidak dan bergerak sesuai harapan gue: NAIK KE ATAS BANGKU. Dengan begitu gue nggak sendiri dan gue nggak akan ragu-ragu untuk ikut juga. Dan bener aja, salah satu orang di barisan itu ada yang mulai berdiri dan naik di bangku karena emang kalau duduk, apalagi buat orang yang tingginya cuma 160 cm nggak nyampe kayak gue, itu nggak keliatan apapun.

Seat plan sucks.

Setelah ada yang berdiri barulah gue ikut berdiri. Dan di situlah momen-momen relijius dan magis mulai gue rasakan.

Jujur aja, gue nggak pernah membayangkan akan berdiri di konser ini dan mendengarkan suara Shane, Nicky, Kian dan Mark secara live. Sama sekali nggak pernah. Selama gue hidup di ibukota, konser yang selalu gue datangi adalah konser-konser Korea dan sebagian besar karena pekerjaan. Kali ini juga karena kerjaan sih, tapi gue nggak nyangka kalau karena pekerjaan gue sebagai content writer ini bisa membawa gue ke konser grup yang lagu-lagunya sudah hidup bersama gue sejak album pertama mereka di tahun 1999, sejak gue masih SD, dan lagu-lagu itu abadi di perpustakaan musik di kepala gue bahkan sampai di usia gue seharusnya sudah menikah (kalau kata orang-orang) ini.

Gue merinding.

Bahkan ketika mereka belum naik panggung. Ketika VCR diputar dan menyajikan suara akapela mereka menyanyikan lagu ‘Swear It Again’ emosi gue sudah begajulan. Agak gemetar ketika mereka mulai menyanyikan lagu ‘Hello My Love’. Lagu baru yang dirilis tahun 2019 ini, lagu yang diusahakan banget supaya Westlife tetap kekinian. LOL. Gue inget betapa bangganya Nicky ketika dia bilang “This song is written by Steve Mac and Ed Sheeran. You know Ed Sheeran?”

Yeah, Nick. Tapi kalaupun nggak Ed Sheeran yang nyiptain gue juga akan telan mentah-mentah kok lagu kalian. Karena kalian nyebut Ed Sheeran gue malah jadi kayak “Apaan sih nih orang kok muncul terus di mana-mana.”

Gue nggak suka Ed Sheeran karena alasan personal.

Tapi ‘Hello My Love’ mungkin efeknya nggak terlalu seberapa karena ini lagu baru. Walaupun sukses jadi pembuka yang sangat nendang buat konser ini. Pas akhirnya lagu berlanjut ke ‘Swear It Again’ beneran di lagu kedua, gue langsung mental breakdown. Gue nggak bisa nih bertahan lebih lama lagi. Rasanya gue bisa pingsan kapan aja. Rasanya gue bisa nangis kapan aja. Rasanya gue bisa ambyar kapan aja.

Ralat: gue sudah ambyar.

Gue baru benar-benar sadar ketika mereka nyanyi ‘Swear It Again’ kalau suara mereka tuh benar-benar bagus banget. Sempurna banget. Kayak di kaset! MEREKA PASTI NELEN KASET DEH! Bahkan harmonisasi dari Nicky dan Kian yang memang nggak terlalu banyak kebagian part nyanyi (kecuali kalau ngegantiin part Bryan) sangat terasa sekali dan sangat merdu sekali. Mana lagi ‘Swear It Again’ adalah lagu berbahasa Inggris pertama yang gue hapal liriknya pas masih SD. Gue literally belajar Bahasa Inggris pake lagu ini. Mendengarkannya langsung dari penyanyi aslinya malam itu nggak cuma bikin kuping gue nyaman, tapi kepala gue pun nyaman berenang di kubangan kenangan-kenangan masa lalu.

Gue masih tahan nggak nangis di situ sampai akhirnya mereka bawain ‘What About Now’.

WOW.

WOW!

HOW CAN I EXPLAIN MY FEELINGS THAT TIME, YA?!

AMBYAR.

Ya mungkin itu.



Terlepas dari lagu ini adalah lagu cover, gue gak pernah mendengarkan versi aslinya anyway, jadi versi Westlife selalu melekat di kepala gue. Gue bahkan udah merasa bulu-bulu di tangan gue di bawah jaket HBO yang gue pakai hari itu mulai berdiri ketika intro lagu ini terdengar. Tanpa perintah air mata gue jatoh.

BUSET DAH CENGENG AMAT GUE.

YA MEMANG.

Ada satu part di lagu ini yang gue suka banget dan itu adalah part-nya Mark di bagian bridge sebelum chorus terakhir: “Now that we’re here, now that we’ve come this far, just hold on. There is nothing to fear, for I am right beside you, for all my life I am yours.”

Gue mewek. Kalau lo liat muka gue malam itu pasti jelek banget. Mana rambut gue udah susah diatur, mana gue kayaknya nggak cuci muka dengan sabun sebelum gue berangkat masuk ke venue. Mana gue udah capek banget pengin tidur dan badan gue masih pegel-pegel akibat perjalanan ke Singapura nonton NCT 127 itu. Gue mewek. Tapi gue puas. Puas banget. Rasanya seperti tangisan yang akhirnya keluar setelah sekian lama di tahan-tahan.

Gue pernah ada fase stres banget sampai-sampai gue nggak bisa nangis. Setiap kali gue mau nangis, gue pasti muntah atau huek-huek kayak orang mau muntah gitu. Parah. Kehilangan kemampuan menghilangkan stres secara natural pada saat itu bikin gue makin stres.

Tapi malam itu gue bisa nangis dengan mudah. WOW. WESTLIFE. WOW!

Di lagu-lagu selanjutnya gue berusaha untuk bertahan. Gue tetap bisa menyanyi dengan penuh suka cita waktu mereka bawain ‘My Love’. Gue berusaha untuk tidak menyanyi terlalu keras ketika merekam 15 detik buat materi Instagram Story-nya Creative Disc. Tapi toh pada akhirnya suara gue masuk juga. Jadi yaudah bodo amat.

Kesulitan terbesar dari liputan konser yang lagu-lagunya gue tahu semua kayak gini, konser yang basically kita diajak buat sing along gini adalah menahan diri untuk tidak menyanyi. Mustahil. MUSTAHIL. Apalagi ini Westlife! Waktu nonton Musikal Petualangan Sherina aja rasanya stres banget nahan diri buat nggak ikutan nyanyi. Apalagi ini Westlife! NGGAK MUNGKIN. Makanya gue memberi permakluman ke Mas Welly waktu gue kirim video-video buat materi posting malam itu: “Mas ada banyak suaraku. Maafin.”

You can’t do anything about it. You just sing.

Penampilan Westlife yang paling gue suka di konser malam itu adalah ‘When You’re Looking Like That dan ‘Uptown Girl’. Dua lagu ini dibawakan berturut-turut dan punya vibe ceria yang sama. Dan kalau tadi gue bilang mereka nggak mungkin se-dancey itu, nyatanya mereka nge-dance di lagu ini. SHIIIT!!!!!!

Dua lagu ini kebalikan dari ‘What About Now’ sih kalau menurut gue. Selain gue nggak bisa menahan diri untuk tidak nyanyi, lagu-lagu ini juga nggak bisa membuat gue nggak tersenyum. Penampilan mereka malam itu fun banget! Apalagi setiap kali Nicky menyanyikan part Bryan di ‘Uptown Girl’ yang memberikan sentuhan yang berbeda di lagu itu. Nicky nggak pernah dapat part solo yang banyak di Westlife tapi mau nggak mau di lagu yang seharusnya ada Bryan-nya, dia dan Kian jadi kebagian banyak. Well I don’t mind kalau part Bryan dibawakan Shane dan Mark juga sih sebenarnya. Tapi karena gue bias Nicky, jadi menurut gue penting buat dia untuk nyanyi.

‘If I Let You Go’ dibawakan sambil menampilkan video-video lama dari MV mereka. Wah nostalgia banget malam itu karena gue bisa melihat lagi wajah tengil Nicky sebelum dia berewokan dan sebelum dia punya anak. Di lagu ‘Better Man’ gue lagi-lagi terbawa suasana dan nyaris break down and cry tapi untungnya aku seterong anaknya. Seterongnya tapi sebentar aja karena waktu mereka nyanyi ‘Queen of My Heart’ di akhir sesi medley, gue mewek lagi. GUE NGGAK NYANGKA MEREKA AKAN BAWAIN LAGU INI! GUE BAHKAN LUPA KALAU WESTLIFE TUH PUNYA LAGU INI SAMPAI MALAM ITU MEREKA BAWAIN.

“Aku ingat aku menggunduli kepalaku di video klip lagu ini,” kata Nicky.

Inget banget. Nggak mungkin lupa sih gue! Ingin rasanya gue teriak ke mereka buat nyanyiin lagu itu dua kali tapi karena posisi gue ada di ujung berung gue cuma bisa menahan diri buat tidak teriak berlebihan mengingat besok malam gue masih harus kembali lagi ke sini dan nonton lagi. Gue harus seterong.

Niatnya begitu tapi lalu mereka nyanyiin ‘You Raised Me Up’ gue nangis sampai sesenggukkan.

Aneh nggak sih gue?



Lagu ini kan sebenarnya basic banget ya. Lagu yang sudah terlalu sering diputer di acara Uang Kaget di TV sampai akhirnya meaning lagunya jadi ilang. Lagu yang bahkan bukan lagu original Westlife, gitu. Lagu yang pas gue SMP dulu, lagi-lagi, selalu dinyanyikan setiap kali kelas kesenian.

Tapi tetap aja. Waktu Shane mulai menyanyikan bait pertama lagu itu, badan gue langsung mengeluarkan reaksi anehnya. Kaki gue gemeteran, kepala gue rasanya ringan tapi agak berat juga di saat yang sama, sekujur tubuh gue merinding dan tiba-tiba gue ingin pipis tapi nggak ingin pipis, dada gue mendadak sesak. Tiba-tiba semua masalah hidup yang gue rasakan selama beberapa bulan terakhir dan semua keluh kesah yang ingin gue keluarkan selama beberapa bulan terakhir numpuk di sana. Di dada.

“When I am down... and oh my soul so weary....”

Gue bisa merasakan kelelahan dan keletihan itu di dada gue.

Gue mendadak sadar bahwa selama ini gue selalu merasa kesepian dan sendirian.

Air mata gue netes.

Baru satu tetes gue sudah sesenggukkan.

BELOM SELESAI LAGU ITU MUKA GUE UDAH BASAH. MATA GUE UDAH SEMBAB KALI BODO AMAT.

Waktu gue narik ingus panjang karena nangis gue sadar kalau orang di sebelah gue dari tadi ngeliatin. Mungkin dia bertanya-tanya gue kenapa. Mungkin dia nge-judge gue lebay. Tapi bodo amat. Momen ketika Westlife nyanyi ‘You Raised Me Up’ itu adalah momen di mana emosi dan stres gue bersatu lalu keluar dalam bentuk tangisan diam yang mendadak awkward setelah gue sadar kalau gue lagi nonton konser. Kalau gue sedang berada di antara ribuan orang malam itu. Tapi sekali lagi gue bodo amat. Lagu itu semacam healing. Semacam gue nggak pernah nangis dalam waktu lama lalu gue bisa nangis lagi.

Well, another surprise.

Karena gue sudah nangis parah di situ, jadi pas ‘Flying Without Wings’ gue jadi bisa lebih kontrol diri. Gue jadi lebih menikmati setiap lirik lagunya. Gue jadi menikmati penampilan mereka yang muncul dari balik panggung dengan baju putih-putih seperti di video klip lama mereka. Bahkan untuk ukuran Westlife, ‘Flying Without Wings’ adalah lagu yang nggak ada duanya. Lagu yang akan tetap relevan bahkan mungkin ketika mereka kembali ke Indonesia lagi untuk konser ulang tahun debut mereka yang ke 40 nanti. Salah satu lagu yang gue suka dari lirik dan musiknya. Salah satu lagu yang setiap kali gue dengerin kalau lagi naik motor ke kantor akan bikin gue deg-degan sambil nahan tangis.


Everybody's looking for that something
One thing that makes it all complete
You find it in the strangest places
Places you never knew it could be

Some find it in the face of their children
Some find it in their lover's eyes
Who can deny the joy it brings
When you found that special thing
You're flying without wings

Some find it sharing every morning
Some in their solitary lives
You find it in the words of others
A simple line can make you laugh or cry

You find it in the deepest friendship
The kind you cherish all your life
And when you know how much that means
You've found that special thing
You're flying without wings

So impossible as they may seem
You've got to fight for every dream
'Cause who's to know
Which one you let go
Would have made you complete

Well, for me it's waking up beside you
To watch the sunrise on your face
To know that I can say I love you
In any given time or place

It's little things that only I know
Those are the things that make you mine

And it's like flying without wings
'Cause you're my special thing
I'm flying without wings

And you're the place my life begins
And you'll be where it ends
I'm flying without wings
And that's the joy you bring
I'm flying without wings

Ketika orang bilang kalau hidup itu adalah tentang pencarian, gue baru tahu sekarang maksudnya apa.

Untuk saat ini gue sedang mencari kenyamanan. Gue merasa gue sudah mendapatkannya, tapi di saat yang sama gue juga merasa bahwa gue belum benar-benar mendapatkannya. Mungkin gue sudah berada di lingkungan yang ideal yang membuat gue nyaman, tapi gue belum menemukan seseorang yang bisa selalu memberikan kenyamanan itu.


Well, for me it's waking up beside you
To watch the sunrise on your face
To know that I can say I love you
In any given time or place


Fuck. I think I should get married sooner than I originally planned.

LMAO.


Cerita tentang Westlife ini belum selesai.

Karena di hari kedua, lagi-lagi hidup memberikan kejutannya buat gue.



EXO Planet #5 EXplOration in Jakarta, Harus Beli Tiket yang Mana?

$
0
0
EXO mengumumkan konser tunggalnya EXO Planet #5 EXplOration in Jakarta. Tiket dan seatplan konser ini sudah dirilis oleh Dyandra Global. 
Sedikit panduan nih buat kamu yang mau datang ke konser EXO Planet #5 EXplOration in Jakarta, terutama buat yang kali pertama nonton konser. Mungkin posting-an ini bisa membantu kalian buat menentukan harus berdiri di section mana, atau duduk di section mana.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu sejak lama: EXO KONSER LAGI DI JAKARTA!

Rasanya kayak udah ratusan purnama banget ya. Tapi akhirnya dengan usaha keras dari berbagai pihak terutama Dyandra Global (Mbak Ebby!!!!!! WE LOVE YOU!!!!) EXO pun kembali ke Jakarta dengan EXO Planet 5. Bayangin dong, kita udah nggak disamperin sejak EXO Planet 3! Makanya nggak heran selama periode 2017 – 2019 ini jumlah penggemar mereka pun makin banyak. Di satu sisi seneng sih, tapi di sisi lain khawatir juga. Takut kalau nggak dapet tiket pas nge-war EXO Planet #5 EXplOration in Jakarta ini.

Hihihihi....

Hari ini (26 September 2019), Dyandra Global secara resmi merilis seatplan dan juga harga tiket konser EXO Planet #5 EXplOration in Jakarta:

Banyak yang komentar tiketnya mahal. Tapi memang mahal. Sekarang harga tiket konser Kpop kan memang mahal-mahal. Apalagi ini EXO gitu. Cuma gue pengin share pengalaman aja pas di Singapura kemaren, visualnya tuh keren banget. Bayangin aja gue baru pertama kali nonton konser dengan parade lampur laser se-massive itu dan ditambah dengan kinetic light yang canggih dan kayaknya belum pernah ada di konser Kpop yang gue tonton sebelumnya. Jadi gue rasa kalau mahal, wajar. Lagipula, waktu gue nonton TVXQ! kemaren, sound-nya luar biasa bagus guys. Nggak nyesel deh lo pokoknya! Gue rasa Dyandra Global dan SM Entertainment lewat Dream Maker itu udah punya standar sendiri soal segala aspek di konser ini. So, you won’t regret it.

Mahal memang, tapi gue yakin akan setimpal dengan apa yang kalian akan dapatkan.

Terdengar seperti menjilat? Ya bodo amat.

Pemandangan gue pas di EXplOration in Singapore dari Tribun paling atas.

Nah pertanyaannya adalah di konser EXO Planet #5 EXplOration in Jakarta ini harus beli tiket kelas yang mana?

Jawaban dari pertanyaan ini sebenarnya balik lagi ke tujuan lo nonton konser ini. Ada yang nonton buat ngejer satu member tertentu. Yang kayak gini biasanya akan milih berdiri di section yang member favoritnya sering samperin berdasarkan fancam dari konser-konser sebelumnya. Gue adalah salah satunya dulu.

Tapi ada juga yang nonton konser ya buat nonton semuanya. Bodo amat gue berdiri di mana aja disamperin sama siapa aja yang penting gue nonton konser dan gue menikmatinya. Buat tipe penonton yang kedua ini biasanya akan lebih fleksibel untuk memilih section dan nggak akan keberatan untuk duduk sekalipun.

Pertanyaan selanjutnya: di konser EXO Planet #5 EXplOration in Jakarta ini mending duduk apa berdiri nih?

Kalau lo tanya gue, gue anaknya Festival banget. Hampir semua konser EXO yang gue tonton dari section Festival. Tapi yang tahun 2018 kemaren, EXO’rdium di Singapura, gue nyesel banget beli Festival. Kenapa? Karena makin ke sini fans EXO nggak cuma makin banyak, tapi juga makin ambisius. Terutama mereka yang datang bergerombol buat motret. Sorry to say, tapi gue menemukan itu di lokasi dan mereka semua nyebelin. Jumlah fans yang semakin banyak ini rupanya membuat lokasi Festival kadang nggak kondusif. Nggak heran kalau Chanyeol sering mengingatkan mereka untuk nggak dorong-dorongan karena memang serame itu dan separah itu. Di EXplOration Singapura kemaren sempat juga nih dorong-dorongan sampai disuruh mundur juga sama Chanyeol.

Dulu gue juga selalu ngincer tempat paling depan, pagar kalau perlu. Kenapa? Bukan cuma karena biar deket panggung tapi juga biar nggak ikut berdesakan di tengah. Tapi konsekuensinya apa? Dada lo bisa memar-memar karena kebentur pager dan kedorong dari belakang.

Pemandangan gue pas di EXplOration in Singapore dari Tribun paling atas
Itu cuma secuil cerita dari kelas Festival. Yang lain lagi yang harus lo hadapi adalah handphone-handphone orang yang selalu terangkat dan menghalangi pandangan lo. Ini nggak bisa dihindari sih. Sekarang kan budayanya memang ngerekam dan share di media sosial. Semua orang melakukan itu. Gue? Iya. Gue nggak mau munafik. Tapi yang bisa gue pastiin sekali lagi adalah nggak ada orang yang terganggu di belakang gue, nggak ada yang terganggu dengan ponsel gue. Gue akan memastikan itu sebelum mulai ngerekam dan angkat ponsel. Tapi masalahnya gini, ketika pandangan lo terganggu dengan handphone di depan mata lo, kadang-kadang lo angkat handphone itu juga demi melihat lebih jelas apa yang nggak bisa lo lihat langsung. Ribet kan? Ya gitu deh di Festival.

Belum lagi sebenarnya bidang pandang lo terbatas. Di kelas Festival lo cuma bisa melihat sedikit dari semua yang terjadi di panggung. Lo akan lebih fokus sama apa yang ada di depan lo dan cuek sama apa yang jauh dari lo. Sehingga banyak momen yang terlewat, tapi bisa jadi ada banyak momen juga yang lo dapat dari member.

Kalau lo di Festival tengah (dalam seatplan konser ini Festival X) semua hal yang gue tulis di atas bisa terjadi. Di sini biasanya paling padat! Tapi kalau lo dapat tempat strategis di depan pagar tengah banget (pemandangan lo bisa jadi terhalang mesin peledak konfeti atau speaker dan monitor), lo bisa menyaksikan penampilan mereka secara semi-maksimal. Semua performance akan bisa lo nikmati. Di paling belakang pun demikian.

Kalau lo di Festival pinggir (E atau O), pandangan lo juga sama-sama terbatas dan pasti akan fokus ke member aja. Bodo amat sama pemandangan lain. Di sini tetap lo akan berkutat dengan handphone orang juga dan juga pasti akan berdesakan. Tergantung tempat lo berdiri. Sekali lagi akan ada banyak momen terlewat kecuali lo jeli dan lo mengambil tempat di belakang jadi lo bisa lari ke kanan dan ke kiri mengejar momen. Enjoy! Biasanya di section ini nggak serame tengah/X.

Di manapun lo berdiri, E, X, atau O, kalau beruntung dapat depat pagar, bisa deket sama panggung dan deket sama mereka. Kalau beruntung bisa kebawa arus kegeser-kegeser dan akhirnya mepet pagar padahal tadi lo sama sekali nggak di situ. Itu juga bisa terjadi. Yang paling enak di Festival sebenarnya karena lo bisa bersenang-senang di belakang kerumunan (biarin aja mereka berebut, bodo amat, sementara lo ada di belakang), menikmati konser sambil joget sendiri atau ramai-ramai.

Jadi, kelebihan nonton konser EXO Festival:
1. Kalau beruntung bisa deket pagar
2. Bisa joget-joget sepuasnya di belakang kalau ada space kosong
3. Bisa lari-lari ngejer siapapun kalau ada space kosong
4. Berasa ngonser banget deh!
5. Bisa interaksi kalau beruntung, bisa dapet bola lemparan kalo beruntung

Kekurangan nonton konser EXO Festival:
1. Zaman sekarang semua orang ngerekam, bye aja pemandangan lo akan dipenuhi dengan layar handphone
2. Desek-desekan, kalau lo nggak terlalu kuat buat mempertahankan posisi, mending hindari deh. Gue di Singapura tahun lalu 30 menit pertama gak tahu EXO ngapain aja karena gue sibuk desek-desekan. Sebel banget gue!
3. Belum lagi kalau ada yang bawa fanboard besar, yang diangkat tinggi-tinggi, atau yang pake bando. LOL
4. Banyak fansite, beuh, nyebelin tingkat na'udzubillahimindzalik. AMIT AMIT.
5. Kalau nggak hati-hati bisa memar-memar.

Nah, waktu kemaren gue nonton EXO Planet #5 EXplOration in Singapore, gue pertama kali tuh nonton konser EXO yang duduk. Awalnya gue skeptis, pasti nggak enak deh. Ternyata gue salah. Tapi perlu diingat ya ini kan gue nontonnya di stadium dengan kursi yang makin ke atas makin tinggi, jadi nggak akan kehalang kepala orang. Gue duduk di pojok paling atas. Asli nempel sama atep deh pokoknya. TAPI GUYS OMG PEMANDANGANNYA INDAH SEKALI DI SINI! Semua foto yang ada di atas itu dari Tribune paling atas. Gue merasa itu pengalaman nonton konser EXO yang paling menakjubkan!

1. Gue nggak capek karena gue duduk
2. Gue nggak desek-desekan
3. Gue bisa melihat semua efek lampu yang disajikan dan bener-bener produksi konser secara 100% terasa dari atas

Memang sih:

1. Gue nggak bisa lihat muka member dengan jelas
2. Gue nggak akan bisa berinteraksi dengan mereka
3. Gue nggak akan dapat lemparan bola atau apapun dari mereka

Tapi secara experience konser dapet banget. PUAS BANGET!

Jadi, kalau gue boleh memberi saran;


Buat yang baru pertama nonton konser: mending duduk. Gue merekomendasikan Tribune E di EXO Planet #5 EXplOration in Jakarta. Kenapa? Kalian mungkin nggak bisa loncat-loncat atau joget, tapi kalian akan menikmati konser ini secara maksimal. Mulai dari penampilan EXO-nya sampai ke produksinya. Di sini akan berasa banget kalau konser ini diproduksi dengan sangat serius dan menakjubkan. Trust me, you won’t regret it.

Tapi kalau kalian baru pertama nonton konser dan tetap mau festival: take the risk, with your own risk, silakan pilih Festival X. Pengalaman setiap orang kan pasti beda-beda. Dan I would like you to experienced everything I said earlier by yourself. Kasih testimoni ke gue abis itu ya!

Lalu buat kalian yang bingung mau beli di kelas yang mana, pertimbangkan segala hal yang sudah gue tuliskan di atas.

Festival is good but also not good.

Duduk is great but also far from stage.

Yang pasti ini tiket-tiket yang sebaiknya kalian utamakan untuk beli (kalau budget cukup):

Festival E – X – O

Tribune E

Sisanya kalo keabisan aja baru deh dibeli.


Nah, semoga membantu! Oh iya mungkin untuk lebih jelasnya bisa dengerin Podcast KEKOREAAN episode EXO Planet #5 EXplOration in Singapore karena gue juga banyak cerita di situ soal pengalaman nonton gue kemaren. Buat yang masih mau tanya-tanya, komentar aja di bawah atau mention gue di Twitter.

Good luck!


Viewing all 341 articles
Browse latest View live